STABILITAS – Solo – Bank Indonesia (BI) memperkirakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi sampai akhir 2018 berada pada 5,1 persen dan inflasi terjaga 3,2 persen. Sedangkan defisit neraca transaksi berjalan BI memperkirakan dibawah tiga persen PDB pada akhir tahun, meski saat ini secara kumulatif telah mencapai 2,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
“Defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit) pada triwulan keempat ditekan agar keseluruhan tahun dibawah tiga persen,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo dalam paparannya di Pelatihan Wartawan Ekonomi di Solo, Sabtu, 17 November 2018.
Selain itu, pertumbuhan kredit sebesar 12 persen dan pertumbuhan dana pihak ketiga sebesar 8,0 persen pada akhir tahun.
“Pertumbuhan kredit masih tinggi, yaitu 12 persen diatas 10 persen tahun lalu, ini berarti meski ada kenaikan suku bunga, ekonomi masih running. Permintaan masih ada dari sektor ekonomi,” ujarnya.
Bagaimana dengan economic outlook 2019? BI memperkirakan adanya penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2019 dari kisaran sebelumnya sebesar 5,1 persen-5,5 persen.
Penurunan proyeksi ini terjadi karena adanya upaya yang dilakukan bank sentral untuk menjaga stabilisasi melalui penyesuaian suku bunga.
Kebijakan moneter ini diperkirakan akan menekan konsumsi dan investasi agar defisit neraca transaksi berjalan tidak makin melebar dan memengaruhi pergerakan nilai tukar.
Meski demikian, Dody belum mau mengungkapkan besaran revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 karena akan diumumkan dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (RDG) pada akhir November 2018.
Current Account Deficit
Menurut Dody, isu kebijakan moneter BI kini lebih diarahkan untuk menstabilkan neraca pembayaran daripada pengendalian inflasi yang memang sudah terkendali.
“Itu yang kami dorong, bukan inflasi. Kebijakan moneter sementara waktu tidak diarahkan ke inflasi, tapi ke current account deficit,” papar Dody.
Pada kuartal ketiga 2018, defisit neraca transaksi berjalan Indonesia tercatat 8,8 miliar dolar Amerika Serikat atau setara 3,37 persen dari produk domestik bruto (PDB). Posisi ini lebih besar dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 8 miliar dolar AS atau 3 persen terhadap PDB.
Sedangkan pada periode yang sama, surplus transaksi modal dan finansial belum cukup untuk membiayai defisit transaksi berjalan. Sehingga neraca pembayaran Indonesia pada triwulan ketiga 2018 defisit 4,4 miliar dolar AS.
Sementara sampai minggu pertama November 2018 inflasi berada di level 2.2 persen. Sehingga kata Dody, tidak ada isu yang mengkhawatirkan terkait inflasi.
“Kami melihat transaksi berjalan masih harus dibantu dikurangi. Current account deficit tahun ini diperkirakan akan ada di bawah 3 persen, dari 3,3 persen di Triwulan keempat, dan akan turun ke 2,5 persen,” imbuh Dody.
Karena membengkaknya cuurent account deficit ini pula yang membuat bank Sentral, pada akhir pekan lalu menaikkan BI 7- Day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan sebesar 25 basis point (bps) menjadi 6 persen.
Dengan keputusan ini, sepanjang 2018 BI telah menaikkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate hingga 175 bps.
Dari pantauan BI, defisit ini bersumber dari neraca perdagangan non migas dan neraca perdagangan migas. Dengan perkembangan tersebut, secara kumulatif Januari-Oktober 2018, neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit 5,51 miliar dolar AS.
Sementara defisit neraca perdagangan non migas tercatat 0,39 miliar dolar AS, setelah pada bulan sebelumnya mencatat surplus 1,32 miliar dolar AS. Defisit ini dipengaruhi kenaikan impor non migas yang melebihi peningkatan ekspor non migas.
Di sisi lain, Bank Indonesia memandang defisit neraca perdagangan Oktober 2018 tidak terlepas dari pengaruh permintaan domestik yang masih tinggi, khususnya investasi.
Namun, kegiatan investasi ini diyakini dapat berkontribusi dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing perekonomian ke depan.
Dengan perkembangan neraca perdagangan hingga Oktober 2018 juga masuknya investasi, Bank Indonesia memprakirakan defisit neraca transaksi berjalan tetap berada dalam level yang aman, yakni di bawah 3 persen PDB.
Dody juga menegaskan, kebijakan menambal defisit yang dilakukan pemerintah, seperti mengurangi impor BBM melalui kebijakan penggunaan biodisel 20 persen (B20) untuk public service obligation (PSO) dan non PSO sejak 1 September lalu juga berdampak dalam mengendalikan defisit.
“Kebijakan B20 punya hasil yang positif, setidaknya impor solar turun, di satu sisi produksi CPO meningkat. Sehingga bisa memperbaiki current account deficit 0,1 persen hingga 0,2 persen,” pungkas Dody.