JAKARTA, Stabilitas.id – Kolaborasi antara pemerintah, lembaga keuangan, LSM, dan filantropi menjadi kunci untuk meningkatkan pembiayaan hijau bagi sektor kelapa sawit di Indonesia.
Hal tersebut menjadi salah satu perbincangan dari Sustainability MeetUp #10 bertajuk “Unlocking Sustainable Growth: Green Financing for Palm Oil Companies in Indonesia” yang digelar Universitas Trisakti melalui CECT Sustainability, di Kampus Trisaksi, Jakarta, Selasa (5/11/24).
Acara ini menghadirkan berbagai pembicara dari berbagai latar belakang yang membahas tantangan dan peluang dalam mengembangkan pembiayaan hijau untuk mendukung transformasi industri kelapa sawit yang lebih berkelanjutan.
Dalam pembukaannya, Rektor Universitas Trisakti, Prof. Dr. Ir. Kadarsah Suryadi, DEA, menyampaikan rasa bangga terhadap lembaga keuangan, seperti UOB, yang menunjukkan komitmen dalam mendukung pembiayaan berkelanjutan.
Selain itu, inisiatif dari lembaga swadaya masyarakat internasional, seperti WWF dengan program IKBI (Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia), turut memperkuat ekosistem pembiayaan berkelanjutan di Indonesia.
“Lebih lanjut, peran pemerintah Indonesia dalam mengembangkan taksonomi hijau mendapat sambutan baik, terutama dengan adanya rencana peluncuran taksonomi khusus untuk industri kelapa sawit pada awal tahun depan, yang akan menjadi landasan baru untuk standar keberlanjutan,” lanjutnya.
Seminar dipandu oleh Deputy Director – Market Transformation (Indonesia), Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Dr. M. Windrawan Inantha, yang memimpin jalannya diskusi mendalam mengenai strategi pembiayaan hijau yang inovatif untuk sektor kelapa sawit.
Menyampaikan materinya dalam diskusi tersebut, SDGs Manager of Economic Development Pillar, SDGs National Secretariat, Ministry of National Development Planning/Bappenas of the Republic of Indonesia, Setyo Budiantoro menjelaskan, pencapaian SDGs menjadi bagian krusial pembangunan menuju Visi Indonesia Emas 2045 dan pencapaian SDGs Indonesia. S”aat ini 62,5% atau 139 indikator on track (tercapai).
“Salah satu tantangan utama dalam pencapaian SDGs adalah masalah pendanaan karena total kebutuhan pencapaian SDGs Indonesia 2021-2030 (pasca-pandemi) sekitar Rp 122 ribu triliun dengan gap pembiayaan (financing gap) mencapai Rp 24 ribu triliun (USD 1,7 triliun),” ungkap Setyo.
Ia melanjutkan, dalam pengembangan industri kelapa sawit, petani kecil dalam skema pembiayaan berkelanjutan, penting untuk mendorong transformasi industri. Menurutnya, diperlukan mobilisasi dan inovasi pendanaan, serta sinergi dalam pemanfaatan sumber daya keuangan untuk menutup kesenjangan pendanaan.
”Transformasi industri kelapa sawit menuju keberlanjutan harus dilakukan secara inklusif, memastikan petani kecil mendapat dukungan keuangan yang memadai untuk beralih ke praktik pertanian berkelanjutan. Upaya ini bertujuan untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, konservasi lingkungan, dan peningkatan kesejahteraan sosial,” jelas Setyo.
Hadir sebagai pembicara, Chief Sustainability Officer UOB Indonesia, Jenny Hadikusuma, memaparkan komitmen perusahaannya dalam mendukung industri kelapa sawit berkelanjutan.
“UOB memiliki Kebijakan Pembiayaan Bertanggung Jawab untuk industri kelapa sawit, dengan menekankan komitmen UOB terhadap praktik keberlanjutan dan perlindungan lingkungan,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, Khusus kelapa sawit, komitmen tersebut mencakup beberapa aspek utama, yaitu: kewajiban untuk memiliki sertifikasi seperti RSPO atau ISPO; upaya pencegahan, pengawasan, dan pengendalian kebakaran, kebijakan serta prosedur untuk mitigasi risiko lingkungan (polusi udara, tanah, air), kebijakan pengadaan berkelanjutan guna mencegah pembelian dari sumber yang merusak lingkungan dan sosial; perlindungan hak komunitas lokal melalui proses Free, Prior, and Informed Consent (FPIC); pelibatan komunitas lokal dalam program peningkatan kapasitas untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran serta kepatuhan penuh terhadap peraturan lingkungan, sosial, dan tata kelola setempat, termasuk aturan terkait lahan gambut.
Jenny juga mengatakan, UOB menawarkan berbagai solusi keuangan berkelanjutan, seperti: Green Loans, Sustainability-Linked Loans, Green Trade Finance. Melalui ini, UOB berkomitmen mendukung perusahaan mencapai tujuan keberlanjutan dengan solusi keuangan yang fleksibel dan berdampak positif bagi lingkungan.
Selanjutnya, Climate and Market Transformation Program Director WWF Indonesia, Irfan Bakhtiar mengatakan, gambaran sawit RSPO di Indonesia antara lainnya adalah biaya sertifikasi 1 kelompok mencapai Rp1 Miliar dengan kegiatannya mencakup kelembagaan petani swadaya (identifikasi pekebun, pemetaan, pembuatan kelompok), pendampingan intensif (training RSPO, ICS, GAP, BMP, HCV), penguatan kemandirian (monitoring, surveillance, ICS).
”Berdasarkan hal tersebut, peran lembaga keuangan akan sangat dibutuhkan untuk memperkuat pengembangan usaha bagi pekebun sawit bersertifikat RSPO. Mekanisme Sustainability-Linked Financing yang akan diadopsi oleh WWF-Indonesia bersama dengan lembaga keuangan mentargetkan transformasi kelompok pekebun bersertifikat menjadi UMKM yang kuat, berkembang dan mampu mempertahankan keberlanjutan perkebunan sawit rakyat bersertifikat RSPO,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, Gusman Yahya, menekankan peran filantropi dalam mendukung SDGs dan pendanaan hijau.
“Peran filantropi dalam mendukung SDGs dan pendanaan hijau merujuk pada tipologi pelaku filantropi yang memiliki 3 kekuatan sumberdaya yaitu: keuangan, manusia dan teknikal yang dapat dimobilisasi dalam percepatan pencapaian SDGs melalui pendanaan hijau,” ujar Gusman.
Ia menjelaskan, Sumber daya keuangan melalui grants/hibah hijau, investasi sosial dan pendanaan berbasis dampak serta dana bergulir. Sumber daya manusia melalui penyediaan tenaga ahli dan konsultan, pelatihan dan pengembangan kapasitas serta dukungan dalam kolaborasi multi-stakeholder. Selanjutnya, sumber daya teknikal melalui riset dan pengembangan teknologi hijau, penyediaan infrastruktur teknologi serta pendampingan dalam implementasi teknologi.
Menutup diskusi tersebut, Coordinator of The Masudem Project Universitas Trisakti, Prof. Dr. Asep hermawan, M.Sc, mengatakan, Universitas Trisakti saat ini bangga dengan pencapaian dengan peluncuran mata kuliah baru dalam Program Magister Manajemen (MM) Konsentrasi Sustainability yang berfokus pada Pembangunan Berkelanjutan.
”Matakuliah ini merupakan bagian dari inisiatif Erasmus+ MASUDEM (Master Studies in Sustainable Development and Management), sebuah program kolaboratif yang didanai bersama oleh Uni Eropa. Matakuliah baru tersebut yaitu: CSR dan sustainable development, ESG Investment & Reporting, Research Methods & Sustainable Development, dan Sustainable Leadership, dengan salah satu isu yang dibahas konteks dan praktik keberlanjutan di industri kelapa sawit Indonesia,” tutup Asep.***