Bank-bank BUMN tetap bisa membukukan performa menawan di saat persaingan bisnis makin ketat dan kewajiban untuk mendorong ekonomi serta menyetor dividen tak berkurang.
Oleh : Syarif Fadilah
BERITA TERKAIT
Jika membicarakan soal bank-bank milik negara, masyarakat selalu memiliki harapan lebih dalam mendukung usaha mereka. Sejatinya hal itu tidaklah berlebihan karena bank-bank pelat merah memang memiliki tugas tambahan. Selain harus memperlihatkan kinerja kinclong melalui laba yang berkesinambungan, bank-bank persero juga memiliki kewajiban dalam mendorong perekonomian melalui fungsi intermediasi. Bahkan tak jarang, bankbank ini diharuskan membantu sebuah industri atau proyek pemerintah melalui pembiayaan kredit.
Keunikan inilah yang membuat siapapun yang ditunjuk untuk mengelola bank-bank yang masuk dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini akan menghadapi situasi yang memicu adrenalin mereka dua kali lebih kencang dari kolega-koleganya di bank umum lain. Oleh karena itulah, bankir bankir BUMN selalu dituntut memiliki tingkat kehatihatian ekstra dalam menjalankan bisnis perbankan.
Mungkin karena itu hal itu pulalah maka kinerja bank-bank ini seringkali terganjal karena harus memenuhi ketentuan otoritas perbankan sekaligus memenuhi keinginan pemilik dalam hal ini pemerintah. Mungkin pencapaian pada dua bulan pertama tahun ini bisa menjadi bukti. Sepanjang Januari-Februari prestasi penyaluran kredit bank pelat merah berada di bawah rata-rata industri perbankan nasional. Pencapaiannya masih kalah mentereng dari , kelompok bank umum swasta nasional (BUSN) non devisa dan bank asing yang memimpin ekspansi kredit pada awal tahun ini.
Menurut Statistik Perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, penyaluran kredit perbankan nasional hingga Februari mencapai Rp1.773, 88 triliun, meningkat sekitar 24,15 persen dari periode yang sama tahun lalu dan meningkat 0,45 persen dari akhir 2010. Persentase peningkatan penyaluran kredit tertinggi disumbang oleh BUSN non devisa yang mencapai 3,67 persen dari Rp48,75 triliun akhir 2010 menjadi Rp50,54 triliun pada Februari. Bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, penyaluran kredit 31 bank yang masuk kelompok BUSN nondevisa pada Februari 2011 meningkat sekitar 39,49 persen dari Rp36,23 triliun.
Ekspansi kredit tertinggi selanjutnya diraih oleh kelompok bank asing. Pada Februari, 10 bank asing telah menyalurkan kredit Rp117,05 triliun, meningkat sekitar 3,58 persen dari akhir 2010 yang mencapai Rp113 triliun dan meningkat sekitar 15,57 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp101,28 triliun. Kelompok BUSN devisa juga aktif melakukan ekspansi kredit dengan pencapaian sebesar Rp728 triliun. Kinerja tersebut meningkat sekitar 31,83 persen bila dibandingkan Februari 2010 yang mencapai Rp552,19 triliun dan meningkat 1,3 persen dari outstanding kredit akhir 2010 Rp718,63 triliun.
Sementara itu kinerja penyaluran kredit bank BUMN yang berjumlah empat perseroan hingga Februari 2011 masih di bawah pencapaian akhir 2010. Outstanding kredit pada Februari menurun 0,75 persen dari posisi Desember sebesar Rp642,71 triliun menjadi Rp637,83 triliun. Meski demikian, pencapaian itu meningkat 18,89 persen dari Februari 2010 yang mencapai Rp536,47 triliun.
Dari sisi laju rasio pengucuran kredit terhadap penghimpunan dana (loan to deposit ratio/LDR), BTN memimpin dengan 110,33 persen meski turun dari 114,11 persen, diikuti BRI dengan LDR 85,75 persen menipis dari 86,53 persen. Hal ini disusul BNI dengan LDR 73,27 persen meningkat dari 67,23 persen dan Bank Mandiri 67,93 persen naik dari 61,89 persen.
Angka-angka LDR tersebut menunjukkan bank-bank BUMN kian mampu mengemban fungsinya sebagai intermediasi keuangan meski LDR dua bank terakhir belum ideal (LDR 85-110 persen) atau belum memenuhi LDR minimal 78 persen yang disyaratkan Bank Indonesia (BI) mulai 1 Maret 2011. Dengan demikian kedua bank ini terkena penalti dengan menyetor tambahan giro wajib minimum (GWM) 0,1 persen dari dana pihak ketiga (DPK) rupiah untuk setiap 1 persen kekurangan LDR.
Meskipun demikian dalam soal perolehan profit, bank-bank yang berada di bawah koordinasi Kementerian BUMN ini berupaya keras untuk tidak kalah kinclong dibanding para pesaingnya dari bankk umum maupun kalangan bank asing. Lihat saja data hingga Maret lalu, bank-bank yang terdiri dari Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN ini masih mencuat. Bank Mandiri waktu itu berada paling depan dalam mengumpulkan laba, yaitu Rp 3,78 triliun per Maret 2011 melenting hingga 89 persen dari Rp 2 triliun pada tahun sebelumnya. Kinerja mengkilat Bank Mandiri itu dibayangi BRI Rp 3,26 triliun naik 51,63 persen dari Rp 2,15 triliun, BNI Rp1,25 triliun atau melonjak 21,36 persen dari Rp1,03 triliun dan BTN mencapai Rp 245,04 miliar meningkat 1,54 persen dari Rp 241,32 miliar pada periode yang sama.
PENDAPATAN VERSUS UMKM
Seperti disebutkan di awal, keuntungan yang menghijau ini seharusnya juga diimbangi oleh peran bank BUMN pada sektor riil. Oleh karena itu wajar jika terbit desakan-desakan agar mereka lebih banyak menyalurkan kredit ke sektor produktif tak terkecuali sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Namun berdasarkan data bank sentral untuk perannya pada sektor UMKM, bank-bank pelat merah ini boleh bertepuk dada. Statistik Perbankan Indonesia, April 2011 yang terbit 15 Juni 2011 menunjukkan pengucuran kredit UMKM mencapai Rp 383,16 triliun per April 2011 turun dari Rp 391,76 triliun per Maret 2011. Kelompok bank BUMN adalah yang paling banyak mengucurkan kredit dengan nilai mencapai Rp 175,77 triliun, diikuti kelompok bank swasta nasional Rp167,14 triliun, bank pembangunan daerah (BPD) Rp 31,83 triliun, serta bank asing dan campuran Rp 8,43 triliun.
Data ini jelas memberi kesimpulan tegas bahwa bank BUMN tak meninggalkan kewajiban yang diemban di pundaknya untuk lebih berperan pada perekonomian nasional. Sebenarnya tugas untuk mengucurkan kredit ke sektor mikro bisa lebih mudah karena ada BRI yang memang menjadi pemimpin pasar (market leader) di sektor ini. Belum lagi jika dihitung dengan kecenderungan Bank Mandiri yang memang berniat terus memberdayakan pengusaha muda dengan pelatihan dan pendampingan wirausaha.
Malahan dengan menggenjot kredit UMKM ini, bank-bank milik negara tidak akan kehilangan potensi pendapatan terutama karena dua alasan. Pertama, kredit UMKM memberikan margin yang cukup besar. Bunga kredit UMKM bisa mencapai di atas 20 persen bahkan lebih, jauh di atas bunga kredit komersial sekitar 12 persen. Oleh karena itu, BRI dengan net interest margin (NIM), pada September 2011 sebesar 10,2 persen sungguh merupakan sumber pendapatan bunga kredit yang bagus.
Kedua, UMKM masih merupakan sebuah peluang bisnis yang sangat luas untuk digarap terutama karena masih banyaknya pengusaha kecil yang belum pernah mendapatkan kredit perbankan. Bahkan peluang akan semakin terbuka bila kelak diberlakukan pemeringkatan debitor (credit rating) UKM.
Namun demikian, bank-bank milik pemerintah ini tetap mencatat ada persoalan yang bisa mengganjal perolehan laba mereka. Salah satunya adalah setoran dividen kepada pemerintah. Sebagai lembaga di bawah pemerintah, bank BUMN memiliki kewajiban menyisihkan beberapa persen dari keuntungannya kepada negara. Makin besar setoran maka makin baik bagi pemerintah, namun nampaknya tidak demikian bagi bank.
Oleh karenanya Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) meminta setoran dividen yang disetorkan ke kas negara hanya sebesar 25 persen, karena sebelumnya pemerintah meminta dividen hingga 50 persen. “Bukannya menolak setor, tapi kami minta yang wajar. Kalau biasanya itu antara 25-30 persen nah itu saja di prospektuskan,” kata Ketua Himbara Gatot M Suwondo.
Menurutnya, bank butuh modal lebih agar bisa berekspansi. Keuntungan atau laba bank sebagai modal ekspansi akan terganggu ketika dividen yang ditarik cukup besar. “Kalau ini ujuk-ujuk tiba-tiba 50 persen ya susah hitungnya. Belum lagi ada dividen ad interim atau uang muka. Ya kan kacau hitungnya,” tambahnya. SP