JAKARTA, Stabilitas.id – Sejak Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) didirikan, tercatat sebanyak 103 bank telah dilikuidasi. Dari jumlah tersebut Bank Perkreditan Rakyat (BPR/BPRS) mendominasi hingga 102 Bank, dan sisanya adalah bank umum (Bank IFI). Dengan angka tersebut, dalam satu tahun setidaknya terdapat 7 hingga 8 BPRS/BPRS yang menjadi pasien LPS. Persoalan tata kelola masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi BPR/BPRS.
“Pasien tetap LPS itu BPR/BPRS. Kita sudah tutup 102 BPR/BPRS dan 1 Bank Umum. Jadi sekitar 7-8 bank setiap tahun. Jadi dalam dua bulan sekali kita dapat pasien BPR/BPRS yang gagal. Bahkan dalam tahun tertentu kita dapat pasien BPR setiap bulan. Keputusan umum LPS biasanya tidak menyelamatkan karena lebih murah biayanya,” ungkap Direktur Eksekutif, Klaim dan Resolusi Bank LPS, dalam Virtual Seminar yang diselenggarakan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Selasa (4/8/2020).
Dalam virtual seminar yang bertema Keberlanjutan Bisnis Bank (Model Prediksi Tata Kelola) itu, Suwandi mengakui jika dihitung dari sisi aset yang dilikuidasi, dari total 103 bank yang dilikuidasi sebanyak Rp 849,6 miliar. Sementara simpanan yang dilikuidasi sebanyak Rp.1.959,4 miliar, mendekati angka 2 triliun rupiah. Tetapi defisit akibat selisih antara aset dan DPK melampaui beberapa kali dari ketentuan minimal yang sebesar Rp1,5 triliun. Akibatnya, akumulatif recovery sampai saat ini hanya 33%, sisanya 67% hilang.
Dia menjelaskan, terdapat anomali dalam setiap proses likudiasi BPR/BPRS. Sebabnya, sebelum fraud ditemukan, laporan keuangan BPR/BPRS merefleksikan bank masih sehat. Namun tiba-tiba langsung anjlok. Anjloknya BPR/BRPS ini biasanya setelah dilakukan pemeriksaan oleh komte audit atau oritas. “Jadi fraud sudah dilakukan satu atau dua tahun sebelum audit. Di sini titik lemahnya tata kelola,” jelas Suwandi.
Dia menambahkan, biasanya, setelah ditemukan fraud dan laporan keuangan dikoreksi yang berakibat penurunan kinerja bank sehingga ditetapkan sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK), yang selanjutnya jika tidak ada penambahan modal maka bank menjadi bank gagal.
“Ini hampir kejadian di seluruh BPR yang kami tangani. Tidak pernah BPR kalah bersaing. Kecuali yang lama tidak beropersi. Di luar itu pasti karena fraud oleh direksi, komisairs, atau pemilik bank,” tegas Suwandi.
Terus Perbaiki
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Joko Suyanto, mengakui kondisi tata kelola BPR/BRPS yang belom optimal dari sisi risk management dan GCG.
Namun dia menilai kejadian likuidasi 102 BPR tersebut tidak menggeneraliasi semua BPR/BPRS yang saat ini berjumlah 1.966 BPR dan 193 BPRS. Dari jumlah tersebut yang menjadi peserta LPS tercatat sebanyak 1.700 BPR/BPRS.
“Ada kesenjangan yang memang harus kami perbaiki dari waktu ke waktu. Ada penyebaran yang massif ini pastinnya dalam pelaksansaan tata kelola ada hal-hal yang memang harus diperbaiki. Asimetrisnya harus diperkecil.
“Memang ini (likuidasi) tidak merepresntasikan seluruh Industri karea yang dilikuidasi rerata BRP kecil di Buku I,” ungkap Joko yang juga tampil sebagai pembicara dalam Virtual Seminar LPPI tersebut.
Akan tetapi, Joko mengakui bahwa dalam kondisi rilnya, setiap manajemen BPR/BPRS belum sepenuhnya memahami tujuan penerapan GCG dalam praktek bisnisnya sebagaiaman telah diatur dalam POJK POK No 4 tahun 2015 Tentang Penerapana Tata Kelola Yang Baik Bagi Bank Perkreditan Rakyat.
Sebut saja antara lain Menciptakan kejelasan hubungan kerja antara Bank dengan Stakeholer; Mendorong dan mendukung pengembangan usaha, pengelolaan SDM Bank dan pengelolaan risiko secara lebih efektif; Mengarahkan pencapaian Visi dan Misi Bank; Meningkatkan profesionalisme SDM.
Dalam praktiknya, lanjut Joko, implementasi GCG masih bersifat lips service,mudah diucapkan tetapi sulit untukdilaksanakan. Akibatnya masih adanya BPR/BPRS yang collaps karena pengurus tidak melaksanakan GCG dengan penuh tanggungjawab.
Di kesempatan Virtual Seminar yang sama, Rektor Perbanas Institute, Prof Hermanto Siregar mengatakan, OJK perlu melakukan beberapa hal khusus untuk BPR. Pertama adalah mengembangkan sistem data dan informasi (RDS) sehingga bisa digunakan oleh semua pihak.
“Misalnya kita membuat early warning system bagi BPR ke depan, kalau data tidak lengkap, itu jadi penghambat. Kendala di BPR adalah kempampuan berbeda satu dengan lainnya. Otoritas perlu mensubsidi BPR untuk membuat pusat data sehingga bisa digunakan oleh semua untuk kepentingan riset baik oleh pemerintah, bank, dan lainya,” kata Hermanto.
Dia juga mengusulkan agar OJK bisa membuat kajian khusus bagi bank dengan membandingkan risk capacity (earnings, capital, regulatory requirements) dengan risk exposurenya (credit risk, market risk, issue risk, investment risk, liquidity risk, country risk, operational risk). Manakala ada selisih karena goalnya adalah untuk menentukan minimal modal, solvency, ernings, regulatory leverage, dan likuiditas.