Perekonomian global nampaknya masih terancam dengan beberapa hal, terutama dengan perlambatan perekonomian China. Pertumbuhan Negeri Naga pada 2016 mencapai 6,5 persen, dan tahun 2017 diperkirakan menurun menjadi 6,2 persen.
Penurunan tajam (hard landing) perekonomian China mungkin tidak dapat dihindari. Pasalnya, selain pertumbuhan ekonomi yang melambat, China juga mengalami persoalan porsi jumlah utang terhadap PDB yang besar. Tantangan lain adalah perubahan kebijakan politik ekonomi dari Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donal J Trump sebagai Presiden ke-45.
Dengan keterkaitan ekonomi global yang semakin erat, perekonomian Indonesia terkena imbasnya. Indikator redupnya perekonomian nasional dapat ditilik dari kondisi ekspor. Tahun ini saja, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor pada periode Januari-Juli 2016 sebesar 79,08 miliar dollar AS, turun 12,02 persen dari periode yang sama tahun 2015. Sedangkan impor pada periode yang sama mencapai 74,91 miliar dollar AS atau turun 10,85 persen.
Kondisi itu tentu membuat pertumbuhan ekonomi menjadi tidak optimal dan diperkirakan berada di bawah target 5,2 persen. Selanjutnya hal inilah yang juga berakibat menekan target penerimaan pajak.
Di sisi perbankan tantangannya pun akan semakin berat. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa fungsi intermediasi perbankan lembaga jasa keuangan melambat. Per Juli 2016 kredit perbankan hanya tumbuh 7,74 persen dalam setahun. Pertumbuhan ini menurun lebih dari 1 persen dibandingkan dengan Juni 2016 yang masih 8,89 persen dalam setahun. Itulah yang menumbuhkan risiko kredit.
Terbukti ketika rasio kredit macet atau NPL, kendati masih di bawah 5 persen, pada Juli 2016 angkanya merangkak naik ke tingkat 3,18 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan NPL per Juni 2016 sebesar 3,05 persen. Kondisi ini membuat perbankan disibukkan dan berkonsentrasi mengatasi NPL, sehingga menahan diri dalam memberikan kredit baru.
Bank yang tidak mau repot dan tergolong risk avoidance bank tentu akan menanamkan kelebihan dananya dalam bentuk sekuritas yang lebih kecil risikonya (tentu dengan return yang lebih kecil pula). Sehingga secara agregat tetap terjadi ketimpangan dalam laju pemberian kredit.
Hal ini bisa dimengerti karena di saat perlambatan ekonomi, permintaan terhadap barang dan jasa juga melemah. Baik pemenuhan kebutuhan ekspor maupun permintaan domestik. Dengan demikian produksi mengikuti permintaan yang melemah ini. Bila tidak, maka akan terdapat surplus barang dan jasa
yang mengakibatkan barang dan jasa menganggur dengan konsekuensi penambahan biaya penyimpanan dan risiko kerusakan yang akhirnya menimbulkan kerugian perusahaan.
Kebijakan Pemerintah
Mengutip paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada hari Pahlawan yang lalu, tersirat optimisme pemerintah terhadap ekonomi tahun depan, namun tetap berhati-hati. Artinya bahwa perekonomian 2017 diharapkan melaju lebih kencang dibandingkan perekonomian tahun ini.
Hingga kini pemerintah telah menerbitkan paket kebijakan yang mencapai 14 dan menyentuh segala aspek strategis. Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya saing nasional dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat. Dengan diberlakukannya kebijakan tersebut, lebih dari 200 regulasi telah dideregulasi.
Deregulasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan lingkungan usaha agar lebih kondusif, sehingga bisnis bertumbuh dan berkembang lebih mulus dan kencang. Harapannya adalah meningkatnya level kemudahan berusaha di Indonesia di mata pemodal dunia.
Pemerintah sudah melakukan perbaikan dalam kemudahan mendapatkan fasilitas kelistrikan, pencatatan kepemilikan properti, perolehan kredit dari lembaga keuangan, perlindungan terhadap investor minoritas, kemudahan dalam pembayaran pajak, perdagangan antar negara, eksekusi kontrak kerja, dan pemecahan kasus insolvensi. Walaupun sejatinya masih memerlukan perbaikan di sana-sini.
Menilik program peluncuran kebijakan dan program pemerintah tersebut, perbankan selayaknya merasa optimistis menghadapi tahun 2017. Keberhasilan program yang tentu akan terlihat secara bertahap, akan meningkatkan daya saing industri dan melahirkan usaha dan pengusaha baru yang prospektif. Hal itu tentu berpotensi dibiayai bank dengan risiko kredit yang lebih terkendali dan masuk risk appetite bank.
Oleh karena itu langkah yang perlu dipersiapkan bank adalah mempelajari kebijakan bidang perekonomian pemerintah tersebut, dan memilih bidang usaha yang sesuai dengan target bisnis bank dan core competency bank yang bersangkutan. Kemudian menetapkan risk acceptance criteria (risiko yang dapat diterima) dari industri dan perusahaan yang akan menjadi target pembiayaan bank, dan kemudian melakukan manajemen portofolio kredit yang optimal sehingga komposisi risiko industri, segmen kredit dan jenis/tipe kredit terstruktur dengan kombinasi terbaik dari sisi risiko dan return.
Terakhir, secara nasional membuat pemetaan pengembangan kredit yang akan ditargetkan, yang dituangkan dalam Corporate Planning berjangka lima tahun dan dijabarkan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) yang berjangka setahun. Dengan melakukan disiplin langkahlangkah tersebut, berarti bank telah melakukan mitigasi risiko stratejik dan risiko kredit dengan cermat.