“Apa perbedaan dompet orang Singapura dengan orang Indonesia? Kalau orang Indonesia, dompetnya tebal-tebal karena isinya uang dan bon-bon tagihan. Nah, kalau orang Singapura, dompetnya tipis karena isinya cuma satu kartu. Satu kartu tapi bisa buat semuanya, bisa buat belanja, bayar ini itu dan sebagainya,” canda pakar teknologi informasi Richardus Eko Indrajit dalam sebuah seminar digital banking belum lama ini.
Penggunaan layanan dan produk perbankan dengan menggunakan saluran elektronik terutama telepon selular (ponsel) di Indonesia memang tengah menyentuh tingkat yang belum dicapai sebelumnya. Meski demikian, bicara digital banking, bank-bank di Indonesia memang belum bisa dikatakan telah menerapkan layanan itu sepenuhnya.
Salah satu buktinya adalah masih terus tumbuhnya pembukaan kantor cabang bank secara fisik kendati penggunaan Internet dan penetrasi smartphone begitu dahsyatnya. Jumlah kantor cabang terus meningkat, dalam lima tahun terakhir. Statistik Perbankan Indonesia menyebutkan, pada 2015, kantor cabang menjadi 8.383 lebih banyak dari pada jumlahnya di tahun 2011.
Padahal dalam kurun waktu yang sama jumlah penggunaan smartphone sudah meningkat melebihi jumlah penduduk. Data Accenture, pada medio 2015 menyebut, jumlah ponsel yang beredar di masyarakat tercatat sebanyak 308 juta unit atau 121 persen dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, yang sekitar 250 juta jiwa.
Orang-orang Indonesia dinilai masih memilih untuk bertatap muka sebagai bagian dari sosialisasi dan tanda keramahtamahan, seperti juga dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu dalam praktik layanan perbankan, masih banyak nasabah di Indonesia yang lebih senang mendatangi langsung kantor bank dan bertemu dengan pegawai bank.
Hal itu sejalan dengan survei dari The Boston Consulting Group (BCG), konsultan asal AS yang menyebut, meskipun penetrasi smartphone dan tablet di Indonesia sangat tinggi, tidak serta merta berdampak terhadap penggunaan digital banking tinggi. BCG mengatakan, masih ada nasabah yang belum merasa aman dan nyaman dalam menggunakan layanan atau produk digital banking. Selain itu, konsumen perbankan masih membutuhkan bukti transaksi layaknya transaksi pada kantor cabang atau mesin ATM. “Dasarnya mereka siap pakai digital banking cuma mereka kurang merasa aman dan nyaman menggunakan digital banking,” kata Managing Director BCG Edwin Utama.
BCG mencatat konsumen perbankan Indonesia lebih suka bertatap muka dengan petugas bank. Jiwa interaksi sosial konsumen Indonesia masih tinggi.”Kita sudah well digital, well social media seperti tingginya penetrasi social media, cuma belum sampai ke transaksi,” katanya.
Namun demikian tidak bisa dipungkiri, perkembangan digital banking di Indonesia bertambah marak ketika bank-bank mulai melakukan penyesuaian atas produk dan layanannya dengan menggunakan saluran-saluran nonkonvensional. Menurut data OJK yang diperoleh dari 13 Bank di Indonesia, transaksi yang dilakukan melalui e-banking alias transaksi yang memanfaatkan jasa Internet setiap tahun mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Di tahun 2012 tercatat ada 3,79 miliar transaksi senilai Rp 4.441 triliun, sementara di 2014 tumbuh menjadi 5,69 miliar transaksi senilai Rp6.447 triliun.
Yang menjadi tantangan kemudian adalah mengenai adopsi layanan digital itu di dalam perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Menurut Richardus Eko Indrajit, pakar IT, layanan dan penyesuaian teknologi dari praktik digital banking di Indonesia masih banyak difokuskan pada layanan di front-office. Sementara di back-office, digitalisasi belum banyak dilakukan.
Layanan dan sistem kerja pada sebagian staf-staf di back-office masih dilakukan dengan cara-cara manual, termasuk input data dan proses data hingga analisis data dari beberapa sistem dalam alur kerja mereka. “Ini belum lagi contoh ketika kita kehilangan kartu ATM, kartu debet atau kredit. Masih memerlukan proses panjang lebih sehari untuk mendapatkan kartu kita yang baru,” cerita mantan konsultan ahli Direktorat Teknologi Informasi dan Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia ini.
Saat ini kebutuhan layanan perbankan sudah bergeser kepada pelayanan yang cepat, mudah, dan dapat dikendalikan nasabah. Terkait hal tersebut, kata pria yang akrab dipanggil Richard ini, perbankan harus memiliki layanan digital end to end. Artinya, antara layanan di customer service dan back office berjalan cepat, dan sistem pengumpulan pembayaran dilakukan secara digital.
Karenanya perbankan mau tidak mau harus selalu mengikuti kemauan pelanggan di era digital, sebagai syarat untuk digitalisasi perbankan. Setidaknya ada lima syarat yang dibutuhkan para pelanggan yang kebutuhan hidupnya sudah mulai terikat dengan produk-produk digital. Pertama, nasabah menginginkan produk yang cepat, mudah dan terkendali. Terkendali artinya kontrol itu di tangan mereka, di tangan konsumen. Bank harus cepat merespons kebutuhan ini.
Kedua, pelanggan menginginkan produk yang bisa diakses melalui berbagai alat elektronik baik ponsel, laptop, tablet maupun personal digital assistant (PDA). Ketiga, masyarakat sekarang menginginkan transaksi yang tidak berbatas waktu, karena sering kali pelanggan melakukan kegiatan perbankan 24 jam nonstop dari manapun, tidak harus di rumah.
Keempat, nasabah ingin mengontrol dan mengawasi status transaksinya. Kelima, produk digital tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti membayar biaya kuliah, membeli pulsa dan lain-lain.
Jika memang semua sudah bisa disediakan, kata Richard, maka bisa dikatakan sudah memasuki era perbankan digital. “Namun, sebagai langkah menuju digital banking, penting kiranya pihak bank bisa terlebih dahulu menggabungkan diri dengan industri lain, kementerian, bursa saham dan perusahaan telekomunikasi,” lanjut dia.
Tantangan & Risiko
Penyesuaian sektor back office ke arah digitalisasi yang tidak secepat layanan kepada konsumen adalah tantangan tersendiri buat perbankan. Namun tantangan cukup besar ketika bank mengaplikasikan layanan digital adalah terbukanya potensi kecurangan dan pembobolan dari pihak dalam maupun luar.
Oleh karena itu, isu keamanan adalah persoalan yang sangat digarisbawahi oleh semua pihak yang terkait dengan digital banking ini. Bahkan soal keamanan menjadi poin penting yang membuat banyak bank di Indonesia belum memulai proses digitalisasi pada layanannya.
Pengamat IT Desmon Alexander mencatat, ada empat wilayah yang sarat dengan risiko kejahatan di perbankan yakni data pribadi nasabah, rincian data kerahasiaan bank (saldo dan rekaman transaksi), kerahasiaan data bank komersial, dan informasi rahasia perusahaan. Risiko selanjutnya adalah jika data-data penting dari perbankan ini dijual oleh internal bank sendiri, data dikirim ke pihak ketiga seperti kontraktor atau konsultan, serta diserangan cyber.
Desmon mengakui jika bank dan lembaga keuangan dalam beroperasi sangat ketat dengan aturan. Namun dalam banyak kasus insiden keamanan terjadi karena tidak patuh terhadap berbagai standar dan peraturan. Dan jumlah pelanggaran yang terjadi meningkat setiap tahun, dengan risiko biaya perbaikan per pelanggaran yang juga tidak sedikit.
Dia menegaskan ada tren kejahatan perbankan yang meningkat akibat dari keterlibatan pihak ketiga dalam operasional bank. Hal ini mungkin sebagai akibat dari jenis data ditangani oleh pihak ketiga, proses mentransfer data antara organisasi, atau hipotesis lainnya.
Sementara pembobolan dana nasabah dari sisi TI paling banyak melalui mobile banking yakni mencapai 69 persen, diikuti internet banking 45 persen, aplikasi palsu 33 persen, jaringan 23 persen, layanan virtual 16 persen, dan data center 5 persen.