Kejahatan pencucian uang selalu berkembang seiring teknologi yang melingkupi layanan keuangan. Kini Negara menghadapi ancaman money laundering 5.0.
Oleh Syarif Fadilah
Semua kini sudah mafhum bahwa kegiatan pencucian uang adalah tindakan kejahatan serius. Tetapi sebelum 1930, praktik yang disebut money laundering itu belum benar-benar dianggap kejahatan, setidaknya kejahatan besar.
Adalah Al Capone, penjahat kakap dalam sejarah kriminal di AS yang membuat istilah menjadi penting dan merupakan pelanggaran hukum berat. Dengan cara itu Al Capone dan Gang Mafia lainnya menyembunyikan dana hasil kejahatannya dari perjudian, prostitusi, pemerasan, dan lainnya.
Uang hasil bisnis ilegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasiaan nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya.
Sejak itu kejahatan pencucian uang menjadi tindakan kriminal serius dan menjadi perhatian banyak negara. Di Indonesia isu menangkal praktik tersebut mengemuka pada 2001 ketika organisasi dunia bernama The Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering menempatkan Indonesia sebagai negara yang tidak kooperatif dalam menegakkan standar internasional di bidang anti-pencucian uang. Hal ini tentu merusak kredibilitas ekonomi Indonesia, yang sangat erat kaitannya dengan menurunnya tingkat kepercayaan berbagai negara dan investor terhadap Indonesia.
Pemerintah kemudian merespons dengan mendirikan sebuah lembaga pengawas lalu lintas dana mencurigakan bernama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada April 2002. Setelah lembaga itu berdiri, akan tetapi, praktik haram money laundering bukan makin mengendur malah makin meningkat dan beragam. Ivan Yustiavandana, Kepala PPATK, mengakui hal tersebut. Pria yang lebih dari separo kariernya di lembaga itu mengatakan bahwa praktik pencucian uang akan selalu mengikuti pola kemajuan teknologi informasi. ‘’Semakin maju teknologi informasi, ia bisa menjadi disadvantage bagi tindakan pencegahan pencucian uang,’’ kata dia saat berbicara pada seminar yang dihelat LPPI secara virtual, September.
Ya, perkembangan teknologi yang sangat pesat sekarang ini sepertinya tidak hanya memudahkan transaksi keuangan namun juga memicu modus-modus baru dalam menyembunyikan harta haram. Pada era awal kejahatan itu muncul, para pelaku kriminal hanya melakukan pencucian uang pada pada instrumen-instrumen sederhana.
Para penjahat awalnya hanya menggunakan uang panas untuk membeli aset atas nama dirinya sendiri, dan juga uangnya dimasukkan ke bank atas nama dia. Kemudian penjahat mulai mengembangkan siasat cuci uang dengan menggunakan nominee, gate keeper, beneficial owner. Si penjahat menggunakan bisnis untuk menyembunyikan transaksi kotornya tetapi semua masih dilakukan di dalam negeri. Itu adalah praktik money laundry 2.0.
Pada tahap berikutnya, kita sebut saja 3.0, praktik membersihkan uang kotor itu makin berkembang dengan melibatkan negara-negara lain di offshore. Penjahat mulai membidik negara yang aturan pajaknya ringan (least taxed), aturan kerahasiaan banknya sangat ketat, negaranya random, yurisdiksi dan aturan dibikin berbeda, kemudian sudah mulai memanfaatkan fintech.
Lalu kemudian praktik berubah lagi menjadi money laundry 4.0. Di sini penjahat sudah menggunakan ghost transaction. Mereka sudah menggunakan trustee, dan menggunakan shadow ownership. Makanya kemudian tidak heran kita menemukan yang namanya Panama Papers, kemudian paradise papers.
Setelah isitialh 4.0 menggema, sekarang boleh dibilang semua masuk ke era 5.0, era beyond fintech, ketika semua sudah terlihat seolah tidak ada koneksi satu sama satu sama lain. Hal itu ditandai dengan munculnya NFT, metaverse, mata uang kripto, bitcoin dan lainnya.
Menurut Ivan, Ketua PPATK, kemajuan teknologi dan digitalisasi yang merambah ke hampir semua layanan keuangan, ikut memberi pengaruh pada praktik pencucian uang. Transaksi yang dideteksi mencurigakan bisa dilihat dari kecenderungannya yang irasional. Irasional baik dari sisi pola transaksi, instrumennya, lalu kemudian upline dan underline. Makanya PPATK, lanjut Ivan, kemudian melakukan pengawasan terkait dengan yang kita sebut binomo trading, robot trading yang tahun ini menyita perhatian publik.
‘’Banyak trading-trading yang memanfaatkan kegiatan-kegiatan fintech inilah kemudian kita baru menyadari secara faktual bahwa kemajuan teknologi itu dimanfaatkan selain untuk mempercepat atau mengefektifkan kegiatan transaksi itu sendiri, tetapi ada juga di sisi lain para pelaku tindak pidana atau mereka yang memiliki niat jahat itu memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk kepentingan dia sendiri,’’ papar Ivan.
Namun begitu, ancaman pencucian uang ketika teknologi merebak, tidak melulu dari sisi aplikasi teknologi keuangan. Sekarang, bahkan ancamannya muncul dari praktik filantropi. Adalah kasus ACT, salah satu organisasi yang sempat menarik perhatian publik karena ditengarai ada penggelapan. Artinya di samping ancaman dari transaksi yang sifatnya fully sophisticated secara sistem dan teknologi informasi, ada juga ancaman transaksi yang sifatnya konvensional.
Di samping itu, ancaman cuci uang konvensional dari perjudian juga tidak pernah berhenti, malahan makin marak beriringan dengan kemajuan teknologi. “Sejak tahun 2017 transaksi judi online cenderung meningkat tiap tahunnya dengan jumlah total transaksi yang dianalisis lebih dari 155 triliun rupiah, dan tidak kurang dari 25 Hasil Analisis terkait judi online telah disampaikan kepada aparat penegak hukum oleh PPATK sejak tahun 2019 hingga tahun Juni 2022,” jelas Ivan.
Aktivitas judi online di Indonesia kian merebak di masyarakat. Beragam modus untuk menggaet korban terus dilancarkan. Perkembangan teknologi yang semakin canggih menjadi salah satu keuntungan yang dimanfaatkan oleh para pelaku untuk mengembangkan aksinya sekaligus menjauhkan hasil judi online agar tidak dapat terendus.
Menurut Ivan, yang lebih menantang lagi saat ini adalah strategi pencucian uang yang dilakukan penjahat dengan menggunakan pihak lain atau proxy. “(Saat ini) apabila kita membicarakan yang namanya tindak pidana pencucian uang kita membicarakan yang namanya proxy,” tambah Ivan. “Karena yang kita bicarakan ini adalah tindak pidana proxy, di mana kejahatan dilakukan oleh pihak lain. Kejahatan dilakukan oleh sistem yang lain, kejahatan dilakukan di yurisdiksi lain, kejahatan dilakukan dengan menggunakan instrumen lain, kejahatan dilakukan dengan memanfaatkan apa fintech.”
Ancaman Digital
Apa yang diutarakan oleh Ivan, sejalan dengan pendapat Direktur Utama LPPI Edy Setiadi. Menurut mantan central banker yang meneruskan karier di Otoritas Jasa Keuangan ini, peningkatan ancaman pencucian uang zaman sekarang meningkat seiring peningkatan transaksi digital.
“Ini (transkasi digital) juga akan berakibat kepada pencucian uang, khususnya hasil-hasil korupsi. Dan kita lihat juga beberapa yang sudah nampak di global, khususnya di Jerman. Pernah terjadi juga. Itu transaksi digital yang palsu, sudah hampir sekitar 8,21 miliar dollar AS hilang dari rekening tersebut atau kira-kira Rp29,61 triliun,” papar Edy.
Edy menjelaskan, transaksi keuangan digital bisa menjadi satu faktor terjadinya tindak pidana pencucian uang. Risiko ini sejalan dengan percepatan digitalisasi keuangan berjalan dengan baik, seperti dilansir dari data Bank Indonesia. Dimana uang elektronik di kuartal pertama tahun 2022 ini bisa mencapai 42,06 persen, di triwulan pertama year on year, dengan nilai transaksi mencapai Rp360 triliun atau naik 18,03 persen.
“Transaksi pertambahan digital di perbankan juga meningkat sebesar 34,9 persen pada triwulan yang sama, dengan nilai meningkat 26,2 persen, sehingga menjadi Rp51.729 triliun. Demikian juga transaksi QRIS mencapai Rp4,5 triliun,” papar Eddy mengutip data Bank Indonesia.
Menurut Edy, transaksi digital sudah berkembang naik 5 hingga 7 kali lipat lebih besar dari dana pihak ketiga di bank. “Kalau kita bandingkan transaksi tersebut dengan dana pihak ketiga di perbankan. Dana pihak ketiga sebesar Rp7.384 triliun, dan dengan aset perbankan Rp10.062 triliun.
“Maka nilai transaksi tersebut (transaksi digital) sudah mencapai masing-masing 7 atau 5 kali lipat, dibandingkan dengan dana pihak ketiga yang ada di bank,” imbuhnya.***