Jakarta – Menteri Keuangan Agus Martowardojo memastikan pemerintah akan menjaga kondisi fiskal terutama terkait kemungkinan bengkaknya subsidi BBM di 2013, berkaca pada kondisi di 2012. Harga BBM bersubsidi dipastikan akan dinaikkan jika konsumsi BBM telah melewati kuota yang ditetapkan, yakni 46 juta kiloliter.
Agus mengatakan, perhatian pada subsidi energi menjadi fokus utama pemerintah di 2013. "Kita ingin mengendalikan subsidi BBM dan listrik dengan lebih baik. Karena kalau subsidi BBM dan listrik sudah dianggarkan, tetapi seperti dua tahun terkahir terjadi lonjakan lebih tinggi, ini akan membahayakan kesinambungan fiskal kita. Oleh karena itu, tentu kita tidak boleh menutup kemungkinan harus bisa terjadi penyesuaian harga BBM bersubsidi," kata Agus ketika menggelar konferensi pers di kantornya mengenai realisasi APBN 2012, Senin (7/1).
Pada 2012, realisasi subsidi BBM ternyata 154,2% lebih besar dari pagu yang dianggarkan dalam APBN P 2012, yakni dari Rp 137,4 triliun melonjak menjadi Rp 211,9 triliun. Realisasi subsidi listrik pun bengkak 145,6%, dari pagu Rp 65 triliun menjadi Rp 94,6 triliun. Dengan demikian, keseluruhan subsidi energi melonjak naik menjadi 151,5% dari pagu, yakni sebesar Rp 306,5 triliun, padahal pagu hanya rp 2012,4 triliun.
BERITA TERKAIT
Di luar pagu tersebut, Kemenkeu memperkirakan di 2013 pemerintah masih harus membayar carry over subsidi BBM sebesar Rp 18 triliun dan listrik sebesar Rp 5 triliun. Pembayaran akan dilakukan setelah BPK selesai mengaudit anggaran.
Agus menjelaskan, sebetulnya kenaikan beban subsidi terjadi karena pada APBN P, pemerintah menganggarkan anggaran terlalu rendah. Asumsinya, harga BBM bersubsidi bisa dinaikkan sehingga subsidi tidak perlu terlalu besar dan konsumsi bisa terjaga.
Karena harga batal naik, beban subsidi melonjak. Konsumsi mencapai 45,2 juta kiloliter, jauh di atas kuota yang 40 juta kiloliter. Apalagi ICP yang diasumsikan US$105 perbarel ternyata melonjak menjadi US$113 perbarel, sementara nilai tukar rupiah terdepresiasi dari asumsi Rp 9.000 perdolar AS ternyata Rp 9.384 perdolar AS.
Pada tahun depan, Menkeu menegaskan kuota 46 juta kiloliter harus bisa dijaga oleh kementerian teknis, yakni Kementerian ESDM, dengan kebijakan pembatasan "Kami berkeinginan ini betul-betul bisa mengendalikan 46 juta kiloliter dan ini harus bisa terukur. Karena kalau tidak, akan membahayakan fiskal. Kalau membahayakan fiskal, kita harus melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi seandainya pembatasan tidak bisa berjalan," katanya.
Agus juga mengingatkan, kebijakan menjaga kuota BBM bersubsidi bisa berdampak positif pada ekonomi. Jika kuota terjaga, tekanan di neraca perdagangan dari impor bahan baku BBM bersubsidi akan lebih terprediksi. Dengan kondisi neraca perdagangan yang lebih baik, nilai tukar juga akan bisa menguat. Sebaliknya, jika kebijakan energi untuk mengontrol konsumsi gagal, kebijakan kenaikan harga akan diambil dengan terukur
Dalam kesempatan yang sama, Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang Brodjonegoro mengingatkan, berkaca pada konsumsi di 2012, sulit untuk menjaga konsumsi di 46 juta kiloliter. "Di 2012, realisasi 45 juta kiloliter, maka mustahil 2013 46 juta kiloliter, pasti lewat. Jadi kita harapkan, kalau ada kebijakan dan bukan kebijakan harga, maka bisa menghemat. Kita sudah sering dengar janji, kalau ada kebijakan ini akan ada penghematan sebesar sekian, tapi tidak terjadi," kritik Bambang.
Usul Bambang, mengontrol konsumsi BBM bisa dilakukan dengan memulai kebijakan energi mengenai konversi ke BBG. Menurutnya, karena sulit untuk memaksa kendaraan pribadi menggunakan BBG dengan membeli converter kit seharga Rp 15 juta, pemerintah bisa memaksa kendaraan umum dan barang untuk mulai duluan.
Anggaran subsidi pun bisa dialihkan untuk pemasangan converter kit BBG. Ia juga menyarankan, solusi tersebut dilaksanakan di kota besar dulu. "Jadi kita ingin di depan ini kebijakan energinya jelas. Kalau mau konversi energi ya lakukan, jangan maju mundur seperti sekarang," tegas Bambang.
Pada 2013, anggaran subsidi BBM pada APBN adalah Rp 193,8 triliun. Asumsi ICP yang digunakan adalah US$100 perbarel. Sebagai catatan, per 4 Januari 2013, ICP adalah sebesar US$106 perbarel.