Pemerintah berupaya menetapkan harga karbon yang sesuai dengan kepentingan Indonesia. OJK pun memfasiltiasi dengan menyiapkan bursa karbon. Stakeholder industri pun berbondong-bondong memberi dukungan. Salah satunya MUTU Internasional yang meningkatkan akuntabilitasnya sebagai pakar di bisnis Testing, Inspection, and Certification (TIC) dengan bergabung sebagai anggota bursa melalui IPO. Dengan dukungan pemegang saham publik, MUTU International akan menjadi pilar yang dapat diandalkan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di skala internasional.
Oleh Romualdus San Udika
Di era modern, isu yang paling kerap muncul terkait lingkungan adalah emisi karbon. Bahkan memasuki milenium ketiga, isu untuk mengurangi emisi karbon itu telah melembaga. Kini pembahasannya berkembang pada penetapan harga karbon.
Pemerintah Indonesia punya komitmen kuat untuk mengurangi proses pelepasan karbon ke lapisan atmosfer bumi, sejalan dengan Perjanjian Paris yang merupakan kesepakatan global untuk mengurangi efek perubahan iklim 2015. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030, ditambah aksi pra-2020.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 231,2 juta ton CO2 pada 2025 guna mencapai nol emisi karbon (Net Zero Emission/NZE) pada 2060.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan target penurunan emisi yang terdekat pada 2025 akan dilakukan melalui beberapa langkah. Di antaranya dari sisi pasokan dilakukan melalui pemanfaatan PLTS atap, percepatan waste to energy, pengembangan PLTBm skala kecil, dan penambahan PLTA.
Tak hanya pemerintah, regulator sektor keuangan juga diminta berkontribusi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kemudian bergerak dengan memberikan insentif dan disinsentif. OJK mengiming-imingi insentif kepada para pelaku industri kategori taksonomi hijau yang berhasil mengurangi emisi karbon. Sedangkan bagi yang belum, OJK akan memberikan disinsentif.
Selain itu, langkah tersebut juga menjadi dukungan OJK terhadap komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi dan gas rumah kaca pada 2030 sebesar 29 persen melalui upaya sendiri, serta 41 persen lewat bantuan internasional. Sebab, jika tidak menurunkan emisi dan efek rumah kaca, berdasarkan data resmi, disebutkan pada 2024 Indonesia akan mengalami kerugian sekitar Rp115 triliun.
OJK juga menerbitkan peta jalan (roadmap) fase I 2015-2019 mengenai sustainable finance untuk membangun kesadaran para pelaku industri tentang pentingnya keuangan berkelanjutan. Pembiayaan tersebut penting, karena untuk menurunkan emisi dibutuhkan biaya besar dan tidak ada satu negara pun yang bisa melakukannya sendiri.
Paling baru, wasit jasa keuangan itu terus menyiapkan penyelenggaraan bursa karbon untuk mendukung inisiatif pemerintah menetapkan harga karbon dalam upaya mengatasi perubahan iklim. “OJK bersama industri jasa keuangan siap mendukung inisiatif ini,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, akhir September silam.
OJK tengah mempersiapkan bursa perdagangan karbon yang ditargetkan meluncur pada September 2023 dan akan dilakukan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Salah satu yang sedang disiapkan adalah peraturan dan mekanisme perdagangan karbon di BEI. Bursa karbon diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau PPSK.
Mantan Wakil Menteri Luar Negeri itu berpandangan penetapan harga karbon yang diinisiasi oleh pemerintah dapat memberikan insentif untuk mengurangi emisi dan disinsentif bagi perusahaan yang memproduksi lebih dari batas yang ditoleransi. Apalagi, dengan kondisi geografis Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia bisa memiliki banyak keuntungan dari perdagangan emisi karbon global.
“Di sinilah Indonesia dapat melangkah dan memanfaatkan keunggulannya sebagai pemimpin untuk menggunakan inisiatif bursa karbon dalam memberikan alternatif pembiayaan bagi sektor riil,” jelas Mahendra.
Dengan hutan tropis seluas 125 juta hektare, tambahnya, Indonesia diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon, belum termasuk hutan bakau dan gambut, sehingga diperkirakan bisa menghasilkan pendapatan senilai 565,9 miliar dollar AS dari perdagangan karbon. Untuk mendukung peluang itu, dibutuhkan kerangka regulasi yang jelas mengatur mengenai kewenangan dan pengoperasian bursa karbon, baik untuk perdagangan dalam negeri maupun luar negeri.
Selain itu, juga harus memastikan perangkat infrastruktur tidak hanya fit tetapi juga lengkap mulai dari infrastruktur primer, sekunder, dan pasar sehingga dapat mendukung beroperasinya bursa karbon, serta mekanisme pengawasan yang sesuai untuk pasar karbon. “Agar selaras dengan target nasional yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contribution,” kata Mahendra.
OJK berharap regulasi terkait payung hukum mengenai otoritas penyelenggaraan dan operasional perdagangan karbon khususnya melalui bursa karbon dapat segera diterbitkan sehingga dapat mempercepat tujuan pencapaian NDC Indonesia serta target implementasi net zero emission pada 2060.
Lebih lanjut, Mahendra yakin sektor pembiayaan tidak hanya berperan dalam mengkatalisis transisi menuju energi baru terbarukan, tetapi juga menunjukkan bahwa peralihan ini menguntungkan dalam jangka panjang. Ia menegaskan sektor pembiayaan Indonesia siap untuk memainkan peranannya.
Tantangan
Akan tetapi meski penerapan perdagangan karbon khususnya bursa karbon sudah dipersiapkan, namun pembahasan terkait harga karbon di forum Trade, Investment, and Industry Ministerial Meeting (TIIMM) G20 yang digelar pada 22-23 September 2022 masih belum menemukan titik terang. Hal itu dikonfirmasi oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.
Bahlil dalam pertemuan World Economic Forum (WEF) Annual Meeting 2022 di Davos, Swiss pada Mei 2022 sempat memberikan masukan terkait Perjanjian Paris. Masukan itu dilakukan lantaran dirinya memandang ada ketidakadilan harga karbon antara negara maju dan negara berkembang. Pasalnya, harga karbon di negara maju jauh lebih mahal yakni 100 dollar AS, sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang.
Hal itu tentu sangat disayangkan mengingat sumber karbon paling besar justru berada di negara berkembang. Sebut saja limpahan kekayaan alam lahan gambut, mangrove, karang, hingga area hutan yang masih alami yang justru banyak tersebar di negara berkembang. Jika dihargai murah bisa saja apa yang dimiliki negara berkembang saat ini bisa terkikis.
‘’Ketika ini tidak mampu kita mediasi dan mitigasi secara baik, maka saya tidak menjamin rakyat sekitar hutan akan memelihara hutan. Dan negara berkembang belum punya cukup kapital untuk melakukan investasi hal ini. Karena itu kita butuh kolaborasi yang baik. Kita ingin melahirkan produk yang hijau, tetapi kita juga ingin suatu kolaborasi yang saling menguntungkan dalam rangka investasi,” papar Bahlil.
Terlepas dari itu, pelaku industri menyatakan siap membantu pencegahan perubahan iklim dengan mendukung perdagangan karbon. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) atau BRI menyatakan siap berperan aktif mendukung keberlanjutan dan penurunan emisi karbon. Salah satu yang dilakukan yakni melalui program BRI Menanam.
Dalam program BRI Menanam, BRI menyalurkan 1,75 juta bibit pohon dan diestimasikan mampu mengurangi emisi karbon hingga 108.065 tCo2e dalam lima tahun. Dengan angka tersebut, BRI berkontribusi untuk menurunkan emisi karbon sebesar 23 persen.
Sebagai informasi, jejak karbon penggunaan listrik dan bahan bakar di BRI pada 2020 sebesar 469.847 tC02e dan diproyeksikan menurun menjadi 361.782 tC02e pada 2025. Kalkulasi tersebut didasarkan pada asumsi daya serap CO2 pohon produktif yang dibagikan dalam BRI Menanam sebesar 88,11 kg per pohon per tahun. Potensi mortalitas dari bibit tanaman yang disalurkan dalam program tersebut pun telah diperhitungkan.
Sedangkan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) atau Bank Mandiri mencatat portofolio pembiayaan berkelanjutan pada kuartal II-2022 mencapai Rp226,3 triliun atau tumbuh 20,75 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Jumlah kredit tersebut setara dengan 25 persen dari total kredit yang disalurkan Bank Mandiri sepanjang enam bulan pertama 2022.
Jika dirinci, sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) (Rp115 triliun), perkebunan minyak sawit berkelanjutan (Rp96,6 triliun), dan sektor energi terbarukan (Rp4,7 triliun) menjadi tiga sektor terbesar penerima pembiayaan berkelanjutan dari Mandiri.
Koleganya sesama bank di bawah komando Kementerian BUMN yakni BNI pada Juni 2022 memiliki portofolio pembiayaan berkelanjutan sebesar Rp176,6 triliun. Jumlah tersebut setara 28,6 persen dari total kredit yang disalurkan BNI pada periode tersebut. Dari Rp176,6 triliun, sebesar Rp117,9 triliun mengalir ke UMKM. Kemudian pembiayaan yang berkaitan dengan sektor pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dan sektor energi berkelanjutan masing-masing sebesar Rp16,1 triliun dan Rp12 triliun.
Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau BCA telah menyalurkan pembiayaan yang berorientasi pada keberlanjutan sebesar Rp169,5 triliun pada semester I-2022 atau tumbuh sebanyak 21,8 persen yoy. Jumlah kredit tersebut setara dengan 24,9 persen dari total kredit yang disalurkan BCA pada enam bulan pertama 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp94,2 triliun mengalir ke sektor UMKM dan Rp75,3 triliun mengalir ke sektor non UMKM seperti perusahaan energi terbarukan, efisiensi energi, hingga transportasi bersih atau ramah lingkungan.
Peran MUTU International
Kendati pelaku perbankan telah bergerak mengadopsi green financing, maka pelaku industri dengan bisnis yang menghasilkan emisi gas rumah kaca atau menghasilkan karbon dioksida, membutuhkan penilaian atau sertifikasi sehingga layak menjadi salah satu pelaku dalam di bursa karbon. Dalam hal ini, lembaga pelaksana validasi hingga sertifikasi sangat memainkan peran penting dalam memastikan integritas dan transparansi pasar karbon.
Untuk dipahami bahwa validasi adalah proses pemeriksaan independen terhadap proyek atau kegiatan yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) atau menghasilkan unit karbon dioksida setara (UKAS) sebelum mereka diizinkan untuk berpartisipasi dalam skema bursa karbon.
PT Mutuagung Lestari (MUTU International), adalah salah satu lembaga validasi yang telah berperan membantu industri untuk berdaya saing dengan sertifikasi yang diterbitkan hampir satu dekade terakhir. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengujian, inspeksi dan sertifikasi atau Testing, Inspection, and Certification (TIC) ini pun mengaku sangat siap mendukung perdagangan karbon melalui adanya bursa karbon yang rencananya berjalan mulai September 2023.
Dukungan ini seiring dengan Perusahaan yang sudah menjadi Lembaga Validasi dan Verifikasi (LVV) Gas Rumah Kaca yang terakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) sejak tahun 2015 untuk menyelenggarakan penilaian kesesuaian berupa kegiatan validasi dan verifikasi berdasarkan ISO/IEC 14065:2020 General principles and requirements for bodies validating and verifying environmental information.
Maka tentu saja MUTU International sudah memiliki ekosistem bisnis yang sesuai untuk bursa karbon yakni sudah diakreditasi sebagai LVV GRK oleh KAN. Apalagi kegiatan validasi dan verifikasi ini adalah salah satu dari bisnis utama MUTU International. Presiden Direktur MUTU International Arifin Lambaga mengungkapkan, hingga saat ini, MUTU international telah menerbitkan 11 laporan validasi dan verifikasi gas rumah kaca dengan berbagai skema dan program serta terdapat 8 kegiatan yang akan dan sedang berlangsung pada tahun ini. MUTU International juga telah menerbitkan 105 sertifikat dengan skema International Sustainable Carbon Certification (ISCC) pada tahun 2022.
MUTU International melakukan validasi dan verifikasi proyek berdasarkan ISO 14064-2 yakni serangkaian sistem pengelolaan gas rumah kaca yang menyediakan program keberlanjutan bagi organisasi untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan energi dalam kegiatan usaha pelanggan. MUTU juga menjadi Third Party Entry (TPE) yang melakukan validasi dan verifikasi terhadap proyek dengan mekanisme kredit bersama atau joint credit mechanism (JCM), yakni Komite Bersama antara Pemerintah Jepang dan Indonesia yang memiliki visi untuk mengurangi emisi karbon melalui penghematan energi dengan cara menerapkan teknologi efisiensi energi yang tinggi untuk kegiatan usaha di bidang industri jasa, pengolahan dan atau manufaktur.
Selain itu, MUTU International juga melakukan verifikasi terhadap Laporan Emisi Tahunan yang dibuat oleh Maskapai Penerbangan melalui program Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA), sebuah skema yang dibuat oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) dalam upaya dunia internasional dalam mengurangi gas buang CO2 pada penerbangan internasional.
Direktur Mutu International Irham Budiman mengatakan MUTU International bahkan telah berkontribusi sebagai lembaga validasi dan verifikasi independen untuk penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang memberikan penilaian terhadap Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi (DRAM) dan sebagai Verifikator yang memberikan Penilaian terhadap laporan implementasi dan monitoring Aksi Mitigasi yang disusun oleh Penyelenggara Aksi Mitigasi pada proses Registrasi SRN PPI dan pengajuan penerbitan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK).
Irham Budiman yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perkumpulan Penilai Kesesuaian Seluruh Indonesia (ALSI) mengatakan bursa karbon sangat dibutuhkan karena sejalan dengan upaya Pemerintah Indonesia untuk mencapai target nationally determined contribution (NDC) sebesar 29 persen – 41 persen pada 2030 serta net zero emission (NZE) atau emisi nol bersih pada 2060.
Analisis Carbon Brief pada Oktober 2021 mengungkap, Indonesia menempati peringkat kelima negara penghasil emisi terbesar dunia sejak tahun 1850. Kontribusinya mencapai 4 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 mencatat, emisi karbon Indonesia mencapai 932.000 ton karbon dioksida (CO2) pada 2001. Angka ini meningkat menjadi 1,15 juta ton CO2 pada 2017. Penyumbang terbesar adalah sektor energi dan sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU). Pada 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan jumlah emisi karbon dioksida yang dihasilkan di Indonesia mencapai 1.262 gigaton. Pemerintah telah menargetkan bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025.
“Perlu keseriusan bersama dari seluruh pihak untuk mengurangi emisi karbon di Tanah Air. Bursa karbon merupakan salah satu upaya yang perlu didukung dengan eksosistem bisnis di masing-masing institusi. MUTU International sebagai salah satu anggota ALSI, perkumpulan perusahaan TIC, sudah memiliki ekosistem pendukung tersebut,” demikian Irham.
IPO demi Akuntabilitas
MUTU Internasional pun berhasil meningkatkan posisi sebagai lembaga validasi yang terpercaya dengan melakukan pencatatatan sahamnya di lantai Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham “MUTU” melalui pelaksanaan Penawaran Umum Saham Perdana (Initial Public Offering/IPO) pada Rabu, 9 Agustus 2023 lalu.
MUTU International menjadi perusahaan tercatat ke-60 dalam tahun 2023 yang berhasil mengikuti proses IPO, dengan Penjamin Emisi Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk. Seiring dengan pelaksanaan IPO, MUTU International juga menerbitkan 235,71 juta Waran Seri I, yang setara dengan 10,71 persen dari total saham yang ditawarkan, dengan harga pelaksanaan Rp324 selama periode pelaksanaan. Jumlah saham yang dilepas ke masyarakat mencapai 942.857.200 lembar saham, mewakili 30 persen dari total modal yang telah ditempatkan dan disetor penuh dalam Perseroan.
Proses bookbuilding MUTU International berlangsung mulai tanggal 12 hingga 24 Juli 2023, dengan kisaran harga saham per lembar antara Rp105 hingga Rp110. Penawaran umum dilaksanakan pada tanggal 2 hingga 7 Agustus 2023, dengan mencapai 252 kali lipat dari jumlah saham yang ditawarkan. Sehingga nilai permintaan terhadap saham MUTU mencapai lebih dari Rp5 triliun. Harga Penawaran Saham Perdana (IPO Price) ditetapkan sebesar Rp108 per saham, dengan target perolehan dana dari IPO mencapai Rp101,82 miliar. Tidak lama berselang setelah peresmian pencatatan di Bursa Efek Indonesia, harga saham telah mencapai Rp145 per lembar,atau peningkatan sebesar 34,26 persen, sehingga perdagangan saham mencapai Auto Reject Atas (ARA).
Arifin Lambaga, Presiden Direktur MUTU pun mengucapkan terima kasih kepada para investor atas antusiasme dan kepercayaan mereka terhadap proses pencatatan saham perdana serta eksistensi MUTU International sebagai salah satu Lembaga Penilai Kesesuaian terbesar di Indonesia. Dana yang diperoleh dari IPO akan memberikan dukungan untuk pengembangan bisnis Perseroan ke depan dan mengambil peluang bisnis lebih lanjut dalam industri pengujian, inspeksi, sertifikasi, dan membantu dalam pelaksanaan rencana bisnis secara efektif.
Arifin juga menegaskan bahwa dengan berada di lanti bursa, sebagai salah satu emiten pasar moda, maka peluang masa depan bagi MUTU untuk perpartisipasi aktif dalam rencana Bursa Karbon yang akan diselenggarakan oleh OJK pada September 2023, sangat terbuka. Apalagi MUTU telah terlibat dalam skema International Sustainable Carbon Certification (ISCC) dan mendukung program Join Credit Mechanism (JCM).
Dan untuk diingat kembali bahwa MUTU International adalah perusahaan yang melayani jasa pengujian, inspeksi, dan sertifikasi yang telah hadir sejak sejak 1990. Tak heran MUTU International telah menjadi perusahaan swasta Indonesia yang terbesar di bidangnya. Dan kini, MUTU International telah melakukan ekspansi dengan melebarkan sayap perusahaan hingga ke Vietnam, Tiongkok, dan Jepang.
Oleh karena itu, Arifin sangat optimis bahwa dengan dukungan pemegang saham publik, MUTU International akan menjadi pilar yang dapat diandalkan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di skala internasional. ***