Pembaca yang budiman.
Dalam praktik bisnis sudah selayaknya pihak-pihak yang melakukannya mencari keuntungan. Namun demikian, fokus pada akumulasi keuntungan itu telah membuat bisnis melupakan sisi kelestarian alam, bahkan bertahun-tahun praktik bisnis justru banyak yang merusak alam.
Pada era 90-an muncul kesadaran untuk menyeimbangkan praktik bisnis dan pelestarian alam, dan terus berlanjut hingga beberapa tahun lalu. Cita-cita untuk menerapkan bisnis yang lebih mempertimbangkan dampaknya kepada lingkungan sudah dimulai sejak 1994 lalu, ketika sebuah perusahaan bernama Elkington & Co memunculkan konsep 3P (People, Planet, Profit). Istilah yang terdapat dalam buku berjudul “Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business”, kemudian menjadi terkenal dan diadopsi oleh banyak
organisasi dan perusahaan sebagai pendekatan untuk mencapai bisnis yang lestari. Bisnis yang seimbang antara
keuntungan ekonomi, penghargaan terhadap manusia/sosial masyarakat, dan pelestarian lingkungan.
Pendekatan itu kemudian berkembang dan mengalami perubahan istilah ketika diadopsi oleh sektor keuangan. Sebut saja, sustainable finance, green banking, hingga ESG (Environment, Social, Governance) yang sekarang ini
lebih banyak digunakan. Meski begitu, pelaku bisnis yang menerapkannya belum mendapatkan nilai ekonomis yang riil dari penerapan praktik yang disebut dengan sustainability itu. Sampai akhirnya muncul mekanisme perdagangan karbon.
Kini platform perdagangan gas rumah kaca itu juga sudah diterapkan Indonesia secara resmi September lalu. Beroperasinya Bursa Karbon dinilai akan menjadi pendorong masif bagi penerapan praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan itu. Dengan kata lain Bursa Karbon diperkirakan akan mencapai milestone terbaru dari praktik sustainable finance.
Pemangku kebijakan telah bergandeng tangan mewujudkan mekanisme baru demi tercapainya target net zero emission pada 2050. Selain itu kehadiran mekanisme perdagangan karbon ini menjadikan Indonesia selangkah lebih maju dalam menyejajarkan diri dengan praktik keberlanjutan yang sudah diterapkan di negara-negara maju. Meski demikian patut disimak bagaimana seharusnya stakeholders merespons langkah otoritas ini.
Terkait hal tersebut Majalah Stabilitas pada edisi kali ini akan mengangkat isu terkait peluang dan tantangan Bursa Karbon tersebut di Indonesia khususnya sektor keuangan.
Pada tulisan pertama, akan diulas sekapur sirih mengenai keinginan global terkait praktik bisnis yang lebih memperhatikan lingkungan dari tahun ke tahun dalam dua dekade ini. Serta dampak yang akan terjadi setelah Bursa Karbon itu beroperasi secara resmi.
Pada bagian selanjutnya kami akan mengangkat ulasan mengenai reaksi industri keuangan terkait praktik berkelanjutan dan tentunya tanggapan mereka soal hadirnya Bursa Karbon ini. Apa saja tantangan dan peluang di industri keuangan terutama perbankan dengan hadirnya Bursa Karbon.
Selanjutnya kami akan mengulas dari sisi pemerintah. Bagaimana peran pembuat kebijakan dalam mendukung
tujuan nasional mencapai net zero emission juga target terbaru pemerintah dalam NCD di 2030, dengan kehadiran Bursa Karbon, akan menjadi pembahasan utama di bagian ini.
Di pembahasan berikutnya kami angkat tentang perkembangan praktik Bursa Karbon di mancanegara yang menjadi acuan atau best practise dunia. Misalnya yang terjadi di Eropa dan juga belahan dunia lainnya. Bagaimana kemudian praktik dan kehadiran Bursa Karbon menambah kecepatan penerapan bisnis yang berkelanjutan, dan apa saja efek negatifnya, akan menjadi pembahasan utama di dalamnya.
Namun sekadar mengingatkan bahwa pada artikel-artikel lainnya kami juga tetap menghadirkan topik-topik hangat dalam sudut pandang manajemen risiko, yang bisa menginspirasi Anda dalam mengambil keputusan.
Selamat membaca.