PT Bukit Asam mungkin tengah menghitung ulang target produksi 2015. Pasalnya proyek penambangan batubara di Bangko, Sumatra Selatan, masih terganjal aturan.
Oleh : Egenius Soda
BERITA TERKAIT
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Target sebesar apapun jika terganjal rencana yang tak berjalan mulus tentu akan berantakan hasilnya. Salah satu perusahaan negara di sektor energi mungkin tengah meratapi kondisi yang tengah dialaminya.
Betapa tidak, keinginan untuk menaikkan target produksi dalam empat tahun mendatang terhalang oleh persoalan yang juga tak bisa dibilang gede-gede amat. Kini, PT Bukit Asam, satu-satunya perusahaan pelat merah yang bergerak di penambangan batu bara hanya bisa menunggu nasib sambil berharap pemerintah mau menolongnya.
Ceritanya bermula dari keinginan perusahaan untuk meningkatkan produksi secara bertahap hingga pada 2015 menembus angka 50 juta ton. Saat ini produksi batubara PTBA berkisar antar 12 juta hingga 13 juta ton. Hal itu dilakukan perseroan sebagai respons atas peningkatan permintaan komoditi energi dari tahun ke tahun karena meningkatnya konsumsi. Selain itu, keinginan tersebut juga didorong oleh adanya lokasi penambangan baru di Bangko, Tanjung Enim, Sumatra Selatan.
Sejak itu, PTBA mulai menyusun rencana, agar produksi di Bangko bisa segera diangkut maka dibutuhkan sebuah jalur kereta api khusus dari Sumatra Selatan ke Lampung. Karena area penambangan tersebut tidak masuk dalam jalur pengangkutan batubaru yang sudah dimiliki oleh PTBA.
Selama ini perusahaan tambang milik negara itu memang menggantungkan proses pengangkutan batabara lewat jalur kereta api karena lebih efisien mengingat jaraknya yang jauh antara lokasi tambang dengan pelabuhan. Sejauh kapasitas produksi masih di angka 12 juta ton, PTBA mengaku tidak ada masalah dengan daya angkut kereta api.
Akan tetapi saat manajemen menetapkan akan meningkatkan produksi hingga lebih dari empat kali lipat tentu daya angkut harus ikut didongkrak. Direktur Utama PTBA Sukrisno mengatakan bahwa dari sisi kemampuan, sebenarnya sudah tidak ada kendala jika harus melipatgandakan produksi. “Hal yang sering menghambat ekspansi dalam kaitan dengan kapasitas produksi adalah daya angkut kereta api yang masih kecil,” kata dia.
Bahkan menurut Sukrisno kapasitas produksi batubara perseroan saat ini sebenarnya sudah bisa ditingkatkan hingga 25 juta ton tetapi sayangnya daya angkut baru mencapai 60 sampai 70 persen dari jumlah itu karena keterbatasan sarana transportasi khususnya kereta api. “Sebenarnya kalau PT Kereta Api bisa mengangkut berapa pun produksi, kita (PTBA) tinggal menambah produksinya. Karena dari segi peralatan produksi tidak ada masalah,” tandas Sukrisno.
Dengan alasan itulah, perseroan berniat membangun jalur kereta api baru dan pelabuhan yang diberi nama Bukit Asam Transpasific Railway (BATR). Kereta Api batubara ini memiliki bentangan rel sepanjang 307 kilometer dari Tanjung Enim, Sumatra Selatan menuju ke pelabuhan baru di Lampung. Kapasitas angkut dari jalur ini ditargetkan mencapai 25 juta ton per tahun dan diperkirakan beroperasi secara komersil pada 2014 dengan masa kontrak selama 20 tahun.
Direncanakan angkutan kereta api BART inilah yang nantinya akan mengangkut batubara PTBA dari tambang batubara Bangko Tengah, Sumatera Selatan menuju pelabuhan batubara di Srengsem, Lampung.
BART sendiri merupakan perusahaan patungan antara PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan kepemilikan saham sebesar 10 persen dengan PT Transpacific Railway Infrastructure yang menguasai 80 persen saham dan China Railway Engineering Corporation memiliki sekitar 10 persen saham.
Untuk diketahui PT Transpacific Railway Infrastructur adalah anak usaha Rajawali Group. Sedangkan China Railways Group Limited merupakan perusahaan dengan kepemilikan saham 100 persen oleh China Railway Engineering Corporation perusahaan asal Negeri Tirai Bambu.
Dalam merealisasikan rencana tersebut, BATR telah menandatangani Kontrak Desain Konstruksi dengan China Railways Group Limited pada Maret 2010 silam dengan nilai investasi sebesar 1,3 miliar dollar AS. Nilai total investasinya sendiri mencapai 1,8 miliar dollar AS.
Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan, BATR mencari sumber pendanaan lain dan kabarnya ada empat bank dari China yang menyatakan kesediaan memberikan pinjaman. Keempat mitra tersebut adalah Bank Of China, China Development Bank, China Exim dan ICBC.
Terganjal Aturan
Namun bukan dari empat bank itu ganjalan dalam rencana pembangunan BATR itu. Hambatan justru muncul dari persoalan terkait kepemilikan PT Bukit Asam Bangko (BAB), anak usaha PTBA yang akan menjadi pengelola tambang Bangko. Saat ini BAB dimiliki sahamnya sebanyak 65 persen oleh PTBA dan sisanya sebesar 35 persen dimiliki PT Rajawali Asia Resources yang tidak lain adalah anak usaha Rajawali Group.
Dari situlah masalah mulai muncul. Berdasarkan Undang-Undang No 4/2009 mengenai Pertambangan Mineral Dan Batubara, yang berhak mengelola pertambangan adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dalam hal ini yang memegang izin itu adalah PT Bukit Asam,Tbk. Dengan demikian yang berhak melakukan kegiatan penambangan di lokasi tambang batubara tersebut adalah PTBA bukan BAB, meskipun nama terakhir adalah anak usahanya.
Dengan kejadian itu rencana penandatangan komitmen yang sedianya di bulan Oktober ini urung terlaksanakan. “Proyek BATR tidak akan berjalan sebelum status kepemilikan BAB jelas,” tandas Rudiantara, Chief Excecutive Officer (CEO) BATR Rudiantara.
Oleh karena tidak jelasnya status kepemilikan BAB tersebut, segala aktivitas tambang batubara di Bangko pun belum bisa dilaksanakan. Kondisi itu berimbas pada pembangunan proyek BART yang memang dikhususkan untuk mengangkut batubara produksi tambang Bangko tersebut. “Kami berharap struktur BAB segera selesai secepatnya dengan tetap mengacu kepada economic interest yang sudah diperjanjikan,” tandas Rudiantara.
Pihak PTBA sebenarnya telah mempertimbangkan beberapa opsi untuk kelangsungan BAB ke depannya. Opsi-opsi tersebut juga telah diperbincangkan dengan Kementerian terkait.
Salah satu opsi yang ditawakan PTBA adalah bahwa BAB mengakuisisi sebuah perusahaan tambang untuk mengelola batubara hasil dari tambang Bangko. Opsi lainnya dengan meminta pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) bahwa BAB merupakan pengelolah di Bangko.
Meski sudah memiliki opsi terkait status, BAB mengaku masih pesimistis masalah status BAB akan selesai dalam waktu dekat. “Butuh waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan masalah BAB, sehingga realisasi pinjaman belum terjadi dalam waktu dekat,” tandas Rudiantara. Dengan molornya pendanaan dari pihak ketiga dan masih menggantungnya status BAB, pembangunan rel kereta pun tertunda.
Selain proyek kereta api, sebenarnya perseroan saat ini juga sedang melakukan berbagai efisiensi termasuk dari sisi energi dengan membangun beberapa PLTU. Setidaknya ada tiga PLTU yang sedang dibangun perseron yakni PLTU Banjar Sari, PTLU Tanjung Enim dan PLTU Pelabuhan Tarahan.
Selain juga akan ada peningkatan kapasitas Pelabuhan Tarahan menjadi 25 juta juta per tahun. Ini dilakukan dengan membangun tambahan pelabuhan baru yang dapat disandari kapal dengan kapasitas 150.000 DWT. Saat ini pelaksanaannya masih berlangsung dan diharapkan pada 2013 semua sarana dan prasarananya telah selesai.
Demikian juga dengan pengembangan tambang di Unit Penambangan Ombilin, pada Juli 2011 oleh kontraktor penambangan PT Times Surya Energi yang mulai melakukan persiapan untuk penambangan di Ombilin I. Ditargetkan pada awal tahun 2012 sudah mulai berproduksi, dan tahun depan diharapkan sudah dapat mengeluarkan sekitar 200.000 ton batubara. Semua itu dilakukan perseroan untuk mencapai target produksi 50 juta ton per tahun pada 2015 dan meningkat menjadi 85 juta ton per tahun pada 2018.
Namun karena persoalan lokasi penambangan di Bangkong belum juga selesai, PTBA bisa jadi akan berpikir ulang mengenai rencana untuk meningkatkan produksi hingga 50 juta ton pada 2015. SP