Buku fiksi dengan latar belakang ekonomi politik bukan sesuatu yang baru di belahan Barat. Tetapi di Indonesia, genre buku ini tergolong langka. Paling tidak ada tiga faktor penyebabnya. Pertama, Ketatnya sensor di masa Orde Baru, plus ancaman dan tuduhan telah melakukan makar, meski hanya kisah fiksi, membuat penulis enggan mengambil risiko menulis buku bertema ekonomi politik.
Kedua, tingkat kesulitan menulis buku fiksi bertema ekonomi politik relatif tinggi. Penulis tidak hanya dituntut wawasan yang luas, dan memahami berbagai istilah ekonomi nan rumit, tetapi juga menyajikannya topik berat itu dengan bahasa yang cair.
Ketiga, risiko penolakan konsumen. Selama ini penerbit sangat selektif menerbitkan buku dan lebih suka mengambil jalan aman dengan menerbitkan buku dengan tema yang tengah ngetrend.
BERITA TERKAIT
Seiring dengan runtuhnya era Orde Baru, ancaman sensor dan tuduhan makar terhadap penulis relatif ikut sirna. Alhasil, peluang menulis buku bergenre ekonomi politik pun terbuka lebar. Namun sangat langka penulis yang memilih genre ekonomi-fiksi ini karena kesulitan-kesulitan seperti pada poin kedua.
Dan, Tere Liye tergolong penulis yang langka itu. Latar belakang pekerjaan dan pendidikan sang penulis sebagai akuntan jebolan ekonomi Universitas Indonesia berpadu apik dengan latar belakang lingkungannya dari Sumatra yang terkenal fasih bertutur kata. Hasilnya, buku Negeri Para Bedebah, tidak sekadar mengisi kekosongan buku fiksi bertema ekonomi politik di Tanah Air, tetapi sukses dan telah dicetak ulang lima kali hanya dalam kurun waktu setahun.
Sinopsis buku Negeri Para Bedebah mengambil setting Indonesia yang tengah dilanda krisis keuangan global tahun 2008. Kisahnya sendiri tentang Thomas, konsultan keuangan keturunan China, yang berjuang menyelamatkan bank milik keluarganya yang terancam dilikuidasi Bank Indonesia. Sekilas membaca novel ini, mau tidak mau, kita akan teringat kepada kasus Bank Century.
Tetapi bukan hanya Bank Century saja yang sepertinya mengilhami Tere Liye. Potret wajah ekonomi politik Indonesia berceceran dalam buku setebal 440 halaman ini. Misalnya, latar belakang keluarga sang tokoh utama yang berasal dari China daratan dan memulai bisnis bahan pokok berkongsi dengan perjabat setempat, akan langsung mengarahkan benak kita kepada sosok Sudono Salim alias Liem Sioe Liong, mantan orang terkaya di Indonesia.
Strategi Tere Liye memindahkan kisah dan tokoh nyata menjadi kisah dan tokoh fiksi adalah langkah yang cerdik. Tanpa perlu upaya terlalu keras, pembaca akan langsung merasa dekat dengan cerita yang disampaikan. Misalnya, ketika di salah satu bagian, Thomas berusaha melarikan pamannya ke luar negeri dengan bantuan pejabat bandara, sangat mudah diterima otak kita karena cerita model ini memang sudah jadi rahasia umum di negeri ini. Atau saat membaca adegan Thomas menemui tokoh Ibu Menteri Keuangan dan membeberkan kontroversi bail-out bank milik keluarganya, kita boleh jadi tengah membayangkan wajah mantan menkeu fiksi itu seperti Sri Mulyani.
Kecerdikan Tere Liye yang lain adalah menggarap novel ini bergaya thriller. Adegan per adegan dibuat mengalir cepat namun menyisakan misteri. Alhasil kita seperti dipaksa untuk secepatnya membuka halaman demi halaman demi menemukan jawabannya. Tere Liye juga relatif berhasil menjaga plot novel ini sampai klimaksnya. Termasuk menyisakan akhir mengambang ala Harry Potter yang akan membuat pembaca penasaran untuk menunggu kelanjutan sepak terjang Thomas berikutnya.
Di balik kesuksesan buku ini, terselip sejumput tanya, siapa sebenarnya Tere Liye? Berbeda dengan penulis lain yang biasanya memajang foto dan biografi singkatnya di sampul buku, Tere Liye justru menghindarinya. Bahkan sebenarnya nama Tere Liye yang dalam bahasa Hindi (India) artinya Untukmu, hanyalah nama pena. Boleh jadi ini adalah pesan tersembunyi sang penulis, bahwa yang terpenting bukan siapa Anda, tetapi karya apa yang Anda hasilkan.
Judul: Negeri Para Bedebah, Penulis: Tere Liye,
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Tahun: 2013 (Cetakan Kelima), Jumlah Halaman: 440