BERITA TERKAIT
Bitcoin bikin geger. Uang digital temuan Satoshi Nakamoto, orang yang tidak pernah diketahui wujudnya ini, apakah pria atau wanita, nama orang atau sekadar inisial sebuah kelompok orang, sudah membuat bank-bank sentral seluruh dunia pusing tujuh keliling. Mau membiarkan, risikonya besar. Mau melarang, dasar hukumnya masih abu-abu. Jadi? Ya, wait and see dulu saja.
Sembari menunggu langkah-langkah yang akan diambil bank sentral kita tercinta, saya mengajak Anda napak tilas sejarah kelahiran uang. Semoga saja dengan melongok sekelumit sejarah uang, bisa menginspirasi kita dalam menyikapi uang digital bitcoin dengan lebih bijak.
Uang, tidak seperti anak-anak kita yang memiliki akte kelahiran, tidak ada catatan sejarah yang benar-benar otentik tentang kapan benda ini lahir. Tetapi diperkirakan uang mulai dipergunakan secara luas pada abad ke-17 Masehi. Sebelum masa itu, orang masih menggunakan sistem barter sebagai sarana transaksi. Ilustrasinya, kalau ia seorang nelayan, kemudian butuh beras, maka ia akan mencari petani yang butuh ikan untuk melakukan barter.
Tetapi lama-lama, sistem barter dianggap terlalu sulit. Sulit menemukan orang yang mempunyai barang yang kita inginkan. Kalaupun ketemu, belum tentu orangnya mau. Kalau mau, sulit menentukan nilainya yang adil.
Singkat cerita, muncul ide untuk mengatasi sistem barter tadi, yaitu dengan menggunakan benda-benda yang memiliki nilai tinggi dan diterima seluruh masyarakat. Misalnya, garam di zaman Romawi. Mungkin tidak masuk akal untuk ukuran saat ini. Tetapi, di zaman romawi, garam tergolong langka dan mahal.
Tetapi, lagi-lagi cara ini masih dianggap sulit. Kesulitan ini memunculkan ide yang lebih baik, uang logam emas dan perak. Logam ini dipilih karena bernilai tinggi, tahan lama, lebih mudah dibawa, disimpan, atau ditransaksikan. Uang logam emas dan perak disebut juga uang penuh (full bodied money), yang artinya nilai untuk membuat uang (intrinsik) sama dengan nilai yang tercantum (nominal) di uang tersebut. Contohnya, jika kita punya 1 koin emas yang dibuat dari emas 1 gram, sedangkan harga emas 1 gram adalah Rp500 ribu, maka nilai nominal yang tercantum di koin emas kita adalah Rp500 ribu.
Uang Kertas
Tetapi, lambat laun, orang-orang merasa uang logam tidak praktis. Mereka ingin yang lebih simpel. Maka, muncullah ide untuk membuat uang kertas sebagai pengganti uang logam. Tak heran, pada awalnya, uang kertas berperan sebagai surat bukti kepemilikan emas atau perak. Surat bukti ini kemudian digunakan untuk melakukan transaksi. Jadi, pada masa lalu, jumlah uang kertas yang beredar 100 persen dijamin dengan emas atau perak. Kalau uang kertas yang diterbitkan, misalnya, nilainya Rp100 juta maka ada emas senilai serupa yang dijadikan jaminan.
Dalam perkembangannya, uang kertas bertransformasi jadi alat tukar independen, bukan bukti kepemilikan emas, bahkan tidak lagi dijamin dengan emas. Salah satu tokoh yang dianggap paling bertanggung jawab mempopulerkan ide ini adalah John Law, seorang bankir dan ekonom dari Scotlandia.
Law lahir di Edinburgh, 21 April 1671. Bapaknya seorang bankir kaya. Tak heran sejak muda Law telah belajar ilmu ekonomi dan perbankan. Namun saat melanjutkan sekolah di Inggris, Law terlibat pertikaian yang menyebabkan lawannya meninggal dunia. Law pun melarikan diri ke Belanda dan menyelesaikan pendidikan di negeri Kincir Angin itu.
Tahun 1705, Law mempublikasikan teori tentang uang dalam buku “Money and Trade Considered, with a Proposal for Supplying the Nation with Money”. Law berteori bahwa transaksi berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi dan peredaran uang. Artinya, jika transaksi naik maka pertumbuhan ekonomi dan uang beredar juga naik. Jika demikian, Law berkesimpulan, semakin banyak uang beredar akan semakin baik bagi pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, Law menyarankan, jika negara ingin maju maka cetaklah uang sebanyak-banyaknya. Dengan begitu, transaksi meningkat yang otomatis membuat perekonomian negara tersebut meningkat. Persoalannya, untuk mencetak uang harus dijamin dengan emas. Nah, menurut Law, selama rakyat percaya, maka cadangan emas sudah tidak diperlukan lagi untuk menjamin uang yang dicetak pemerintah.
Gayung bersambut. Ide Law ini ditelan mentah-mentah Prancis. Di bawah Louis XV, perekonomian Prancis tengah limbung. Perang, gaya hidup mewah penguasa, dan manajemen keuangan yang amburadul telah membuat utang Prancis bengkak jadi 3 miliar livre, mata uang Prancis waktu itu, atau setara dengan 2025 ton emas.
Tak heran saat Law melontarkan jalan keluar untuk mencetak uang tanpa perlu dijamin emas untuk membayar utang, sekaligus menggerakkan perekonomian, Louis XV langsung menerimanya. Bahkan Law dijadikan gubernur bank sentral Prancis, yang memiliki wewenang mencetak livre, pada tahun 1716. Kewenangan ini membuat Law leluasa mempraktikkan idenya. Livre pun dicetak sebanyak-banyaknya tanpa repot menyediakan emas sebagai basis pendukung.
Pada awalnya, cara yang ditawarkan Law ini mujarab memperbaiki perekonomian Prancis. Namun pada akhirnya teori Law membentur karang. Saat masyarakat berbondong-bondong menukarkan livre, bank sentral Prancis tak memiliki cukup emas. Hasilnya, bisa kita terka. Tahun 1722 atau 6 tahun setelah Law mempraktikkan teorinya, livre dan perekonomian Prancis ambruk.
Law pun dipecat dan dijatuhi hukuman mati. Tetapi Law berhasil melarikan diri ke Belanda. Kemudian, Law hidup nomaden dengan berpindah-pindah ke berbagai negara sampai akhirnya meninggal di Italia pada tahun 1729. Namun meski Law telah pergi, idenya terus hidup dan dipraktikkan berbagai negara hingga detik ini.
Sejarah Berulang
Sejatinya, era baru penerbitan uang kertas tanpa jaminan emas, ide yang digagas Law, belum lama. Semua dimulai saat perekonomian AS memburuk pasca membiayai Perang Vietnam di tahun 1970-an. Untuk memperbaikinya, Presiden AS Ricard Nixon pun mengambil jalan pintas, mengaplikasikan teori Law. Padahal saat itu, AS terikat dengan perjanjian Bretton Woods, yang intinya AS akan mengontrol jumlah dollar sesuai dengan cadangan emas yang mereka miliki. Dengan kata lain, berapapun jumlah uang dollar yang dicetak AS harus dijamin dengan sejumlah emas yang nilainya sama.
Lantas, kira-kira apa yang terjadi setelah AS mulai mencetak dollar tanpa menjadikan emas sebagai jaminannya? Jika dalam kasus Prancis, krisis melanda negara tersebut setelah 6 tahun teori John Law diaplikasikan, maka AS jatuh ke jurang krisis hanya selang 2 tahun setelah negara adidaya itu mengkhianati perjanjian Bretton Woods.
Tapi anehnya, meski sejarah telah mencatat pencetakan uang kertas tanpa jaminan emas terbukti menimbulkan krisis, negara yang mengadopsi ide Law justru kian meluas. Hasilnya, seperti sudah bisa ditebak, krisis keuangan dan ekonomi pun semakin sering terjadi, dan skalanya kian meluas; di AS (1973-1980, 2008), Argentina (1980-82, 1995), Chili (1981-1983), Brazil (1994-1996), Mexico (1994), Jepang (1992), Russia (1998), Asia (1997-1998), dan dunia (2008).
Berkaca dari sejarah, tampaknya uang kertas yang diterbitkan negara tanpa jaminan cadangan emas senilai sama, meski ia negara adidaya sekalipun, dan hanya bersandar pada kepercayaan masyarakat saja, sangat rentan terguncang. Kenyataan inilah yang sepertinya melahirkan ide bitcoin, uang digital yang diklaim sang penggagasnya lebih baik dari sistem keuangan dunia saat ini, karena jumlah uang yang dicetak terbatas dan tidak dikendalikan oleh lembaga tertentu.
Benarkah? Butuh kajian mendalam untuk menjawabnya. Yang pasti, sesaat sebelum tulisan ini saya buat, Bank Indonesia (BI) baru memanggil Oscar Dharmawan, trader Bitcoin asal Indonesia, untuk urun rembug tentang uang digital nan kontroversial ini.
Apa hasilnya, saya tidak tahu, tetapi tentu saja kita berharap informasi dari Oscar bisa membantu BI menyusun keputusan bijak terkait bitcoin yang berpihak pada kebenaran dan keadilan. Semoga.