Anung Herlianto, Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
DIGITALISASI perbankan mendapatkan momentum justru ketika pandemi meledak saat ini. Bank menyadari bahwa transformasi adalah strategi kunci untuk bertahan dalam persaingan bisnis layanan keuangan. Bahkan transformasi itu berlanjut ke tahap berikutnya ketika bank pada akhirnya memutuskan untuk mendirikan bank digital. Baik dengan cara mengakusisi bank lain dan mengubahnya menjadi bank digital, atau mendirikan bank itu dari nol. Digitalisasi menjadi keharusan, jika tak mau ditinggal oleh nasabah.
OJK pun mengatisipai dengan menggodok aturan guna mendukung transformasi digitalisasi di sektor perbankan ini. Kata Anung Herlianto, Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sekarang ini saatnya bank Fly To Service, Fly To Digital. Apa saja yang harus dilakukan bank dan apa saja yang akan dilakukan otoritas? Berikut petikan lengkap ulasannya yang dirangkum Stabilias dari pemaparan materi di depan awak media,bakhir Maret 2021 lalu.
Bagaimana perkembangan terkini industri keuangan nasional?
BERITA TERKAIT
Perkembangkan perbankan nasional hingga saat ini sangat pesat. Sampai Maret 2021, Bank Umum berjumlah 95 bank yang mengopersikan 27.927 kantor dengan total asel Rp8.883,28 triliun. Lalu Bank Syariah yang semula 14 bank, hingga Maret 2021 ada konsolidasi sehinga menjadi 12 BUS, 20 UUS dengan operasional 2.022 kantor. Aset bank syariah tercatat sebesar Rp393,17 triliun. Sementara BPR juga terus menjamur dengan jumlah 1.503 BPR, 5.885 kantor, total aset masih Rp154,97 triliun. Sehingga kalau ditotalkan aset perbankan nasional saat ini mencapai Rp9.431,42 triliun.
Kemudian ada lembaga keuangan non bank, total asetnya sekitar Rp2.677,61 triiun, masih seperempat dari total aset perbankan nasional. Lalu ada muncul fintech dimana ada 148 perusahaan peer to peer lending, dan juga lembaga keuangan mikro sekitar 227 lembaga. Kemudian di industry pasar modal, saat awal OJK dibentuk, emitennya berjumlah 490-an, kini telah mencapai 722 emiten dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp7.309,14 triliun, hampir sama dengan total aset bank. Akan tetapi pasar modal ini fluktuatif dan didominasi harga saham 4 bank itu terbesar, yakni BRI, BNI, Mandiri dan BCA. Kemudian ada fungsi edukasi, literasi pelayanan pengaduan, dans eterusnya sebagai fungsi edukasi konsumen. Jadi secara total, OJK mengawasi Sistem Keuangan dengan Total Aset lebih dari Rp19.418 triliun.
Dari sisi aset, bank umum masih menguasai sekitar 76 persen –jika ditambah BPR menjadi 78 persen. IKNB memang terus berkembang, namun still the banking industry masih menjadi tumpuan ekonomi kita. Maka secara keseluruhan kebijakan otoritas kadang ditujukan kepada bank umum, atau industri perbankan umumnya.
Secara umum, struktur industri perbankan Indonesia terdiri dari 4 bank pemerintah, 26 BPD, 40 Bank Swasta Nasional, 7 KC Bank Asing, dan 30 Bank Dimiliki Asing. Secara total berjumlah 107 bank, menyusut sejak OJK awal berdiri mengawasi sekitar 118 bank. Penyusutan ini bukan hilang atau bermasah tetapi ada proses konsolidasi alami yang dipercepat dengan kebijakan OJK mengeluarkan POJK tentang konsolidasi tahun 2020 lalu.
Bagaimana dengan kinerjanya hingga saat ini?
Konsolidasi perbankan juga didukung oleh kinerja yang baik. Saya ploting sampai 5-6 tahun ke belakang untuk memberikan gambaran bahwa segala cuaca, kemudian ada trade war 2018-2019, sektor perbankan kita terus bertumbuh. Bahkan sejak krisis 2008, perbankan kita terus bertumbuh. Tapi di awal 2020 karena pandemi Covid-19 yang penyebabnya baru teridentifikasi saat ini, dengan trigger dari sisi kesehatan, menghentikan hampir seluruhnya aktivitas bank. Kredit perbankan melandai dan melambat.
Tetapi bank tidak puasa kredit. Kita mencatat di awal tahun ini fresh loan masih tumbuh Rp 95 triliun di Januari, Rp 114 triliun Februari, dan Rp 240 triliun di bulan Maret. Tapi kenapa pada Maret kredit masih terkontraksi? ITu Karena pelunasan dan penghapusan kredit jauh lebih besar daripada pertumbuhan kreditnya. Jadi perusahaan cenderung tidak mengambill fasilitas tapi justru melakukan pelunasan karena memang kapasitasnya tidak lagi seperti pada awal dulu. Kualitas kredit semua indikator konvensional menunjukan NPL gross dan net masih pada rentang yang wajar.
Biasanya yang jadi penolong setiap krisis adalah sektor UMKM, bagaimana sekarang?
Sektor UMKM yang biasanya selama krisis sebelumnya menjadi tulang pungung pertumbuhan, kini juga die hard. Di krisis ini UMKM banyak yang KO di ronde awal. Termasuk sektor riil menurun driastis. Itu yang menyebabkan permintaan kredit menurun. Bahkan menjadi penurunan pertumbuhan kredit terendah dengan minus 241 sejak tahun lalu, dan berlanjut hingga triwulan pertama tahun ini.
Tetapi ada kekhawatiran soal loan at risk?
Memang ada satu hal yang belum dicermati, yakni loan at risk atau kredit berisiko mencapai 23,3 persen. Ini tertinggi dalam sejarah. Ini patut diwaspadai karena nanti POJK 48 berakhir setahun lagi. Mudah-mudahan mereka semua survive. Banyak bank mengabarkan debitur yang sudah “terpasang ventilator” itu bisa recovery.
Kita patut khawatir?
Terlepas dari krisis dan banyaknya kredit restrukturisasi, tapi yang membuat kita semua tenang sebagai otoritas adalah cover ketika terjadi krisis, yang secara klasik terdegradasi, ini justru tumbuh menguat. CAR di batas minimal threshold minimal adalah 50 persen, jadi ini adalah 3x lipat dari batas nornal. LDR batasnya 85 persen dengan relaskasi, sekarang 283 persen. Sehingga secara likuiditi bank itu tidak bermasalah.
DPK masih tumbuh, orang lebih banyak menabung daripada mengambil uangnya. Pemerintah menggelontorkan dana untuk stimulus PEN, jadi likuiditas tercukupi. Posisi CAR 24 persen, itu juga tertinggi juga dalam sejarah kita, kendati profitability juga memang tergerus.
Tetapi sebagai dampak dari penurunan suku bunga DPK, suku bunga kredit juga sudah turun jauh. Residunya ada di luar. BOPO juga meningkat karena bank juga mulai mencicil CKPN profisi.
Jadi gambaran umunya terkonfirmasi bahwa pertumbuhan kredit memang negatif. Portofolio kredit bank di Desember 2019 sebelum covid di 67,5 persen. Jadi dalam portofolio bank yang dominan kredit adalah backbone revenue bank. Desember 2020 porsi kredit tinggal 60 persen. Menyusut. Kemudian di mana duit bank ditempatkan? Di-recycle di surat berharga itu karena mau tidak mau bank harus menempatkan dalam aktiva produk lain meskipun penghasilannya lebih kecil. Ini yang menyebabkan revenue bank menyusut.
Kenapa kebijakan POJK 11 diperpanjang?
POJK 11 dulu kita kasi waktu 1tahun karena berharap covid tidak terlalu lama ternyata setahun berlalu,covid masih bertambah. Ada 27 negara terpapar. Di negara lain semua sudah dianggap tertangani, ternyata muncul gelombang kedua. Bagaimana Indonesia? Kita sudah 1,6 juta terpapar. Vaksindi dunia sudah 1 miliar dosis, Indonesia 12 juta. Masih jauh dari herd immunity. Kita sedang dalam kondisi menurun, mudah-mudahan euforia vaksin tidak membuat lengah. Ini menggambarkan kenapa kemarin OJK perpanjang POJK 11. Karena triggernya masalah kesehatan maka masalahnya harus kita selesaikan dulu. Masalah kesehatan kemudian merambah ke masalah sosial kemudian mendegradasi ekonomi dan juga menghentikan pertumbuhan sektor keuangan. Jadi kalau rule cost-nya belum selesai, berbagai kebijakan itu istilahnya hanya pain killer saja.
Lalu bagaimana setelahnya? Daya tahan bank tercukupi?
Memang pandemi ini menimbulkan Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity. Semua ini menjangkit sektor keuangan kita. IHSG naik turun tanpa bisa diprediksi fundamentalnya. Ketidakpastian ini tidak ada yang tahu kapan berakhir. Complexity, merambah ke semua bidang sosial ekonomi dan sebagainya kemudian ambiguity, semuanya serba salah kebijakan mana yang harus kita terapkan.
Sektor perbankan ada dua perkara. Kita harus deal dengan masalah jangka pendek, resolusi dan recovery pasca pandemi ini. Kredit yang direstrukturisasi relatif besar sampai Rp1.000 triliun. Lalu bagaimana setelah kredit direstukturisasi, apakah daya tahan bank masih cukup? Kita sudah lakukan stress test dan kondisinya masih aman. Sampai akhir bulan kemarin kita lakukan stress test, modal likuiditas bank masih sangat memadai karena bank men-declare hanya sekitar 7-12 persen yang akan bermasalah. Itu modal bank hanya turun sekitar 1-2 persen. Jadi masih relatif strong.
Apakah perubahan teknologi cukup membantu bank?
Sampai sekarang sudah setahun kita di rumah tidak datang ke bank, belanja secara online, tapi life must go on. Sekarang dengan smartphone sudah bisa transaksi, sehingga online berkembag pesat. Kalau beli barang, bank harus lakukan setelmen segera tanpa harus ke bank dan ATM. Sehingga transaksi online meningkat hampir 400 persen tiap bulan. Itu yang mempercepat digitalisasi di sektor perbankan. Kalau tiga tahun yang lalu bank mempromo nasabahnya dengan kartu yang bisa melakukan apa saja, siapapun tertarik dan masih ingin ke bank. Milenial tidak akan begitu. Transaksi percepatan digitalisasi ini yang menjadi modal juga bagi bank.
Ada fenomena dulu kalau krisis pindahkan semua dana ke bank yang kuat dan bank kecil collaps. Sekarang fly to service, fly to digital. Jadi bank kecil tidak bisa memberi layanan digital akan ditinggalkan nasabah. Inilah tantangan struktural sektor perbankan.
Bagaimana OJK membantu bank menghadapi itu?
Kalau untuk tantangan ke depan OJK sudah membuat Roadmap Perbankan Indonesia 2020-2025. Ada 4 pilar. Adalah penguatan struktur dan keunggulan kompetitif, capital-capiital- capital. Yang kedua adalah akselerasi transformasi digital. Fintech sebenarnya adalah solusi terkait masyarakat yang ingin transaksi cepat, aman dan efisien. Bank sata ini mengarah ke sana.
Kemudian penguatan peran perbankan bagimana lebih kontributif dengan digitalisasi nanti inklusi keuangan jadi lebih semarak. OJK juga harus melakukan transformasi baik pengaturan, perijinan maupun pengawasan.
Tahun ini modal bank minimum adalah Rp2 triliun. Masih ada 40 bank yang berlomba untuk memenuhi itu. Yang tidak, nanti akan kita dorong konsolidasi.dengan kebijakan stronghanded tidak untuk mengeliminasi bank kecil tapi untuk memperkuat dalam hadapi digitalisasi yang butuh dana besar.
Bagaimana dengan aturan bank digital?
Saat ini aturan untuk bank digital masih dalam proses dengar pendapat dengan melibatkan melibatkan hampir semua pengawas industri, lembaga lain, dan departemen lain. Aturan lebih detail tentang digital banking akan diatur lewat undang-undang P2SK. Misalnya ada bank existing yang bertransformasi menjadi bank digital yang open banking dan terkoneksi dengan API (Application Programming Interface) ke sistem e-commerce, maka akan ada aturan perlindungan data, standarisasi IT perbankan, dan ketentuan ekosistem digital lainnya yang harus dipatuhi.
Minimal nanti bank digital memiliki satu kantor pusat dan seluruh layanannya dilakukan secara digital. Mudah- mudahan sebelum pertengahan tahun ini, sudah kita rilis POJK ini.
Modal juga diatur?
Iya. Ada kewajiban modal Rp10 triliun bagi bank digital yang didirikan dari nol, bukan hasil akusisi bank yang sudah ada dan diubah jadi bank digital. Lalu syarat lain tentang paham mitigasi dan kapabilitas dari manajemen risiko untuk mengantipasi berbagai risiko digital termasuk cybercrime dan seterusnya, perlindungan data nasabah, memenuhi aspek tata kelola termasuk direksi yang mempunyai kompetensi di bidang IT.
Jadi nanti nantinya ada dua jenis bank digital: bank digital yang benar- benar baru (full digital bank), dan bank existing (yang sudah ada) yang bertransformasi menjadi bank digital. Misalnya bank existing yang berubah format menjadi bank digital seperti Bank Jago, akuisisi Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) oleh marketplace Shopee lewat SEA Grup Singapura, dan Bank BCA melalui Bank Royal.
***