Tahun depan pengelola bank harus memperhatikan beberapa risiko yang akan menjadi menjadi ancaman bagi bisnis. Di antaranya adalah risiko resesi, risiko inovasi lanjutan dari perkembangan digital dan juga risiko fragmentasi.
Oleh Syarif Fadilah
Setiap menjelang pergantian tahun, semua pelaku bisnis sudah sibuk menghitung proyeksi bisnis tahun depan. Perbankan, meski begitu, memiliki kebutuhan yang lebih kompleks. Dalam menyusun rencana bisnisnya, pengambil kebijakan di bank akan melihat risiko-risiko yang bakal dihadapi bisnisnya setelah tahun ini berakhir.
Melihat perkembangan dalam setahun terakhir, perhatian perbankan tampaknya tidak akan terlepas dari dua hal: potensi resesi global dan dampak lanjutan inovasi teknologi digital. Tetapi dua risiko utama itu tidak melenggang sendirian, melainkan ditemani sederet ancaman lainnya.
Resesi global edisi kedua dalam tiga tahun terakhir menjadi perbincangan hangat berbagai lembaga riset dan otoritas global. Kemungkinan pelemahan ekonomi yang bakal dihadapi banyak negara akan dimulai dari Eropa dimana penyebab utamanya adalah konflik yang lebih lama dari perkiraan antara Rusia dan Ukraina.
Muliaman Darmansyah Hadad, mantan central banker yang kini bertugas sebagai Duta Besar untuk Swiss dan Liechtenstein, tidak memungkiri potensi tersebut. Namun demikian pada perkembangan terkini muncul kemungkinan bahwa resesi yang terjadi tidak separah yang diperkirakan banyak pihak.
“Tahun 2023, secara rata-rata situasi tidak resesi parah, tetapi ada istilah near recession. Mudah mudahan ini yang terjadi, sebab kalau betul-betul resesi dan parah saya pikir dampaknya akan signifikan kepada ekonomi kita,” kata dia di saat memberikan pidato pembuka pada Seminar Indonesia Risk Management Outlook yang diselenggarakan Majalah Stabilitas, November lalu.
Meski begitu, dia memperkirakan situasi perekonomian yang berat pada 2023 akan berlanjut hingga setahun berikutnya, meski dengan derajat yang lebih ringan. Sehingga tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian muncul peringatan bahwa dua tahun ke depan semua pelaku bisnis harus sudah siap menghadapi risiko tersebut. “Banyak pihak mengatakan dua tahun ini, tahun 2023-2024 two weak years yang artinya dua tahun yang lemah. Dengan pertumbuhan ekonomi global yang agak ekstrem,”lanjut Muliaman.
Sementara itu, pada gelaran acara puncak G20 di Bali November lalu, Direktur Pelaksana IMF Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, mengatakan bahwa, probability ekonomi global tumbuh di bawah 2 juga cukup besar. Dalam publikasi resmi sebelumnya, lembaga itu juga sudah mengumumkan peringatan bahwa pada 2023 resesi ekonomi bisa dialami banyak negara, seiring lembaga dunia itu memangkas proyeksi pertumbuhan global tahun depan. IMF menyatakan hal yang terburuk belumlah datang.
Pada Oktober lembaga itu memperbarui proyeksinya atas pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 2,7 persen pada 2023, turun dari proyeksi sebelumnya yang dirilis pada Juli 2022 yang diprediksi naik 2,9 persen dan pada Januari 3,8 persen. IMF juga memperkirakan sebanyak 25% pertumbuhan bisa melambat kurang dari 2 persen.
“Secara keseluruhan, guncangan tahun ini akan membuka kembali luka ekonomi yang baru sembuh sebagian pascapandemi. Singkatnya, yang terburuk belum datang dan, bagi banyak orang, 2023 akan terasa seperti resesi,” kata kepala ekonom IMF, Pierre Olivier Gourincha.
“Perlambatan di 2023 akan berbasis luas, dengan negara-negara yang menyumbang sekitar sepertiga dari ekonomi global siap untuk berkontraksi tahun ini atau berikutnya. Tiga ekonomi terbesar, Amerika Serikat, China dan zona Euro akan terus terhenti,” tambah Gourincha.
IMF menyatakan bahwa ini merupakan prospek ekonomi terlemah dalam dua dekade terakhir, kecuali krisis keuangan global dan fase ekstrem pandemi Covid-19. IMF memperingatkan beberapa risiko penurunan ekonomi dapat memperburuk prospek lebih lanjut.
Risiko Teknologi
Selain dari sisi makroekonomi, risiko lain yang sudah melekat di perbankan adalah transformasi teknologi digital pada layanan keuangan. Penelitian dari lembaga riset global McKinsey yang diterbitkan Maret 2022, mengatakan banyak bank mengalami kesulitan memahami risiko yang dihasilkan oleh transformasi digital dan data analitik.
Dua perkembangan teknologi itu sejauh ini merupakan titik nyeri manajemen risiko teratas bagi perbankan. Temuan itu muncul berdasarkan survei terhadap 100 pemimpin C-suite dan kepala unit bisnis dari perusahaan lintas industri dan di seluruh dunia, dan itu dikatakan oleh hampir setengah dari mereka.
Harus diakui memang, inovasi teknologi digital saat ini bagai tsunami yang merambah ke semua sektor dalam ekonomi. Setelah era kemunculan financial technology, industri perbankan menghadapi ancaman dari praktik digital di layanan perbankan hingga memunculkan bank digital. Gelombang tersebut terus berlanjut dengan kelanjutan teknologi blockchain pada perbankan, maraknya penggunaan cryptocurrency hingga kehadiran layanan metaverse.
“Tantangan kita saat ini adalah bagaimana cara mengoptimalkan digitalisasi itu sendiri baik dari sisi internal maupun bagaimana cara kita berkolaborasi bersama memaksimalkan digitalisasi itu. Nah makanya kita bilang harus siap dengan game changer,” ujar Enterprise Risk Management Division Head BNI, Rayendra Minarsa Goenawan.
Sebelum 2020, game changer yang muncul adalah layanan-layanan keuangan berbasis teknologi, kemudian pada 2020 muncul bank digital dan juga praktik open banking. Bahkan pada 2022 muncul yang dinamakan metaverse yang mengoptimalkan teknologi blockchain dan mulai digunakan oleh beberapa bank.
Selain itu, menurut Rayendra, yang berpotensi menjadi game changer di tahun-tahun mendatang adalah kemunculan central bank digital currency (CBDC) sebagai jawaban atas maraknya cryptocurrency. Hal ini tentu harus segera dimitigasi oleh pelaku dan pengelola bisnis bank.
Namun begitu, lanjut dia, dalam setiap perkembangan baru selalu ada peluang yang berdampingan dengan tantangan. “Peluang yang terbuka dengan CBDC ini akan sangat besar dengan adanya sebuah transaksi yang akan lebih lancar lebih cepat dan juga lebih aman. Risikonya tentu berasal dari cyber risk,” kata Rayendra.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan perbankan untuk mengelola risiko hingga ke level yang bisa ditangani adalah dengan kolaborasi dengan pihak lain. Untuk BNI sendiri, pihaknya mengaku sudah melakukan kolaborasi dengan sesama bank milik pemerintah lainnya dan juga kolaborasi dengan fintech.
Sebelumnya dalam cetak biru Transformasi Digital Perbankan yang dilansir Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun lalu, ada beberapa risiko bagi upaya transformasi digital perbankan ke depan. Sebut saja risiko kebocoran data, risiko serangan siber, literasi keuangan digital yang masih rendah, hingga infrastruktur teknologi informasi yang belum merata di Indonesia.
Risiko Fragmentasi
Namun begitu, ada satu lagi ancaman yang bakal dihadapi seluruh pelaku ekonomi di tahun depan. Seperti yang disebutkan oleh Muliaman Hadad saat membuka seminar November lalu, ancaman itu adalah risiko fragmentasi. Risiko itu berkaitan dengan terpecahnya kecenderungan ekonomi suatu negara dari gejala yang umum.
“Yang maju makin maju, yang menderita semakin menderita, risiko fragmentation ini tidak bisa diabaikan karena dalam dunia yang terkoneksi satu sama lain yang baik. Implikasinya besar. Bisa itu terkait dengan isu-isu distraksi dan isu isu lain. Yang ditandai dengan beberapa dampak yang berbeda antara satu kelompok negara dengan negara lain,” jelas Muliaman.
Contoh kasat mata adalah ekonomi China yang tumbuh 5 persen, lebih tinggi dari negara lain yang masih menderita karena pandemi. Pertumbuhan ekonomi Negara-negara di kawasan ASEAN adalah contoh lainnya, karena kawasan ini dinilai masih meperlihatkan pertumbuhan yang positif.
Nah, menurut Muliaman, perbedaan yang mencolok dari pertumbuhan ekonomi beberapa negara itu akan menjadi tantangan tersendiri bagi program pemulihan ekonomi dunia di tahun 2023.
“Kita akan kehilangan keuntungan yang kita dapatkan dari tren globalisasi. Kita menikmati dampak globalisasi selama 20 tahun ini. Banyak efisiensi, inovasi, peluang investasi, hingga perdagangan yang kita nikmati selama 2 dekade ini. Namun, karena pandemi, karena perang, dunia jadi terfragmentasi, dan kita kehilangan benefit yang sebelumnya kita dapatkan dari globalisasi,” ujar Muliaman.***