PASAR bebas ASEAN yang berlaku efektif awal tahun 2016 mulai menuai kekhawatiran. Kekhawatiran itu berasal dari kemungkinan orang asing akan menyerbu pasar lokal dan mendesak tenaga kerja Indonesia. Kekhawatiran juga muncul dari kemungkinan hengkangnya profesional dengan skil mumpuni keluar dari Indonesia karena iming-iming gaji yang lebih kompetitif di negara ASEAN lain. Direktur Eksekutif IPMI International Bussiness School Jimmy Rifai Gani mengungkapkan, ancaman terbesar dari berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN MEA adalah perpindahan tenaga-tenaga profesional di dalam negeri untuk bekerja di negara-negara ASEAN lainnya.
Menurutnya, Indonesia memiliki banyak tenaga profesional dengan kualifikasi tinggi yang mengharapkan bekerja di luar, karena dorongan standar gaji yang jauh lebih tinggi di 8 sektor yang akan dibuka bebas. Berkarier di negara seperti Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia dianggap lebih baik dibanding di Indonesia. Kondisi ini akan berakibat pada defisit tenaga kerja terlatih di dalam negeri. “Kesempatan kerja mereka lebih luas, mobilitas lebih fleksibel dalam mencari gaji terbaik,” ujar pria penyabet Master of Public Administration, John F Kennedy School of Government Harvard University, AS ini kepada Stabilitas.
Berikut wawancara lengkap dengan mantan Direktur Utama PT Sarinah (Persero) ini.
BERITA TERKAIT
Tahun 2016 ini MEA berlaku efektif. Bagaimana Anda melihat kesiapan pemerintah Indonesia mempersiapkan SDM dalam negeri untuk bersaing di kawasan?
Menurut saya persiapan pemerintah masih minim. Kita seharusnya punya gambaran komprehensif industri mana yang seharusnya dijadikan industri unggulan.
Saya berkaca beberapa negara, seperti Singapura. Mereka di awal-awal kemerdekaan menghadapi tantangan tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran. Lalu pemerintahnya punya desain perekonomian negara dan menempatkan diri di tempat untuk outsource manufaktur dari perusahaan-perusahaan Jepang. Mereka sadar tidak bisa berkompetisi dengan Jepang langsung. Akhirnya banyak produk-produk asal Jepang dikirim ke Singapura untuk diproduksi sebagian komponennya, dirakit, lalu di re-ekspor ke Jepang.
Saya sendiri pernah bekerja di Matsushita, sebuah perusahaan Jepang, yang berkantor di Singapura. Kita semua bekerja secara efisien di Singapura.
Dengan gambaran yang jelas bahwa Singapura jadi outsource tersebut, pemerintah Singapura mengembangkan pelabuhan dan bandara. Dengan efisiensi, arus keluar-masuk barang menjadi cepat, bahkan hanya dalam hitungan jam, supaya barang yang masuk dan dirakit di Singapura bisa keluar negeri dengan cepat. Cara ini mendorong tumbuhnya investasi dan membuat Singapura sebagai tujuan yang menarik bagi investor asing.
Di sisi lain, mereka juga menyiapkan lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Jadi, pemerintah betul-betul melaksanakan siap kerja buat penduduknya. Tapi mereka juga sadar pada satu titik nanti Singapura akan menghadapi satu isu bahwa penduduknya tidak akan bertahan lama di posisi yang sama. Jadi orang-orang ini di-upgrade.
Nah, sejalan dengan peningkatan tersebut, mereka juga menyiapkan diri menjadi negara penyedia jasa yang lebih tinggi nilai tambahnya sehingga lebih kompetitif dalam bidang ekspor-impor, jasa keuangan, energi, dan infrastruktur. Dengan begitu masyarakat lebih makmur.
Anda melihat hal yang sama di Indonesia?
Ini yang saya lihat masih kurang greget di Indonesia. Padahal sekitar 2-3 tahun lalu pemerintah mencoba untuk menerapkan MP3EI. Walaupun tidak sempurna, tapi itu menggambarkan arahan lebih jelas. Itulah yang harus dilakukan.
Lalu untuk SDM, pemerintah harus segera menentukan pilihan, apakah lebih mengarah kepada penyediaan industri yang mampu menampung tenaga kerja less educated, atau mendorong tenaga kerja ahli dan terdidik. Inilah yang harus disiapkan.
Setidaknya ada 8 profesi yang dibebaskan mencari kerja di kawasan MEA yakni arsitek, insinyur, dokter, perawat, tenaga survei, akuntan, dokter gigi, dan praktisi medis. Nah, untuk meningkatkan daya saing SDM kita, perlukah sertifikasi seperti 8 profesi tadi?
Pada akhirnya kalau kita bicara industri atau jasa, ujung-ujungnya mengarah kepada konsistensi. Ini hanya bisa ada dengan standarisasi jelas dan dipertahankan secara memadai, baik soal sistem, mesin, dan -yang paling penting- standar keahlian dari tenaga kerja.
Negara lain sudah lebih awal concern terhadap sertifikasi tenaga kerja ini. Kita baru fokus kepada SNI. Selebihnya, untuk pegawai, baru beberapa industri yang aware. Perbankan dan otomotif, misalnya. Pariwisata sudah mulai, namun masih bisa lebih ditingkatkan. Nah, kita harus lihat lagi industri mana yang harus didongkrak, baru siapkan segala sesuatunya termasuk sertifikasi.
Di bidang-bidang apa saja, SDM kita memiliki keunggulan?
Kita punya daya kreatifitas yang tinggi. Selama ini keunggulan itu disalurkan untuk industri-industri kreatif yang sifatnya massal, seperti handicraft. Sayangnya, potensi kreatifitas itu terkadang berhenti pada satu titik tertentu. Maksudnya begini. Kita memang punya keragaman jenis industri kreatif. Namun pada saat dituntut untuk memenuhi selera dan kualitas yang diinginkan pasar global, kita seakan diam di tempat. Bisa jadi ini disebabkan perajin kita belajarnya secara turun-temurun, dan cenderung hanya berkutat pada pasar lokal. Jadi, pengembangan kapasitas tidak dilakukan secara sistemis. Akhirnya, pada satu titik, ketidakmauan untuk mengembangkan inovasi hanya untuk dinikmati oleh pelanggan domestik. Kalau saja kita mau mendaftarkan HAKI, merek, desain, ini akan membantu, karena mengurangi risiko untuk ditiru.
Berapa banyak SDM dari kawasan ASEAN yang akan menyerbu Indonesia dan pada profesi apa mereka masuk?
Saya justru melihat tenaga kerja asing yang akan masuk ke Indonesia minim jumlahnya karena upah minimim pekerjanya rendah. Kita harusnya mengundang tenaga-tenaga yang punya keahlian khusus dari luar negeri untuk ke Indonesia. Ini untuk mendorong peningkatan keahlian dan kompetensi tenaga kerja di negeri kita.
Di sisi lain, kondisi tinggal di Indonesia terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, dianggap belum memadai bagi kalangan ekspatriat. Kita masih bergelut pada isu-isu sosial seperti macet, polusi, atau banjir.
Malah kita seharusnya mengkhawatirkan tenaga kerja profesional asal Indonesia yang pergi ke negara-negara yang menawarkan gaji lebih tinggi. Jika demikian, bukan tidak mungkin kita akan mengalami defisit tenaga kerja terdidik.
Anda pernah mengatakan, khawatir dengan SDM kita yang bebas berpindah di kawasan ASEAN., bahkan berpotensi menyebabkan brain drain, bisa jelaskan?
Ya, pada era MEA nantinya pergerakan arus tenaga kerja akan semakin kencang. Tenaga kerja unggul Indonesia dikhawatirkan dapat bebas berpindah di kawasan ASEAN. Kekhawatiran ini berpotensi menyebabkan brain drain, yakni suatu kondisi kekeringan profesional unggul lokal akibat migrasi besar ke negara lain untuk mencari gaji atau fasilitas yang lebih menjanjikan.
Saya juga khawatir mengenai para professional yang berkualifikasi tinggi akan tergoda berpindah ke negara lain yang selama ini dikenal mempunyai indikator pendapatan nasional tinggi dan standar gaji lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Profesional yang memiliki kualifikasi tinggi lebih tertarik untuk berkarier di Singapura, Brunei atau Malaysia, karena standar gaji lebih tinggi.
Dampaknya?
Indonesia akan terancam defisit besar tenaga kerja terampilnya. Indonesia juga akan kekurangan tenaga kerja terlatih yang mumpuni sehingga daya saing Indonesia akan makin menurun.
Saat ini saja, berdasarkan laporan IMD World Competitiveness Ranking 2015 daya saing posisi Indonesia turun peringkat di nomor 42 dari 61 negara dibandingkan tahun 2014 yang diperingkat 37. Posisi tersebut masih dibawah negara tetangga, seperti Singapura peringat 3, Malaysia (14), Thailand (29), dan justru kalah dengan Filipina (41).
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?
Seharusnya pemerintah membuat penahan arus brain drain dengan cara meningkatkan nilai tambah tenaga kerja yang disertai kondusifnya iklim kerja, seperti perbaikan standar upah dan fasilitas buat pekerja.
Kondisi lingkungan tempat tinggal layak huni juga harus ditingkatkan agar para profesional dapat menikmati keamanan, kemudahan, dan kenyamanan dalam bekerja, sehingga betah berkarya di negeri sendiri.
Berkaca dari pengalaman perdaangan bebas NAFTA (North American Free Trade Agreement), perusahaan-perusahaan yang terbiasa mendapatkan subsidi dan insentif akan dilindas oleh korporasi yang mempunyai nilai tambah, tingkat produktivitas tinggi, serta value chain yang luas dan baik.
Dukungan pemerintah melalui regulasi juga sangat dibutuhkan. Dukungan ini dengan cara menciptakan regulasi pro bisnis, debirokratisasi, dan meningkatkan kompetensi pegawai pemerintah. Sehingga tercipta iklim usaha yang kondusif dan diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Di sektor swasta, apakah mereka bisa berperan untuk meningkatkan daya saing pekerjanya?
Seharusnya sektor swasta mempererat kerjasama dengan pemerintah. Singapura membentuk Productivity and Standards Board karena menyadari bahwa produktifitas dan daya saing menjadi kunci keberhasilan perekonomian negara. Memang, secara mikro, perusahaan harus selalu meningkatkan kemampuan karyawannya. Tetapi seringkali mereka sibuk menghadapi ketatnya persaingan korporasi, sehingga sulit untuk menyisihkan laba perseroan demi peningkatan kapabilitas SDM. Jadi, ada paradigma yang mesti diubah oleh sektor swasta kita.
BUMN sekarang sudah lumayan meningkat keahlian karyawannya, terutama di sektor-sektor tertentu seperti perbankan atau telekomunikasi. Malah ada juga perusahaan swasta yang tidak melakukan upgrade skill karyawannya, karena memang tidak ada kewajiban itu.
Dukungan pemerintah dibutuhkan untuk mendongkrak keahlian SDM ini. Di Singapura, pemerintah memberi subsidi kepada perusahaan yang mau menyekolahkan karyawannya.
Nah, meningkatkan kapabilitas pekerja ini adalah sebuah investasi jangka panjang yang manfaatnya dirasakan tidak secara langsung. Tapi ini harus dilakukan karena perusahaan sangat butuh pegawai-pegawai terampil supaya daya saing perseroan juga meningkat, produk yang kualitasnya lebih baik, produktivitas lebih tinggi, dan harga produk bersaing di pasar. Ini sangat penting. Pemerintah juga harus memberi dukungan investasi karena kita mau SDM Indonesia secara menyeluruh ikut naik.
Bagaimana industri dan pekerja Indonesia bisa berperan pada global value chain?
Saya pikir ini kerjasama erat antar pemerintah dan swasta juga yang berperan dalam kontribusi Indonesia terhadap global value chain. Pemerintah harus menetapkan tujuan, di rantai sebelah mana posisi Indonesia berada? Artinya, apakah kita mau di industri hulu atau hilir?
Kalau mau di hilir, mau tak mau kita mesti menghadapi perusahaan-perusahaan yang mempunyai merek kuat dan penetrasi international. Ini perlu investasi besar untuk mengangkat brand Indonesia. Seiring dengan waktu arah kita memang kesana.
Sekarang kita masih lebih banyak di industri hulu. Upaya untuk mengarah ke processing masih minim. Di sektor sawit dan kakao memang pemerintah sudah mulai melakukan hilirisasi, salah satunya dengan pemberlakuan bea keluar biji kakao. Nah, inilah yang harus terus digalakkan.
Kita sebaiknya jangan fokus ke hulu terlebih dahulu, biarpun jangan ngoyo juga untuk punya brand yang bisa mengalahkan merek-merek global yang kuat. Yang terpenting kita harus merencanakan dan menyiapkan diri untuk masuk ke dalam global value chain.