Oleh Ahmed Zulfikar, Relationship Manager LPPI
SAAT ini isu perubahan iklim telah menjadi topik hangat yang hampir selalu dibahas dalam setiap pertemuan global yang diikuti banyak negara. Kesadaran banyak pemimpin negara di dunia mengenai dampak praktik bisnis pada lingkungan menjadi faktor utama yang mendorong fenomena tersebut.
Bahkan isitilah-istilah yang digunakan telah bertransformasi dengan cepat, mulai tripple bottom line, sustainable economy, green economy hingga istilah yang saat ini kerap dipakai Environmental Social Governance (ESG). Semua itu dihadirkan demi mengurang dampak dari praktik bisnis manusia ada kerusakan lingkungan.
Pemerintah Indonesia sendiri telah mengambil langkah serius dalam memerangi kerusakan lingkungan salah satunya dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, perumusan UU tersebut tetap dibarengi dengan ekspektasi bahwa perekonomian nasional bisa tetap bertumbuh dan berkesinambungan sehingga industri-industri yang berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung tetap diharapkan untuk bisa mengurangi dampak kerusakan lingkungan.
Beberapa industri yang dinilai berpengaruh dalam perubahan iklim adalah industri pertambangan, manufaktur, transportasi dan lainnya. Namun saat ini bank memiliki tanggung jawab lebih dalam upaya untuk turut serta dalam mengurangi kerusakan lingkungan melalui kredit atau pembiayaan yang diberikan sebagai modal usaha perusahaan.
Pada era sebelum Green Banking, bank hanya melakukan analisis berdasarkan kinerja keuangannya saja. Namun dengan adanya konsep Green Banking, bank didorong untuk melakukan analisis kinerja sosial dan lingkungan juga. Perlu untuk dipahami bersama bahwa konsep Green Banking bukan hanya kegiatan corporate social responsibility (CSR) dari suatu organisasi, tetapi juga tentang prinsip pengembangan ekonomi dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan.
Teori menarik yang dikeluarkan oleh Nath, Nayak dan Goel pada 2014 menyebutkan bahwa prinsip pengelolaan lingkungan mirip dengan pengelolaan risiko dalam perbankan. Hal ini dapat mengurangi risiko kredit dengan meningkatkan kualitas aset dan nilainya di pasaran.
Tidak bisa dilepaskann dengan teori tersebut pula, Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia No 15/28/DPNP yang mendorong Perbankan untuk menaruh perhatian pada perbaikan lingkungan. Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan POJK Nomor 51/POJK. 03 tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten Dan Perusahaan Publik. Aturan itu sekaligus mewajibkan Industri Keuangan untuk menerapkan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan, menyampaikan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) kepada OJK, dan Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) yang disampaikan kepada publik. Lantas seperti apa kinerja Perbankan di tengah tekanan stakeholder di tengah isu-isu pengelolaan lingkungan?
Pandemi Covid-19 telah banyak merubah aktivitas manusia yang kemudian berimbas juga pada mobilitas ekonomi. Salah satu produk perbankan yang terdampak perubahan mobilitas akibat pandemi adalah Mobile Transaction baik Mobile Banking, Internet Banking, hingga Payment System lainnya. Perubahan ini tentu membawa Bank menuju efisiensi biaya ke tingkat selanjutnya.
Meskipun regulator dan pemerintah telah mengeluarkan roadmap mengenai keuangan hijau, beberapa bank di Indonesia belum menjadikan Green Banking sebagai metode baru dalam berbisnis. Beberapa bank masih menganggap Green Banking hanya sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) belakan, dan belum menjadikan konsep tersebut sebagai Strategi Penguatan Ketahanan Lingkungan.
Dalam beberapa kesempatan lembaga global seperti IMF menyatakan bahwa Green Banking perlu memperhatikan kebijakan pemberian kreditnya. Secara umum, Green Bank akan menyalurkan kredit kepada nasabah/perusahaan yang memenuhi standar tertentu di bidang Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola atau ESG.
Publik tentu menaruh harapan besar pada bank untuk mengimplementasikan praktik sustainable itu. Sebagai lembaga intermediasi aliran dana dari masyarakat pemilik dana kepada merea yang memerlukan dana, praktik tersebut akan memberikan hasil yang nyata pada lingkungan. Bank diharapkan untuk tidak lagi fokus semata pada penciptaan laba sebesar-besarnya namun juga tetap dengan memperhatikan kualitas bisnis yang dibiayai.
Bank tentu sudah menyesuaikan diri pada perkembangan tersebut. Bahkan dalam hal penyaluran kredit, bank yang menganut konsep Green Banking sudah menyesuaikan fokus usahanya pada pada sektor ekonomi yang sejalan dengan program pembaruan lingkungan seperti proyek Energi Baru dan Terbarukan (EBT) hingga pembangkit listrik yang ramah lingkungan.
Jika praktik tersebut dilakukan secara masih oleh industri, bukan tidak mungkin akan menciptakan sebuah praktik circular economy yang berkelanjutan. Sehingga nantinya ekonomi tidak hanya mampu menciptakan jutaan lapangan kerja baru dan iklim investasi yang lebih menjanjikan kepada investor, namun menjaga lingkungan agar tetap lestari dan menjadi warisan yang baik bagi generasi mendatang.***