Perdagangan karbon sudah diformalkan lewat pengoperasian Bursa Karbon. Namun demikian, sejatinya ada opsi lainnya yang bisa memaksimalkan upaya mengurangi dampak perubahan iklim.
Oleh Tim Riset Stabilitas
Sejak Paris Agreement dikeluarkan pada tahun 2015, tepatnya 12 Desember 2015, dunia memiliki perhatian lebih besar kepada isu pembangunan berkelanjutan dibandingkan pada periode-periode sebelumnya. Paris Agreement mendorong negara-negara maju untuk bersepakat segera menyelamatkan dunia dari krisis iklim yang semakin memburuk.
Seperti diketahui, perubahan iklim menjadi penyebab 50 persen bencana alam di dunia. Menurut Atlas of Mortality and Economic Losses from Weather, Climate and Water Extremes,, dari tahun 1970 ke 2019 terdapat lebih dari 11,000 kejadian bencana di seluruh dunia yang terdaftar dengan total kehilangan orang dua juta jiwa dan kerugian ekonomi USD 3.64 triliun.
Lebih lanjut, negara berkembang menjadi lokasi dengan korban bencana terbanyak. Dari rentetan kejadian bencana tersebut di atas, lebih dari 91 persen orang korban yang meninggal berada negara berkembang. Fakta ini menunjukkan bahwa negara berkembang menjadi entitas yang paling terdampak oleh bencana.
Sedangkan di sisi lain, negara berkembang sekarang berada pada tahap pembangunan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara maju. Ketika ada ancaman bencana yang semakin sering terjadi, maka proses pembangunan akan terganggu. Pada titik ekstrem, negara berkembang tidak bisa mengejar ketertinggalan mereka.
Tabel 1 menginformasikan sepuluh kejadian bencana terbesar sepanjang 1970-2019. Dari sepuluh kejadian bencana, hanya ada satu kejadian bencana yang tidak terjadi di negara miskin yakni terjadi di Rusia. Sisanya terjadi mayoritas di Afrika (Ethiopia) dan Asia (Bangladesh). Total korban jiwa yang terenggut mencapai 1,34 juta jiwa. Semua jenis bencana yang terjadi adalah jenis bencana yang terkait dengan cuaca atau iklim.
Tabel 1. Sepuluh Kejadian Bencana Alam dan Korban Jiwa Terbesar 1970-2019
No | Jenis Bencana | Tahun | Negara | Korban Jiwa |
1 | Kekeringan | 1983 | Ethiopia | 300,000 |
2 | Badai (Bhola) | 1970 | Bangladesh | 300,000 |
3 | Kekeringan | 1983 | Sudan | 150,000 |
4 | Badai (Gorky) | 1991 | Bangladesh | 138,866 |
5 | Badai (Nargis) | 2008 | Myanmar | 138,366 |
6 | Kekeringan | 1973 | Ethiopia | 100,000 |
7 | Kekeringan | 1981 | Mozambique | 100,000 |
8 | Panas Ekstrem | 2010 | Russian Federation | 55,736 |
9 | Banjir | 1999 | Venezuela | 30,000 |
10 | Banjir | 1974 | Bangladesh | 28,700 |
Sumber : World Meteorological Organization (WMO), 2021
Selain korban jiwa, bencana juga mengakibatkan kerugian ekonomi. Dalam kurun waktu yang sama, terdapat sepuluh bencana terbesar yang merugikan kerugian ekonomi hingga 1,34 triliun dollar AS. Sebagian besar bencana tersebut terjadi di Amerika Serikat (7 bencana badai). Bencana badai ini mulai dari topan katrina hingga Ike. Di Thailand, bencana banjir pada tahun 2011 mengakibatkan kerugian sebesar 45,46 miliar dollar AS.
Selain sepuluh bencana besar tersebut, bencana terkait dengan cuaca atau iklim berupa cuaca ekstrem dengan skala cakupan yang luas juga meningkat frekuensinya. Pada tahun 1900, tercatat hanya 1 catatan kejadian. Memasuki era 2000-an, kejadiannya meningkat di atas ratusan. Selama kurun waktu 2000-2023 tercatat terjadi 2.480 kejadian bencana cuaca ekstrem dengan catatan tertinggi terjadi pada tahun 2005 dan 2017 dengan masing-masing kejadian sebanyak 131 kejadian.
Melihat kerugian akibat bencana iklim yang besar dengan tren yang meningkat, maka sudah sangat tepat apabila dunia sadar untuk mencegah hal yang lebih buruk lagi melalui pembatasan emisi karbon dunia melalui bursa karbon.
Bursa Karbon
Keberadaan Bursa Karbon menjadi salah satu opsi yang disepakati secara luas oleh negara-negara di dunia. Tidak hanya pemerintahan, tapi juga entitas bisnis melalui perdagangan karbon yang terfasilitasi melalui bursa karbon. Ketika pemerintah, swasta dan masyarakat berkolaborasi, maka sebuah proyek atau program, bisa diharapkan untuk memiliki probabilitas keberhasilan yang lebih besar dibandingkan apabila sebuah program tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari tiga entitas tersebut.
Target bursa karbon adalah menahan agar laju kenaikan temperatur global. Ambang batas yang ditetapkan dalam Perjanjian paris 2015 adalah tidak melebihi 2 derajat celcius pada 2100. Untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan pengereman emisi karbon dengan target net zero emission pada 2050 secara global atau 45 persen secara global pada 2030.
Definisi net zero emission bukan berarti tidak mengeluarkan emisi karbon. Jika tidak mengeluarkan karbon, maka tidak ada kehidupan manusia di bumi dikarenakan manusia bernafas mengeluarkan karbon dioksida (CO2). Merefer pada Kementerian ESDM, net zero emission atau nol emisi karbon adalah kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi. Atau dengan kata lain emisi yang dihasilkan oleh aktivitas manusia di bumi mampu diserap kembali sehingga emisi yang terbuang ke atmosfir nol. Sehingga dengan demikian, gas rumah kaca yang berada di atmosfir tidak bertambah yang pada akhirnya menekan laju kenaikan temperatur global.
Secara umum ada dua acara yakni memperbaiki lingkungan dan transisi energi. Perbaikan lingkungan penting agar bumi bisa menyerap karbon. Perbaikan ini dilakukan antara lain dengan menekan laju deforestasi hutan, konversi lahan dan produksi pangan yang ramah lingkungan (menggunakan pupuk organik ramah lingkungan). Opsi kedua dengan cara transisi energi dimana merubah cara memproduksi energi semisal listrik dengan cara lebih ramah lingkungan. Contohnya adalah dengan mengonversi pembangkit listrik batu bara ke pembangkit listrik panas bumi dan sumber energi ramah lingkungan lainnya.
Keikutsertaan entitas bisnis menjadi kunci penting dalam menekan emisi karbon. Bursa karbon memfasilitasi keikutsertaan swasta tersebut dengan pemerintah sebagai regulatornya. Secara teknis sederhana, perdagangan karbon melalui bursa karbon dilaksanakan dengan mengkreditkan karbon. Perusahaan yang menghasilkan emisi karbon dioksida dalam jumlah sedikit, menjual kredit karbon kepada perusahaan yang menghasilkan banyak karbon dioksida. Lebih lanjut, jual beli kredit karbon ini disesuaikan dengan komitmen negara dalam penurunan emisi di tahun 2030 ataupun 2050.
Landasan operasional bursa karbon Indonesia adalah peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Ada dua aturan yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yakni POJK Nomor 14 Tahun 2023 Tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon dan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 12/SEOJK.04/2023 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon.
Secara ringkas, POJK tersebut memuat poin antara lain terkait dengan teknis penyelenggaraan, pengawasan dan aktivitas. Terkait dengan penyelenggaraan bursa karbon, unit Karbon yang diperdagangkan melalui Bursa Karbon adalah Efek serta wajib terlebih dahulu terdaftar di Sistem Register Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) dan Penyelenggara Bursa Karbon. Selain itu kegiatan usaha juga harus memiliki izin usaha sebagai Penyelenggara Bursa Karbon dari OJK.
Setelah mendapat izin, penyelenggara Bursa Karbon dapat melakukan kegiatan lain serta mengembangkan produk berbasis Unit Karbon setelah memperoleh persetujuan OJK. Modal disetor paling sedikit oleh penyelenggara bursa karbon adalah sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), serta dilarang berasal dari pinjaman. Kemudian yang tidak kalah penting adalah Rencana kerja dan anggaran tahunan Penyelenggara Bursa Karbon wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan OJK sebelum berlaku.
Kemudian, dalam POJK Bursa Karbon terdapat klausul pengawasan yang meliputi : penyelenggara bursa karbon, infrastruktur pasar pendukung perdagangan karbon, pengguna jasa bursa karbon, transaksi dan penyelesaian transaksi unit karbon, tata kelola perdagangan karbon, manajemen risiko, perlindungan konsumen dan pihak, produk, dan/atau kegiatan yang berkaitan dengan perdagangan karbon melalui bursa karbon.
Pengalaman Negara Lain
Beberapa negara lain sudah menerapkan bursa karbon. Negara-negara tersebut antara lain Uni Eropa (2005), Swiss dan Selandia Baru (2008), Kazakhstan (2013), Australia (2016), Kanada (2019) , Meksiko (2021) dan Tiongkok (2013) berupa uji coba di beberapa provinsi. Bagi Indonesia, pembukaan bursa karbon menjadi tonggak penting dan mencetak rekor dengan implementasi pada level nasional. Hal ini tertuang dalam Pasal 11 POJK No 14 Tahun 2023. Pasal tersebut berbunyi “Penyelenggara Bursa Karbon merupakan perseroan terbatas yang berkedudukan hukum di wilayah Indonesia.”
Tabel 2. Komparasi ETS Bursa Karbon di Beberapa Negara
Negara | Skema | Keterangan |
Tiongkok | ETS (Emission Trade System) | Diluncurkan16 Juli 2021 dan (hingga kini) hanya mencakup sektor pembangkit listrik dengan cakupan daerah Beijing, Chongqing, Fujian, Guangdong (except Shenzhen), Hubei, Shanghai, Shenzhen dan Tianjin |
Jepang | ETS (Emission Trade System) | Subnational yakni mencakup Saitama dan Tokyo |
Indonesia | ETS (Emission Trade System) | Seluruh wilayah Indonesia |
EU, Norwegia, Islandia, dan Liechtenstein | ETS (Emission Trade System) | Regional (Ketiga wilayah tersebut) |
*)Data Per Maret 2023. Sumber : Bank Dunia, 2023.
Meski pemberlakuan pasar karbon berlaku di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia, namun terdapat beberapa hal yang menjadikan keberadaan platform perdagangan karbon ini tidak optimal. Pertama adanya voluntary carbon market (VCM). Memang, hingga saat ini dua jenis mekanisme yakni VCM dan pasar wajib (mandatory market). Mandatory market hingga saat ini baru diikuti oleh PLTU (99 pembangkit). Kedua, ketiadaan pajak karbon.
Pajak karbon tidak pelak perlu ditetapkan. Hal ini mengingat sistem perdagangan karbon bersifat cap and tax serta cap and trade seperti yang berlaku di Eropa dan USA. Keberadaan pajak karbon akan menjadi semacam insentif untuk melakukan perdagangan karbon. Pada saat bersamaan, pajak menjadi penalti bilamana pencemar tidak memenuhi kewajiban batas emisinya.
Kemudian, perdagangan karbon dilakukan dalam bentuk bursa. Hal ini di sisi lain menjadikan bursa karbon terdata dengan baik. Namun, hal itu menjadi hambatan bagi banyak entitas bergabung di dalam perdagangan karbon.
Sebaiknya perdagangan karbon bukan dalam bentuk bursa, tapi komoditas. Hal ini di sisi lain memerlukan pengawasan, infrastruktur dan kelembagaan yang memadai. Jika di masa depan Indonesia dinilai sudah siap untuk menjalani ini maka opsi ini adalah opsi yang baik diambil.
Kedua, pajak karbon dibarengkan dengan bursa karbon agar kombinasi itu lebih mampu memastikan semua entitas bisnis terutama yang belum masuk bursa karbon bisa berkontribusi dengan maksimal.***