Regulasi baru mengenai tata kelola para penyelenggara bisnis, meski ketat, disambut baik oleh pelaku pasar modal. Sebabnya aturan itu akan memaksa pelaku industri untuk berpikir dua kali untuk melakukan pelanggaran.
Oleh Romualdus San Udika
Aturan baru yang dilansir regulator pada Maret lalu terkait penyelenggaraan kegiatan di bursa efek, tampaknya belum bergaung seperti yang diharapkan. Padahal banyak aturan-aturan di dalamnya merupakan aturan yang akan membuat beberapa praktik yang sebelumnya berlaku digantikan, karena menggantikan aturan yang telah lama dijalankan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah melansir Peraturan No.3 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Beberapa perubahan di antaranya jumlah perubahan jumlah modal disetor bagi bursa efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan (LKP), dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP). Adapun di dalam POJK baru ini, jumlah modal disetor untuk bursa efek paling sedikit adalah Rp100 miliar, lebih besar jika dibandingkan dengan aturan PP 45/1995 yang hanya Rp7,5 miliar.
BERITA TERKAIT
Sedangkan untuk LKP dan LPP jumlah modal disetor paling sedikit harus mencapai Rp200 miliar. Sementara pada aturan lama hanya Rp15 miliar. Jadi semuanya dilelang jadi tidak lagi semuanya di beli oleh bursa. Berdasarkan aturan itu pula, OJK menegaskan kembali aturan permodalan untuk manajer investasi yang senilai minimal Rp25 miliar
Selanjutnya, di dalam POJK baru ini mengatur mengenai perubahan masa jabatan anggota direksi dan komisaris SRO. Masa jabatan kini diperpanjang menjadi 4 tahun dan dapat diangkat kembali. Sementara di aturan PP 45/1995 masa jabatan hanya berlaku sampai 3 tahun saja. Peraturan itu juga mendongkrak peran OJK dalam memberikan sanksi baik teguran maupun hukuman kepada pelaku pasar modal.
Menurut beberapa kalangan pelaku industri pasar modal aturan ini dianggap sebagai perbaikan dari aturan sebelumnya. Salah satunya adalah Direktur Panin Asset Management Rudiyanto. Menyangkut mengenai ketentuan permodalan yang lebih besar untuk mendirikan perusahaan pengelola dana investasi, menurutnya ada plus minusnya. “Mengenai permodalan, memang ada plus minusnya. Di satu sisi mungkin menyulitkan kalau ada MI (manajer investasi) yang baru mau berdiri, tapi di sisi lain karena lebih tinggi maka yang mendirikan MI baru pasti bonafid,” kata dia.
Selain mengatur permodalan, OJK juga meningkatkan besaran sanksi bagi perusahaan sekuritas, manajer investasi atau perusahaan terbuka yang terlambat atau tidak menyampaikan laporan keuangan. Menurut Rudiyanto, peningkatan besaran sanksi ini juga masih dalam tahap yang wajar. “Selama berlaku sama, ya masih wajar. Untuk meningkatkan kepatuhan dan kedisplinan juga,” terang dia.
Di luar peraturan yang khusus berkaitan dengan manajer investasi, Rudiyanto mengapresiasi peraturan yang berkaitan dengan perusahaan terbuka. Hal ini terutama terkait perusahaan terbuka yang tidak tercatat di bursa. Pasalnya, hal ini sangat merugikan investor.
Hal lainnya adalah peraturan mengenai perusahaan yang akan melakukan delisting. “Dengan adanya peraturan OJK ini, yang sebelumnya hanya memuat mengenai lembaga jasa keuangan, juga memuat mengenai perusahaan terbuka yang akan delisting,” kata dia.
Preseden Buruk
Sementara itu, terkait tanggung jawab menanggung kerugian investor, pengamat pasar modal Hans Kwee mempunyai pandangan berbeda. Jika kerugian murni terjadi akibat fluktuasi di pasar yang sulit diprediksi, maka tidak sepenuhnya tanggung jawab dibebankan pada manajer investasi. Sebab dia menilai setiap investasi di pasar modal mengandung risiko yang bisa mengarah pada kerugian. Oleh karena itu, investor tidak bisa menuntut ganti rugi atau meminta pengembalian pokok investasinya selama investasi dijalankan sesuai ketentuan. “Kalau kerugian investasi murni karena investasi tidak bisa minta ganti rugi. Harus buktikan ada pelanggaran aturan baru bisa minta ganti rugi,” ujar Hans.
Di instrumen reksadana, penurunan nilai investasi bisa terjadi saat aset dasar yang menjadi portofolio reksadana mengalami penurunan harga. Saat harga saham yang menjadi portofolio reksadana turun, kinerja reksadana otomatis akan ikut menurun, begitu pula sebaliknya. Sehingga, investasi di reksadana, tutur Hans, tidaklah bebas dari risiko meskipun produk reksadana dikelola oleh MI yang profesional, bersertifikasi, berpengalaman dan pengelolaan investasinya diawasi oleh OJK.
Sejatinya dalam prospektus reksadana, manajer investasi selalu menyebutkan adanya risiko investasi. Salah satu risikonya adalah penurunan nilai aktiva bersih (NAB) yang akan mengakibatkan pokok investasi tergerus. Investor harus sudah memahami dan menyetujui adanya risiko tersebut sebelum membeli produk reksadana.
Untuk diketahi saja, kepada 13 Manajer Investasi yang menjadi tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Kejaksaan Agung meminta untuk mengembalikan dana investasi perusahaan asuransi tersebut. Sebagai bagian dari 13 manajer investasi, PT Sinarmas Asset Management diketahui mengembalikan dana investasi Jiwasraya ke Kejagung senilai Rp77 miliar.
Bagi Hans, ini berpotensi menjadi preseden buruk di industri pasar modal. Sebab, setiap investor yang mengalami kerugian karena kinerja reksadana menurun, bisa meminta pengembalian dana kepada MI karena melihat kasus Jiwasraya. Apalagi nantinya hal itu diperkuat oleh rencana OJK yang menegaskan kewajiban manajer investasi tersebut.
Namun Hans menjelaskan, manajer investasi tidak harus terlebih dahulu mengembalikan dana investasi Jiwasraya seperti yang diminta Kejagung karena belum terbukti bersalah.”Harusnya seperti itu. Sinarmas beritikad baik. Tapi bila tidak terbukti salah, maka dana harusnya dikembalikan pada Sinarmas,” ujar Hans.
Pakar Hukum Bisnis Universitas Airlangga Budi Kagramanto juga mengemukan pendapat yang senada. Menurutnya, dalam penyelesaian secara hukum, otoritas terkait harus fokus memperdalam ketepatan prosedur belanja atau penempatan dana investor ke produk investasi. Sebab kerugian investasi dapat muncul dari proses penempatan dana itu.
Dalam hal ini Budi mempertimbangkan berdampak bagi industri asuransi secara keseluruhan. Sebab setiap nasabah, jika berkaca pada kasus Jiwasraya, perusahaan asuransi lain juga bisa meminta uangnya dikembalikan utuh jika merugi. Padahal seperti diketahui, saat ini investasi di industri pasar modal sedang rontok. “Jadi multiplier effect dari keputusan ini sangat besar,” ujar Budi.
Dia menjabarkan bahwa di industri reksadana tidak terdapat jaminan bagi pokok investasi, sekalipun produk tersebut merupakan reksadana terproteksi. Oleh karena itu, kebijakan pengembalian dana investora dari MI perlu dipertimbangkan dengan matang oleh pemangku otoritas. “Ketika sidang selesai, dan uang itu harus dikembalikan lagi ke MI, tapi nilainya sudah menyusut, lalu apa sanksi untuk Kejaksaan Agung? Ini bisa menjadi bumerang,” ujar Budi.
OJK kini memang tengah gencar memperketat pengawasan terhadap pasar modal guna melindungi investor publik. Maklum belakangan banyak investor yang merasa dirugikan atas tindakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan Tbk.
Salah satunya, bursa saham sedang menghadapi skandal besar yang dilakukan mantan direksi PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA). Dua direksi AISA yaitu joko Mogoginta dan Budhi Istanto diduga memalsukan laporan keuangan perseroan 2017.
Dengan melebihkan nilai (overstatement) piutang kepada enam distributor yang ditulis sebagai pihak ketiga, padahal nyatanya merupakan afiliasi perseroan. Aksi ini dilakukan untuk memoles fundamental perseroan guna melejitkan harga saham.
Padahal kondisi perseroan nyatanya tengah bermasalah, ini terbukti misalnya saat Tiga Pilar pada 2018 gagal membayar bunga obligasi dan sukuk ijarah. Ini yang kemudian membuat Tiga Pilar dibekukan selama dua tahun dari perdagangan bursa. Saat diaudit ulang (restatement) laporan keuangan 2017, Tiga Pilar mencatat rugi bersih Rp 5,23 triliun sepanjang 2017. Nilai tersebut lebih besar Rp 4,68 triliun dari laporan keuangan versi sebelumnya yang hanya rugi Rp 551,9 miliar.
Adapun saat ini dua orang pejabatnya telah ditetapkan sebagai terdakwa dan dalam proses menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya kepada Tiga Pilar. Adapun yang mengajukan gugatan dua mantan direksi tersebut ke pengadilan adalah Forum Investor Ritel AISA (Forsa) yang didalamnya ada ribuan investor ritel.***