Keberadaan bank digital akan menjadi dominan dalam beberapa waktu ke depan, jika aturan regulator terkait hal itu sudah luncur. Pertempuran sengit dalam layanan ini diperkirakan akan mengalami puncaknya.
Oleh Syarif Fadilah
Perkembangan teknologi memang tidak bisa dibendung lagi, termasuk pada sektor perbankan. Layanan digital yang disediakan oleh bank tampaknya tidak dirasa mencukupi kebutuhan kebanyakan konsumen lagi. Alih-alih memperbesar praktik digital dalam layanan dan produknya, beberapa perbankan memilih untuk sekalian saja menjadi bank digital.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator industri keuangan menyadari betul mengenai fenomena ini. Makanya, otoritas ditengarai tengah meramu aturan yang bisa memberikan kejelasan kepada pelaku industri mengenai A sampai Z layanan bank digital itu. Aturan ini diperkirakan akan dirilis sebelum pertengahan 2021.
Salah satu hal yang paling penting dalam aturan tersebut adalah soal permodalan. Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto menjelaskan, OJK berencana membagi dua jenis bank digital. Pertama adalah bank yang sejak awal memang didirikan sebagai bank digital. Untuk bank jenis ini, persyaratan modal minimalnya adalah Rp 10 triliun.
Kedua, adalah bank eksisting yang bertransformasi menjadi bank digital. Adapun bank yang saat ini tengah bertransformasi menjadi bank digital adalah PT Bank Jago Tbk, PT Bank Capital Indonesia Tbk dan ada beberapa bank lainnya. Untuk bank jenis ini, OJK akan mensyaratkan modal minimal sebesar Rp3 triliun.
Meski modal minimalnya berbeda- beda, namun ada beberapa persyaratan yang akan diterapkan sama kepada seluruh bank digital. Persyaratan itu adalah memiliki model bisnis yang realistis dengan penggunaan teknologi yang inovatif dan aman dalam memenuhi kebutuhan nasabah.
“Manajemen bank digital ini juga harus paham mitigasi dan kapabilitas manajemen risiko untuk mengantisipasi berbagai risiko digital, termasuk kejahatan siber,” ujar Anung dalam sebuah konferensi pers virtual belum lama ini.
Melihat hal ini, bank-bank yang saat ini berencana untuk menjadi bank digital harus menambah permodalannya. Salah satunya adalah Bank Capital yang tengah bertransformasi dari bank konvensional menjadi bank digital agar bisa memperkuat segmen ritel.
Direktur Utama Bank Capital Wahyu Dwi Aji mengungkapkan, sejak tahun lalu pihaknya sengaja menghentikan penyaluran kredit kepada segmen komersial dan korporasi. Hal tersebut lantaran perseroan ingin fokus pada segmen ritel setelah menjadi bank digital.
“Pengurangan kredit kepada segmen komersial dan korporasi ini terlihat dari penurunan penyaluran kredit sebesar 34,05 persen secara tahunan (year on year/yoy) dari Rp 9,75 triliun pada 2020 menjadi Rp6,43 triliun pada 2019,” jelas Wahyu.
Setelah menghentikan penyaluran kredit ke dua segmen tersebut, Bank Capital juga memperkuat permodalan. Untuk merealisasikan penambahan modal ini, Bank Capital akan menerbitkan saham baru dengan memberikan hak memesan efek kepada pemegang saham atau rights issue senilai Rp2 triliun paling lambat pada kuartal keempat tahun ini. Perseroan juga berencana menerbitkan obligasi subordinasi sebesar Rp700 miliar tahun ini.
“Dengan penambahan modal itu, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) bank akan meningkat menjadi 30 persen. Hal ini dapat mendukung pertumbuhan Bank Capital untuk bisa mencapai cita-cita jadi bank digital,” papar Wahyu.
Sejalan dengan penambahan modal itu, perseroan, kata Wahyu lagi, juga membuka kesempatan bagi pihak luar yang tertarik untuk menanamkan investasi di bank itu. Termasuk juga membuka pintu kepada unicorn atau perusahaan rintisan dengan valuasi di atas 1 miliar dollar AS untuk bergabung.
Tidak hanya Bank Capital yang akan menambah permodalannya, Bank Jago juga berencana menambah modal melalui rights issue. Target dana yang dihimpun dari aksi korporasi tersebut sebesar Rp7 triliun.
Direktur Kepatuhan sekaligus Sekretaris Perusahaan Bank Jago Tiit Siat Fun mengatakan, sebesar 97 persen dari dana rights issue akan digunakan untuk ekspansi usaha. Sementara sisa dana lainnya akan digunakan untuk investasi di infrastruktur teknologi informasi dan sumber daya manusia. “Perseroan akan mengembangkan sistem, teknologi dan infrastruktur untuk digital banking yang melayani segmen ritel, SME, individual dan nasabah syariah,” terang Tiit.
Kemudian, ada PT Bank Neo Commerce Tbk yang akan menggelar penawaran saham terbatas untuk menambah modal inti menjadi Rp 2 triliun pada 2021 dan Rp3 triliun pada 2022. Adapun per September 2020, modal inti Bank Neo Commerce mencapai Rp1,08 triliun, meningkat dari posisi per 31 Agustus 2020 yang mencapai Rp 928,62 miliar. Penambahan modal berasal dari hasil rights issue pada Juli 2020 sebesar Rp 150 miliar.
Bank Neo Commerce sebelumnya bernama Bank Yudha Bhakti dan dikuasai oleh grup Gozco bersama dengan sejumlah induk koperasi di lingkungan TNI. Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan mengatakan penambahan modal ini tidak hanya untuk memenuhi ketentuan regulator. “Kami melihat perlunya menambah modal untuk mendukung bisnis supaya lebih berkembang,” imbuhnya.
Tjandra mengatakan, ada dua hal yang menjadi strategi bisnis pada tahun ini. Pertama, penetrasi pasar di pasar digital melalui produk dan layanan Bank. Lalu kedua adalah meningkatkan kolaborasi strategis dengan ekosistem digital yang ada saat ini, yakni Akulaku Grup.
Aturan Berat
Bank-bank yang menambah modal di atas cenderung berstatus bank kecil. Oleh karena itu, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai, pemenuhan permodalan sebesar Rp10 triliun ataupun Rp 3 triliun itu relatif cukup berat. Padahal, bank-bank kecil ini bisa bertransformasi menjadi neo bank yang memiliki banyak keuntungan.
“Menjadi neo bank bisa meningkatkan efisiensi perbankan karena biaya operasional bisa lebih rendah. Bahkan, iklim persaingan bisa makin ketat dan ini bagus agar bunga pinjaman cepat turun,” kata dia dalam sebuah wawancara belum lama ini.
Oleh karena itu, Bhima berpendapat pembentukan bank digital seharusnya bisa didukung oleh regulator. OJK sebaiknya tidak mematok modal minimal yang terlalu besar, namun mengedepankan keamanan sistem dan perlindungan data nasabah.
Perkembangan bank digital juga bisa memicu masuknya investor asing. Pasalnya, bank yang sedang bertransformasi saat ini membutuhkan modal besar sehingga terbuka untuk bekerjasama dengan berbagai investor.
Menurut Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, OJK dan Bank Indonesia (BI) juga harus mengambil peran dalam menyikapi hal ini. Bentuknya bisa dengan memperketat peraturan dan perizinan kepada investor asing yang akan masuk ke bank digital. “Jika diberi kelonggaran, maka pemain asing yang didukung dana melimpah dikhawatirkan akan menguasai ekonomi digital Indonesia, termasuk bank digital,” ungkap dia melalui keterangan resmi.
Menurut Heru, tata kelola bisnis digital di Indonesia saat ini belum menyentuh pemain asing. Oleh karena itu pemerintah harus mengatur kehadiran pemain asing ini secara jelas dan terukur, misalnya dengan menentukan kewajiban mereka di Indonesia.
Regulasi ini, lanjut Heru harus secepatnya dirampungkan. Pasalnya, jumlah pemain asing di bisnis keuangan digital terus meningkat. Hal ini juga didorong oleh potensi pasar di Indonesia yang besar dan berbagai kemudahan layanan secara digital.
Saat ini, investor asing cukup besar perannya di lembaga keuangan digital, terutama mereka yang berasal dari Singapura. Mengutip dari BUMNInc, terdapat empat entitas yang sudah disetujui Otoritas Moneter Singapura (MAS) untuk membuka bank digital, yakni konsorsium Grab-Singtel, Sea (induk dari Shopee), Ant group (operator Alipay- milik Alibaba ) serta Greenland Financial consortium.
Grab yang memiliki pelanggan berbayar sekitar 214 juta pelanggan di enam negara akan digabungkan dengan Singtel yang memiliki 4 juta pelanggan. Sementara Sea dengan maskot utamanya Shopee, memiliki sekitar 572 juta pelanggan gaming yang aktif. Potensi pasar ini juga ditunjang oleh transaksi Shopee yang terus bertumbuh.
Dengan perkembangan ini, investor asing terutama yang berasal dari China melalui Ant atau Greenland akan menjadikan Singapura sebagai pintu terdepan ekspansi ke pasar Asia Tenggara. Indonesia yang memiliki penduduk terbesar di Asia Tenggara tentunya bisa menjadi pasar yang paling empuk.
Oleh karena itu, investor lokal juga perlu segera berbenah dan meningkatkan modalnya kepada bank digital. Hal ini sudah mulai dilakukan, namun masih harus dikembangkan. Beberapa nama lokal yang mulai mengembangkan bank digital adalah Bank BCA dan Bank Royal, bank berbasis teknologi Bank Jago, serta layanan Jenius dari Bank BTPN. Selain itu, Bank Rakyat Indonesia juga mempersiapkan anak usahanya, yakni PT BRI Agroniaga Tbk atau BRI Agro untuk menjadi bank digital.
***