Target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semula dipatok 5,3 persen dalam APBN 2016, akhirnya direvisi menjadi 5,2 persen melalui APBN Perubahan. Kesepakatan pemerintah dan parlemen dalam memangkas target pertumbuhan tersebut didasari oleh performa ekonomi domestik dan global yang tak kunjung membaik sepanjang paro pertama 2016 ini.
Gambaran kelesuan ekonomi Indonesia ditandai dengan pertumbuhan ekonomi triwulan pertama 2016 yang hanya tumbuh 4,92 persen, lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya (IV-2015) sebesar 5,04 persen. Lemahnya pertumbuhan di triwulan awal 2016 ini disebabkan oleh minimnya konsumsi pemerintah yang hanya tumbuh 2,93 persen. Selain itu, kinerja ekspor juga masih belum menggembirakan dengan pertumbuhan negatif 3,88 persen. Penurunan ekspor ditengarai karena lemahnya permintaan dari negara-negara mitra dagang utama Indonesia.
Kemudian, investasi swasta yang tercermin dari pembentukan modal tetap domestik bruto juga relatif masih rendah yakni tumbuh 5,57 persen, lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya (IV-2015) sebesar 6,9 persen. Perlambatan pertumbuhan investasi ini bisa menjadi pertanda masih ragunya pelaku usaha terhadap efektivitas 12 paket kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah.
Sementara itu, indikator lain seperti inflasi terlihat cukup rendah sepanjang semester pertama ini. Bahkan pada Februari dan April terjadi deflasi masing-masing sebesar 0,09 persen dan 0,45 persen. Pemerintah kemudian memotong target inflasi tahunan dari 4,7 persen (APBN 2016) menjadi 4 persen (APBN-P 2016). Namun demikian, terjadinya deflasi dan inflasi rendah tersebut juga dapat dibaca sebagai sinyal perlambatan ekonomi yang disebabkan penurunan konsumsi masyarakat. Bagi negara-negara maju seperti Jepang dan Eropa, deflasi justru menjadi momok dan persoalan utama yang tengah dihadapi.
Melambatnya ekonomi domestik juga terlihat dari kinerja industri pengolahan yang hanya tumbuh 4,59 persen pada kuartal pertama 2016. Sedangkan, industri pengolahan non-migas sebagai tolak ukur kinerja manufaktur domestik, hanya naik 4,46 persen. Pertumbuhan industri pengolahan tersebut lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi 4,92 persen dalam periode yang sama. Padahal, data historis menunjukkan bahwa sejak 2012 pertumbuhan industri pengolahan selalu lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi di awal tahun.
Pelaku usaha domestik juga menghadapi tantangan ekonomi global. Melemahnya harga komoditas serta lesunya permintaan ekspor turut memengaruhi kinerja industri. Negara-negara utama tujuan ekspor seperti China dan Amerika masih belum terlihat sembuh dari pemulihan ekonomi. Maka tidak mengherankan apabila kemudian Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2016 ini dari 2,9 persen menjadi 2,4 persen. Begitupun IMF yang telah merevisi proyeksi perumbuhan ekonomi dunia dari 3,4 persen menjadi 3,2 persen. Peristiwa lain yang turut menambah risiko dan ketidakstabilan ekonomi global yakni keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) pasca referendum Juni lalu.
Gabungan pelemahan ekonomi domestik dan dunia tersebut akhirnya turut mendorong pemerintah untuk merombak ulang APBN 2016. Pendapatan Negara yang semula ditargetkan Rp1.822 triliun kini diturunkan menjadi Rp1.786 triliun (turun 1,99 persen). Demikian juga Belanja Negara yang awalnya dipatok Rp2,095 triliun turun menjadi Rp2.082 triliun (turun 0,61 persen). Pemerintah telah berupaya adaptif terhadap perubahan dan tantangan ekonomi yang dihadapi dunia usaha.
Menyadari besarnya tantangan dan resiko yang dihadapi dunia usaha, pemerintah nampak cukup agresif dalam menstimulus aktivitas ekonomi riil, baik melalui belanja-belanja produktif maupun dengan beragam insentif telah dihasilkan seperti 12 paket kebijakan dan program tax amnesty. Sementara itu, penurunan suku bunga acuan (BI rate) sehingga mencapai level 6,5 persen juga menjadi tambahan nafas bagi dunia usaha untuk tetap optimis dan bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi.
Risiko Pembiayaan
Perlambatan ekonomi berdampak pada risiko pembiayaan. Lebih jauh, perlambatan ekonomi yang dibarengi dengan perlambatan kredit akan memberbesar risiko pembiayaan semisal naiknya Non Performing Loan. Perlambatan kredit yang sudah terjadi sejak 2012, inline dengan perlambatan ekonomi yang terjadi. Seperti yang diinformasikan dalam Gambar 1.
Perlambatan ekonomi sudah mulai sejak kuartal 1 2012. Pada kuartal tersebut (yoy) , ekonomi tumbuh 6,11 persen. Angka tersebut melambat menjadi 4,92 persen pada kuartal 1 2016 (yoy). Sedangkan pertumbuhan kredit melambat dari 24,89 persen di kuartal 1 2012 menjadi 8,44 persen di kuartal 1 2016 (yoy).
BERITA TERKAIT
Apabila dilihat lebih detail per kelompok bank, perlambatan kredit terbesar terdapat pada kelompok bank asing dan campuran. Pada kuartal pertama 2012, pertumbuhan penyaluran kredit kelompok bank asing dan campuran sebesar 25,93 persen (yoy). Pada kuartal pertama 2016, pertumbuhan penyaluran kreditnya minus 2,52 persen (yoy). Kelompok Bank Persero menjadi kelompok bank dengan tingkat perlambatan kredit terkecil dari pertumbuhan 20,50 persen pada kuartal 1 2012, melambat menjadi 14,62 persen pada kuartal 1 2016 (yoy).
Apabila dilihat per sektor, penyaluran kredit di seluruh sektor mengalami perlambatan pertumbuhan, kecuali sektor jasa yang mengalami perbaikan pertumbuhan sejak kuartal pertama 2015. Pada kuartal pertama 2015, pertumbuhan kredit sektor jasa minus 17,85 persen (yoy). Namun angkanya cenderung meningkat hingga memasuki kuartal pertama 2016 sebesar 18,51 persen (yoy).
Sektor dengan perlambatan pertumbuhan terbesar adalah sektor pertambangan dan penggalian. Pada kuartal 1 2012, pertumbuhan kredit sektor pertambangan dan penggalian sebesar 34,33 persen (yoy) dan merupakan pertumbuhan tertinggi di antara sektor lainnya. Pada kuartal 1 2016, pertumbuhan kreditnya melambat menjadi minus 8,24 persen (yoy).
Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian yang disebabkan oleh penurunan harga komoditas di pasar global.
Perlambatan ekonomi yang berdampak pada perlambatan penyaluran kredit perbankan berdampak pada NPL. Terdapat beberapa sektor berpotensi memperbesar risiko pembiayaan. Alasnnya, tren NPL nya meningkat tajam. Di sisi lain, pertumbuhan sektoralnya melambat.
Selama Desember 2014 hingga April 2016, terdapat lima sektor dengan NPL terbesar dan memiliki tren peningkatan pada periode tersebut. Kelima sektor tersebut adalah sektor pertambangan dan penggalian, konstruksi, perdagangan besar dan eceran, transportasi, pergudangan dan komunikasi serta sektor jasa kemasyarakatan, sosial budaya, hiburan dan perorangan lainnya.
Dari lima sektor tersebut di atas, sektor sektor pertambangan dan penggalian menjadi sektor dengan peningkatan nilai NPL terbesar. Pada Desember 2014, NPL sektor tersebut sebesar 2,52 persen. Angkanya meningkat menjadi 5,15 persen pada April 2016. Sedangkan nilai rata-rata NPL nya adalah sebesar 3,62 persen persen. Sektor dengan rata-rata NPL tertinggi adalah sektor pertambangan dan penggalian sebesar 5,15 persen.
Sektor lain yang memiliki NPL rendah selama kurun waktu Desember 2014 hingga April 2016 adalah sektor listrik, gas dan air (1,84 persen); perantara keungan (0,78 persen), administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminana sosial wajib (0,11 persen), jasa pendidikan (1,59 persen) serta jasa kesehatan dan kegiatan sosial (1,51 persen).
Risiko Pendanaan
Perbankan sebagai lembaga penyedia likuiditas bagi sektor riil juga harus menghadapi tantangan berupa pemenuhan sumber likuiditas atau pendanaannya sendiri. Kaitannya dengan risiko pendanaan, industri perbankan Indonesia masih mengandalkan sumber dana mahal berupa simpanan berjangka (deposito).
Sumber DPK terbesar kedua berasal dari tabungan sebesar 29,86 persen, dan diikuti Giro 23,54 persen. Berdasarkan struktur DPK seperti ini, perbankan akan lebih tertekan disebabkan mahalnya biaya dana yang bersumber dari deposito. Apalagi dalam praktiknya, demi persaingan merebutkan dana nasabah, perbankan tidak segan-segan mengobral bunga deposito yang tinggi, meskipun melebihi suku bunga penjaminan bank umum (LPS rate) 6,75 persen.
Di sisi lain, biaya bunga yang dikeluarkan perbankan untuk memperoleh dana dari pihak ketiga (DPK) per Mei 2016 sebesar Rp75 triliun atau mengalami penurunan 5,45 persen (yoy). Kenaikan tertinggi berasal dari biaya bunga tabungan 7,72 persen (yoy), diikuti giro 1,61 persen (yoy). Sedangkan biaya bunga deposito justru mengalami penurunan 7,69 persen (yoy).
Namun demikian, jika dilihat dari pangsa biaya bunga DPK, biaya bunga deposito memakan porsi yang sangat besar mencapai 78,86 persen per Mei 2016 atau sebesar Rp78,86 triliun. Sedangkan biaya bunga tabungan dan giro masing-masing sebesar 12,69 persen dan 8,44 persen.
Kemudian, beban bunga DPK pada gilirannya akan ditransmisikan menjadi beban bunga kredit. Persoalannya, jika beban bunga DPK yang bersumber dari deposito saja sudah terlampau tinggi maka beban bunga yang harus ditanggung oleh debitur pun akan lebih tinggi lagi. Apalagi, margin suku bunga (NIM) yang dikenakan oleh perbankan Indonesia selama ini tergolong tinggi (5,6 persen per Mei 2016), tentu makin melambungkan bunga kredit. Adapun rata-rata bunga kredit Modal Kerja, Investasi, dan Konsumsi per Mei 2016 masing-masing sebesar 11,98 persen, 11,60 persen, dan 13,86 persen.
Tak bisa dipungkiri bahwa selama ini perbankan masih terlalu bergantung pada sumber dana dengan cost of fund yang cukup mahal, terutama ditopang oleh simpanan deposito berdurasi 1 bulan. Perbankan seharusnya lebih kreatif dalam mencari sumber-sumber dana dari instrumen lainnya yang relatif lebih murah dan atau lebih berjangka panjang, sehingga perbankan dapat lebih fleksibel dalam memanfaatkan dana tersebut untuk tujuan intermediasi.
Sebetulnya ada banyak sekali sumber pendanaan alternatif yang dapat dihimpun oleh perbankan, misalnya dari dana pensiun, maupun dana asuransi. Selain itu, adanya sentimen positif paska Brexit terhadap negara-negara emerging market termasuk Indonesia sehingga likuiditas akan bertambah. Pesatnya aliran modal asing ke Indonesia (capital inflow) pada kuarta II-2016 ini tentunya menjadi peluang emas industri perbankan nasional. Pada Juni 2016 misalnya, modal masuk di pasar surat utang mencapai Rp18,1 triliun, sementara di pasar saham sebesar USD532,2 juta.
Selanjutnya, seperti telah disinggung di awal, paska pengesahan UU pengampunan pajak (tax amnesty), industri perbankan harus segera menyiapkan instrumen yang tepat untuk menampung dana-dana hasil repatriasi maupun deklarasi. Apalagi berdasarkan beleid UU tersebut, dana hasil tax amnesty tersebut harus ‘dikunci’ di dalam negeri minimal 3 tahun. Industri perbankan harus sigap dalam menangkap peluang perburuan likuiditas ini, sebab terdapat industri dan beragam instrumen lain yang siap mengejar dana dari tax amnesty. Mulai dari pemerintah dengan instrumen Surat Utang Negara (SUN), Pasar Modal, Perusahaan Sekuritas, Manajer Investasi, Obligasi BUMN, dan lain-lain.
Celah
Ada kesempatan dalam kesempitan. Mungkin peribahasa tersebut berlaku pada dunia perbankan Indonesia saat ini. Meski pertumbuhan total penyaluran kredit mengalami perlambatan, terdapat beberapa sektor yang bisa menopang kinerja perbankan.
Beberapa sektor yang bisa menjaga kinerja perbankan adalah sektor dengan pertumbuhan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan total PDB. Selain itu juga bisa dilihat dari nilai NPL.
Beberapa celah tersebut antara lain adalah pertama sektor pendidikan. Rata-rata pertumbuhan kuartalan sektor tersebut selama kurun waktu kuartal pertama 2011 hingga kuartal pertama 2016 (yoy) tumbuh 7,06 persen. Tingginya pertumbuhan sektor jasa pendidikan ini ditopang nilai rata-rata NPL kurun waktu Des 2014-April 2016 sebesar 1,59, masih jauh dibandingkan dengan rata-rata NPL sektor konstruksi misalnya sebesar 5,04.
Kedua, pariwisata. Pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang besar menjadikan kebutuhan rekreasi semakin tinggi. Hal ini menjadikan sektor pariwisata menjadi sektor yang terkena dampak atas peningkatan kelas menengah tersebut.
Geliat sektor pariwisata yang salah satunya bisa dilihat dari angkutan udara menunjukkan pertumbuhan sektor ini sebesar 8,65 persen (kuartal pertama 2011 sd kuartal pertama 2016). Selain itu sektor penyediaan akomodasi dan makanan minuman yang merupakan salah satu bagian pendukung pariwisata tumbuh sebesar 6,07 persen pada periode yang sama.
Selain kedua sektor tersebut di atas, rencana otoritas menghilangkan uang muka kendaraan menjadikan sektor pembiayaan otomotif menjadi celah yang bisa dimasuki. Lagi-lagi, otomotif berkaitan erat dengan kelas menengah di Indonesia.