Industri perbankan Syariah akan lebih semarak ketika beberapa bank bersiap untuk melakukan konsolidasi. Persaingan akan makin semarak jika muncul beberapa bank besar lainnya yang bisa jadi kompetitor serius dan mengambil alih konsolidasi, salah satunya adalah yang selalu lincah tumbuh melesat, yakni BTN Syariah.
Oleh: Romualdus San Udika
Sudah beberapa tahun belakangan ini ada sedikit kejemuan dalam industri perbankan syariah mengingat kuatnya dominasi Bank Syariah Indonesia (BSI). Memang sejak Bank Syariah Mandiri (BSM), BNI Syariah, dan BRI Syariah bergabung pada 2021, BSI menjadi bank syariah terbesar dan mendominasi industri perbankan syariah Tanah Air.
BSI menutup periode September 2023 dengan total aset yang dimiliki senilai Rp320 triliun. Angka tersebut tumbuh 14 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Terpaut jauh di posisi kedua ada unit usaha syariah (UUS) milik Bank CIMB Niaga dengan aset Rp61,46 triliun. Angka tersebut baru sekitar 19,2 persen dari total aset yang dimiliki BSI. Kemudian aset Bank Muamalat Rp66,2 triliun di periode Septermber 2023. Kemudian ada UUS Bank BTN, yang jika mengacu laporan keuangan BTN per 31 Desember 2023, aset UUS BTN telah mencapai Rp 54,3 triliun.
Namun, kendati kecil tetapi cabe rawit. Sebabnya, seksinya UUS BTN Syariah karena labanya melesat di atas 110 persen di akhir 2023, yakni mencapai Rp702,3 miliar dari perolehan laba bersih 2022 yang baru di angka Rp333,6 miliar. Bandingkan dengan BSI dengan asset terbesar, pertumbuhan laba BSI di level 33,82 persen menjadi Rp 5,7 triliun. CIMB Niaga Syariah juga telah membukukan laba bersih sebesar Rp1,91 triliun pada 2023, tumbuh signifikan 26,49 persen. Sementara laba Bank Muamalat di kuartal III/2023 yang kendati tumbuh 65,6 persen secara tahunan, namun secara nilai masih sangat kecil, yakni dari Rp31,6 miliar pada kuartal III/2022 menjadi Rp 52,36 miliar di kuartal III/2023.
Kondisi tersebut rupanya dilihat otoritas sebagai sesuatu yang tidak menyehatkan industri keuangan Syariah. Melalui Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae, regulator mengungkapkan keinginan agar ada dua atau tiga bank lain yang setara dengan BSI. Potensi ini sangat terbuka mengingat UUS bank lainnya seperti milik BTN, mencatat pertumbuhan yang ciamik. Pesan regulator, besar saja tidak cukup jika tidak tumbuh signifikan.
Tidak mengherankan jika OJK mendorong perbankan untuk lebih agresif lagi dalam konsolidasi baik melalui pemisahan anak usaha, merger atau akuisisi. Tetapi, konsolidasi yang dilakukan bukan langkah pemaksaan, kendati OJK memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut sesuai undang-undang.
“Yang kami lakukan semacam memberi desain konsolidasi, mana saja yang cocok dilakukan seperti bank mana dengan bank mana. Itu kemudian akan ditindaklanjuti pembicaraan dari waktu ke waktu,” ujar Dian.
Merger Besar
Sejauh ini, telah muncul rencana merger antara PT Bank Muamalat Indonesia Tbk dan BTN Syariah. OJK mengatakan, meski pihaknya belum menerima permohonan perizinan terkait itu, namun Dian mengaku kedua belah pihak itu telah melakukan komunikasi dengan otoritas. “Dalam hal terdapat bank mengajukan permohonan kepada OJK, maka kami akan segera mengevaluasi dan memproses sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Dian.
Seperti diketahui, BTN Syariah yang merupakan unit usaha syariah (UUS) Bank Tabungan Negara tengah mengincar bank syariah untuk merger. Ini sejalan dengan rencana pelepasan atau spin off unit usahanya sebagaimana diwajibkan oleh OJK.
Dian mengatakan pihaknya akan mendukung langkah konsolidasi yang akan dilakukan dalam rangka pengembangan perbankan syariah Indonesia. Dalam hal ini, OJK akan mendorong terjadinya konsolidasi bank umum syariah (BUS) dan UUS untuk menjadi bank syariah baru dengan minimal total aset Rp200 triliun.
Sementara itu, Direktur Utama BTN Nixon L.P. Napitupulu sebelumnya menyebut BTN Syariah usai spin off nanti dapat menjadi BUS terbesar kedua di Indonesia berdasarkan aset. Ia mengatakan proses spin off BTN Syariah ditargetkan rampung pada semester II-2023.
Dalam proses ini, BTN telah mengirimkan surat pernyataan resmi mengenai ketertarikan atau letter of intent (LOI) untuk membeli saham Bank Muamalat Indonesia. Komisaris sekaligus pemegang saham Bank Muamalat Andre Mirza Hartawan membenarkan bahwa BTN telah mengirimkan LOI kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), sebagai pemegang saham pengendali (PSP) Muamalat.
Nantinya BTN Syariah akan melebur dengan Bank Muamalat, jika seluruh rencana berjalan dengan mulus. Andre mengatakan bahwa kehadiran BTN di Muamalat akan memperkuat bisnis bank syariah tertua ini. BTN merupakan bank pelat merah yang memiliki fokus pada pembiayaan perumahan.
Saat ini, Nixon mengaku proses akuisisi tengah sampai dalam proses uji tuntas atau due diligent. Disebutkan, BTN telah memiliki beberapa pilihan proses spin off atau pemisahan UUS menjadi Bank Umum Syariah. Salah satunya dilakukan dengan penjajakan pada beberapa bank umum syariah yang sudah ada. Proses uji tuntas tersebut diharapkan dapat selesai April 2024.
“Jadi ini sudah memenuhi syarat untuk harus spin off dan diberikan waktu maksimal 2 tahun dari November (2023), (aset) Rp 50 triliun itu sudah tembus di Oktober atau November kalau tidak salah. Jadi Oktober 2025 kami paling lambat sudah harus punya PT (perseroan terbatas),” ucap dia.
Untuk diketahui, BTN sejatinya telah mencantumkan rencana spin off itu dalam corporate strategic plan pada 2021-2025. Hal ini sejalan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2023 tentang Unit Usaha Syariah. Dalam beleid itu disebutkan, bank yang memiliki UUS dengan total nilai aset mencapai 50 persen dari total aset bank umum konvensional (BUK) induknya atau maksimal Rp 50 triliun wajib melakukan spin off serta wajib menyampaikan permohonan izin atau persetujuan paling lama 2 tahun.
Sementara itu, mengacu laporan keuangan BTN per 31 Desember 2023, aset UUS BTN telah mencapai Rp 54,3 triliun. Dengan demikian UUS BTN telah memenuhi kondisi dan persyaratan dimaksud untuk melakukan spin off.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir juga menyampaikan bahwa konsolidasi BTN dan Bank Muamalat diperkirakan bakal rampung pada Maret 2024. Erick mengatakan bahwa Kementerian BUMN sudah melakukan diskusi dengan BPKH dan Menteri Agama terkait peluang kerja sama antara BTN Syariah dengan Bank Muamalat. “Kami sudah diskusi sama BPKH dan Pak Menteri Agama, mungkin tidak kita bersinergi antara Bank Muamalat dengan BTN Syariah untuk menjadikan alternatif bank syariah yang besar,” ujar dia.
Memang, meski apabila BTN Syariah dan Bank Muamalat digabungkan, aset keduanya masih belum mencapai aset minimal Rp200 triliun sesuai harapan OJK. Namun, mencermati pertumbuhan BTN Syariah yang selalui melesat sendirian, prospek bank pasca merger akan tumbuh pesat. Aset pun akan berkembang. Tak heran jika sudah saatnya BTN memimpin konsolidasi dalam memperkuat ekosistem perbankan syariah dan juga perkembangan ekonomi syariah di Tanah Air. Untuk prospek ini, bisa dilihat landasan kinerja yang telah ditorehan BTN Syariah berikut.
Layak Pimpin Konsolidasi
Nixon L.P. Napitupulu, Direktur Utama BTN
“BTN Syariah usai spin off nanti dapat menjadi BUS (Bank Umum Syariah) terbesar kedua di Indonesia berdasarkan aset. Proses spin off BTN Syariah yang (dijalani) ditargetkan rampung pada semester kedua 2023.”
Seperti diketahui, BTN adalah rajanya KPR. Dengan tren permintaan KPR Syariah terus meningkat belakangan ini, tentu saja menjadi berkah tersendiri untuk BTN Syariah. Unit usaha syariah BTN ini membukukan lonjakan pembiayaan sepanjang tahun 2023 silam. Di saat yang sama, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) mampu mengimbangi laju kenaikan pembiayaan, sehingga rasio intermediasi (financing to deposit ratio/FDR) tetap terjaga di level ideal.
BTN Syariah mencatatkan nilai pembiayaan sebesar Rp37,1 triliun pada akhir 2023, melonjak 17,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp31,6 triliun. Pencapaian ini berdampak signifikan pada peningkatan nilai aset sebesar 19,79 persen menjadi Rp54,3 triliun pada akhir 2023 dari Rp45,3 triliun pada posisi yang sama tahun sebelumnya.
Nixon menjelaskan lonjakan bisnis BTN Syariah dipicu oleh tren di masyarakat yang menginginkan pembiayaan rumah dengan akad syariah. Permintaan tertinggi terjadi di sejumlah daerah dengan populasi muslim terbesar seperti di Provinsi Aceh, Jawa Barat, Sumatera Barat hingga Nusa Tenggara Barat (NTB).
Selain faktor keyakinan, KPR syariah diminati karena skema pembiayaannya memberikan rasa tenang dan nyaman pada nasabah. Pada KPR syariah, imbal hasil maupun besaran angsuran sudah ditetapkan sejak awal dan berlangsung sepanjang periode perjanjian. Maka itu, skema ini dinilai bisa melindungi nasabah dari risiko fluktuasi suku bunga yang dapat berubah mengikuti kondisi makro ekonomi.
Dari total pembiayaan yang disalurkan BTN Syariah, porsi KPR menyumbang 98 persen atau senilai Rp36,6 triliun per akhir Desember 2023. Produk KPR syariah bersubsidi berkontribusi Rp22,9 triliun atau sebanyak 61 persen sedangkan KPR non subsidi menyumbang Rp11,6 triliun atau mencapai 31,3 persen.
Nilai pembiayaan yang melonjak tinggi ini berhasil diimbangi dengan kenaikan DPK. Sepanjang 2023 lalu, BTN syariah mengumpulkan DPK senilai Rp41,8 triliun, melesat 41,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Menariknya, separuh dari total DPK ini berupa dana murah (current account saving account/CASA) atau senilai Rp20,9 triliun.
“Rasio CASA terus kami tingkatkan selama lima tahun terakhir, dari hanya 37 persen pada 2019 menjadi 50 persen pada 2023. Dampak positifnya, rasio biaya dana (cost of fund) berhasil kami tekan dari 6,25 persen menjadi 3,72 persen pada kurun waktu yang sama. Artinya, kami bukan hanya menjadi lebih kompetitif juga semakin sehat,” kata Nixon.
Jumlah DPK yang lebih tinggi dari nilai pembiayaan membuat FDR BTN Syariah berada di level 88,8 persen. Rasio ini menunjukkan dua hal. Pertama. manajemen mampu mengoptimalkan fungsi intermediasi. Kedua, manajemen berhasil menjaga kecukupan likuiditas di saat melakukan ekspansi.
Catatan saja, selama lima tahun terakhir, BTN Syariah terus memperbaiki angka FDR. Pada 2019 rasio intermediasi sempat mencapai 108 persen, lalu berhasil diturunkan menjadi 105 persen, 94 persen, 91 persen dan terakhir 88 persen pada 2023.
Selain makin berotot, BTN Syariah juga semakin seksi. Hal ini terlihat jelas pada indikator kualitas aset yang berhasil diperbaiki selama lima tahun terakhir. Rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) per akhir Desember 2023 hanya sebesar 2,4 persen (gross). Bandingkan dengan NPF tahun 2022 yang sebesar 3,3 persen, atau 7,6 persen jika ditarik ke posisi NPF pada tahun 2019.
Berbagai pencapaian itu berdampak signifikan ke perolehan laba bersih yang mencapai Rp702,3 miliar, atau melonjak 110,5 persen dibandingkan perolehan laba bersih tahun sebelumnya sebesar Rp333,6 miliar.
Ditinjau dari sisi manapun, BTN Syariah bukan hanya layak di spin off juga mampu menampung bank syariah lain untuk diakuisisi. “Setelah merger dan menjadi BUS, kami optimistis BTN Syariah akan tumbuh lebih pesat lagi dan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat serta berkontribusi signifikan untuk memajukan industri perbankan syariah,” kata Nixon.
Industri Syariah
Lantas bagaimana dengan kondisi industri? Untuk diketahui, selain BTN yang berencana membentuk bank syariah besar melalui konsolidasi, ada PT Bank CIMB Niaga Tbk yang berencana menjalankan pemisahan atau spin off. Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan perseroan saat ini sedang mempersiapkan lahirnya bank umum syariah baru melalui jalan spin off. Langkah spin off unit usaha syariah (UUS) menjadi bank umum syariah (BUS) memang mesti dilakukan bank seiring dengan nilai aset besar UUS CIMB Niaga saat ini. “Berdasarkan peraturan terakhir, karena aset UUS kami di atas Rp50 triliun, maka UUS CIMB Niaga spin off,” ujarnya.
Saat ini, terdapat 11 BUS dan 17 Unit Usaha Syariah (UUS) masih memiliki aset di bawah Rp40 triliun dari total 13 BUS dan 20 UUS yang beroperasi di Indonesia.
OJK pun telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 12 Tahun tentang UUS untuk mendorong UUS melakukan spin off dan berkonsolidasi dengan UUS lain. OJK juga tengah menyiapkan peraturan tentang tata kelola syariah dan surat edaran terkait manajemen risiko BUS dan UUS agar bank syariah dapat memperkuat karakteristiknya.
Menurut Dian, perbankan syariah juga perlu menciptakan produk yang menonjolkan keunikannya sehingga dapat menjadi alternatif bagi nasabah. “Produk perbankan syariah harus bisa memberikan dampak sosial dan memberi kesejahteraan bagi masyarakat sebagaimana rekomendasi dari International Islamic Financial Services Board dan berbagai literatur akademis. Produk seperti ini disebut Syariah-based product,” katanya.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) juga telah menyediakan ruang bagi perbankan syariah untuk berinovasi menciptakan produk berbasis syariah.
“Antara lain dengan diperbolehkannya pengembangan produk seperti investment account, penyertaan modal pada usaha non jasa keuangan, supply chain financing, dan cash wakaf linked deposit,” kata Dian.
Bank syariah juga bisa meningkatkan dampak sosial dari keuangan syariah dengan bersinergi dalam ekosistem syariah, menyalurkan dana sosial kepada masyarakat unbankable untuk meningkatkan inklusi keuangan, membangun sarana publik, menyediakan dana bergulir, dan menyalurkan zakat.
Roadmap Syariah
OJK sebelumnya telah merilis roadmap atau peta jalan pengembangan dan penguatan perbankan syariah 2023-2027 untuk meningkatkan daya saing di sektor perbankan syariah. Dian menjelaskan, peningkatan daya saing dan optimalisasi social value perbankan syariah menjadi pondasi utama bagi akselerasi pertumbuhan perbankan syariah.
Pada September 2023, perbankan syariah mencatat pencapaian dengan total aset Rp 831,95 triliun yaitu tumbuh 10,94 persen secara tahunan dan berkontribusi dengan pangsa pasar mencapai 7,27 persen. Total dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun sebesar Rp 637,63 triliun dengan pertumbuhan 9,26 persen secara tahunan.
Dian menguraikan hal ini mencerminkan kepercayaan masyarakat yang semakin kuat terhadap pelayanan keuangan syariah. “Selanjutnya total pembiayaan mencapai Rp 564,37 triliun tumbuh signifikan sebesar 14,66 persen dari tahun sebelumnya,” ujar dia.
Dian menguraikan hal ini mencerminkan kepercayaan masyarakat yang semakin kuat terhadap pelayanan keuangan syariah. “Selanjutnya total pembiayaan mencapai Rp564,37 triliun tumbuh signifikan sebesar 14,66 persen dari tahun sebelumnya,” ujar dia.
Namun demikian OJK mengingatkan adanya ancaman pada industri syariah. Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar menguraikan ada satu bank konvensional yang telah menjalankan konversi menjadi bank syariah. Namun, kinerjanya tidak baik. “Setelah dikonversi (menjadi syariah) pertumbuhan kredit dan DPK (dana pihak ketiga) malah turun dibandingkan sebelumnya (konvensional),” kata Mahendra.
Menurut dia, kinerja jeblok setelah konversi itu terjadi karena bank yang menjalankan konversi hanya dilandaskan pada aspek formalitas dan status bank itu sendiri.
Oleh karena itu, dia mendorong agar dalam menjalakan konsolidasi bank termasuk konversi dari bank konvensional menuju bank syariah, bank perlu fokus terhadap pengembangan bisnis. Apalagi menurutnya tantangan utama perbankan syariah tidak hanya soal literasi dan inklusi, tetapi layanan dan inovasi produk berbasis syariah. ***