Kecenderungan mencari pendanaan di luar negeri yang sudah berlangsung lima tahun belakangan dinilai sudah mengkhawatirkan. Jika nilai tukar rupiah anjlok seperti yang terjadi pada 1997, maka perekonomian bisa terperosok seperti yang terjadi pada krisis moneter 97-98.
Untuk menghindari risiko yang bisa menerpa perekonomian, Bank Indonesia, Oktober lalu, menerbitkan aturan mengenai Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank.
Mencari pinjaman berdenominasi valuta asing memang sesuatu yang lumrah apalagi ketika perusahaan melihat suku bunga yang ditawarkan di luar negeri lebih murah dibanding dalam negeri.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, jumlah utang valas swasta terus meningkat tajam bahkan saat ini melebihi jumlah utang luar negeri pemerintah. Peningkatan utang swasta tanpa disertai dengan manajemen risiko yang baik berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian nasional, seperti yang terjadi pada krisis 1997/1998.
Kondisi ini menyebabkan korporasi peminjam utang swasta di Indonesia menghadapi risiko nilai tukar, likuiditas, dan overleverage yang cukup besar. Oleh karena itu, korporasi perlu memperhatikan prinsip kehati-hatian untuk memitigasi berbagai risiko tersebut.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Bank Indonesia (BI) menerbitkan PBI No. 16/20/PBI/2014. Dalam aturan tersebut prinsip kehati-hatian yang digarisbawahi oleh BI dengan menerapkan pemenuhan rasio lindung nilai atau hedging. Hal itu dilakukan untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang akan timbul akibat fluktuasi harga di pasar keuangan.
Selanjutnya, dalam aturan itu juga, perusahaan diwajibkan menerapkan rasio likuiditas yaitu rasio antara total aset valas terhadap kewajiban valas, dan juga melakukan pemeringkatan utang (credit rating) yaitu suatu penilaian yang dilakukan oleh Lembaga Pemeringkat untuk menggambarkan kondisi keuangan perusahaan atau kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibabnya secara tepat waktu (credit worthiness).
Korporasi nonbank yang memiliki utang dalam valuta asing wajib memenuhi rasio lindung nilai minimum tertentu dengan melakukan lindung nilai valas terhadap rupiah. Rasio lindung nilai minimum tertentu ditetapkan sebesar 25 persen dari selisih negatif antara aset valas terhadap kewajiban valas dan selisih negatif antara valas terhadap kewajiban valas. Sementara untuk rasio likuiditas minimum tertentu ditetapkan paling rendah sebesar 70 persen.
Transaksi lindung nilai dilakukan dalam bentuk transaksi derivatif valas terhadap rupiah berupa transaksi forward, swap atau option. Hedging harus direalisasikan sampai dengan 3 bulan ke depan atau lebih dari 3 sampai 6 bulan ke depan, sejak akhir triwulan (31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember).
Transaksi forward adalah transaksi jual atau beli valas terhadap Rupiah yang penyerahan dananya dilakukan lebih dari 2 hari kerja setelah tanggal transaksi. Sedangkan transaksi swap adalah transaksi valas terhadap rupiah melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan counterparty yang sama dan pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Sementara transaksi option adalah suatu perjanjian atau kontrak antara penjual opsi (seller atau writer) dengan pembeli opsi (buyer), di mana penjual opsi menjamin adanya hak (bukan suatu kewajiban) dari pembeli opsi untuk membeli atau menjual aset tertentu pada waktu dan harga yang telah ditetapkan.
Contohnya, pada tanggal 31 Maret 2016, PT ABC memiliki aset lancar dalam valas sebesar 40.000 dolar AS yang terdiri dari giro sebesar 10.000 dolar AS dan deposito 30.000 dolar AS. Selain itu, PT ABC memiliki kewajiban valas yang akan jatuh waktu sampai 3 bulan ke depan sebesar 100.000 dolar AS dan tidak memiliki kewajiban valas yang akan jatuh waktu lebih dari 3 bulan sampai 6 bulan ke depan.
Bagaimana perhitungan pemenuhan ketentuan rasio lindung nilai minimum? Pertama, perhitungan pemenuhan rasio lindung nilai minimum untuk jangka waktu lebih dari 3 bulan-6 bulan ke depan. Dalam hal ini, PT ABC tidak wajib melakukan lindung nilai karena tidak memiliki selisih negatif antara aset valas dan kewajiban valas.
Kedua, perhitungan pemenuhan rasio lindung nilai minimum untuk jangka waktu sampai dengan tiga bulan ke depan. PT ABC memiliki selisih negatif antara aset valas dan kewajiban valas sebesar 40.000 dolar AS dikurang 100.000 dolar AS sama dengan minus 60.000 dolar AS. Sehingga untuk memenuhi ketentuan rasio lindung nilai minimum, PT ABC wajib melakukan lindung nilai sebesar: 25 persen dikali 60.000 dolar AS sama dengan 15.000 dolar AS.
Dalam kasus ini, PT ABC wajib melakukan lindung nilai paling sedikit sebesar 15.000 dolar AS dengan tanggal transaksi antara 1 Januari sampai dengan 31 Maret 2016 dan tanggal valuta antara 1 April 2016 sampai dengan 30 Juni 2016, guna memenuhi ketentuan rasio lindung nilai minimum sampai dengan 3 bulan ke depan.
Selanjutnya, korporasi nonbank yang melakukan pinjaman dalam valas wajib memenuhi peringkat utang (credit rating) paling kurang setara BB yang dikeluarkan oleh Lambaga Pemeringkat yang diakui oleh otoritas yang berwenang.
Contoh, peringkat utang setara BB yang dikeluarkan oleh Standard & Poor’s (S&P) adalah setara dengan Ba yang dikeluarkan oleh Moody’s Investor Service atau setara idBB yang dikeluarkan oleh Pefindo. Peringkat utang BB sendiri mencakup BB-, BB, dan BB+ (S&P) atau setara Ba1, Ba2, dan Ba3 (Moody’s) atau setara idBB-, idBB, dan idBB+ (Pefindo).
Masa berlaku peringkat utang (credit rating) atas korporasi (issuer rating) dan/atau surat utang (issue rating) paling lama satu tahun setelah peringkat tersebut diterbitkan dan/atau ditetapkan. Nah, apabila korporasi akan melakukan utang valas dengan menerbitkan surat utang berjangka panjang, maka peringkat utang yang harus disampaikan adalah peringkat utang jangka panjang.
Pengecualian & Sanksi
Dalam aturan ini, kewajiban pemenuhan prinsip kehati-hatian dikecualikan bagi utang dalam valas yang berupa utang dagang (trade credit). Utang dagang adalah utang yang timbul dalam rangka kredit yang diberikan oleh supplier luar negeri atas transaksi barang atau jasa.
Pengecualian juga untuk kewajiban pemenuhan ketentuan minimum peringkat utang, yakni utang dalam valas yang merupakan refinancing dan utang dalam valas dari kreditor lembaga internasional (bilateral/multilateral) terkait pembiayaan proyek infrastruktur.
Utang dalam valas yang merupakan refinancing adalah utang luar negeri valas yang digunakan untuk menggantikan utang sebelumnya dengan persyaratan (terms and condition) yang lebih baik dengan jumlah yang sama (tidak menambah outstanding utang luar negeri).
Semua laporan penerapan, pelaksanaan dan pengecualian beserta dokumen pendukung (laporan keuangan lengkap baik secara triwulan maupun tahunan) terkait penerapan prinsip kehati-hatian yang dilakukan korporasi nonbank, wajib disampaikan ke pihak Bank Indonesia.
Dalam aturan ini juga ada pasal yang menjelaskan soal sanksi. Bagi korporasi nonbank yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban prinsip kehati-hatian seperti tertera pasal demi pasal di PBI tersebut, dikenakan sanksi admisnistratif berupa teguran tertulis.
BI akan menyampaikan informasi pengenaan sanksi administratif tersebut ke pihak-pihak terkait, yaitu kreditor yang bersangkutan di luar negeri; Kementerian BUMN (bagi korporasi BUMN); Kementerian Keuangan (c.q Ditjen Pajak); Otoritas Jasa Keuangan (OJK); Bursa Efek Indonesia (BEI) bagi korporasi publik yang tercatat di BEI.
Soal berlakunya ketentuan PBI ini, untuk periode 1 Januari 2015-31 Desember 2015, rasio lindung nilai dan rasio likuiditas valas ditetapkan masing-masing sebesar 20 persen dan 50 persen untuk memberikan kesempatan bagi korporasi nonbank melakukan penyesuaian dalam mengelola risiko, termasuk ketersediaan lindung nilai.
Kemudian, ketentuan mengenai pemenuhan peringakat utang (credit rating) berlaku bagi ULN yang ditandangani atau diterbitkan sejak tanggal 1 Januari 2016. Sementara, ketentuan mengenai sanksi berlaku sejak laporan triwulan ketiga tahun 2015.