Apakah risiko likuiditas tahun ini lebih berbahaya dengan yang pernah terjadi di tahun 2008-2009 saat dampak krisis subprime mortgage terjadi, dan 2001- 2002, saat krisis karena kasus Enron?
Menurut hemat kami, masing-masing krisis tersebut berbeda magnitude-nya. Yang menyamakan adalah dalam setiap kondisi krisis maka risiko likuiditas selalu menjadi prioritas utama untuk diselesaikan. Risiko likuiditas yang terjadi tahun ini lebih banyak dipengaruhi adanya kebijakan pemerintah dan regulator dalam pengendalian moneter, terutama dalam rangka menekan defisit neraca berjalan, pegendalian inflasi dan pengelolaan nilai tukar melalui berbagai kebijakan antara lain dengan menerapkan batasan LDR, penetapan maksimum pemberian suku bunga simpanan bank dan lain-lain.
Apakah risiko likuiditas sekarang ini lebih disebabkan dari pendanaan (funding liquidity) atau pasar (market liquidity)?
Saat ini keduanya terjadi bersamaan, di mana funding liquidity risk perbankan menyebabkan adanya market liquidity risk. Funding liquidity risk dapat dilihat dari tingginya angka loan to deposit ratio (LDR) industri perbankan yang berkisar antara 95 persen – 100 persen, di atas ketentuan Bank Indonesia yang mengharuskan bank-bank memelihara LDR maksimal sebesar 92 persen.
Sementara itu, juga terdapat market liquidity risk akibat pengetatan likuiditas dan kebijakan moneter yang dikeluarkan pemerintah. Beberapa bank pesaing kami memiliki LDR sampai 105 persen, sementara Bank Mandiri konsisten menjaga LDR pada level di bawah 90 persen. Hal ini menyebabkan terjadinya perebutan dana pihak ketiga, terutama oleh bank-bank yang memiliki LDR cukup tinggi, untuk mengelola risiko likuiditas dan menjaga LDR sesuai ketentuan Bank Indonesia.
Apakah risiko likuiditas sudah terasa dalam harga-harga aset di Indonesia?
Kondisi likuiditas pasar akan berdampak pada harga-harga aset yang ada di pasar. Pada kondisi likuiditas pasar yang ketat, pelaku pasar cenderung akan menjual aset-asetnya keuangannya sehingga harga aset akan turun. Sebaliknya, apabila kondisi pasar cukup likuid maka permintaan akan aset tersebut akan meningkat dan berdampak pada meningkatnya harga aset.
Pada pertengahan tahun 2013, ketika The Fed mengumumkan rencananya untuk mulai mengurangi stimulus quantitative easing, diperkirakan hal tersebut akan mengurangi supply likuiditas valuta asing di Indonesia sehingga terjadi penjualan asset dan penurunan harga yang cukup signifikan. Demikian juga IHSG pada periode Mei sampai Agustus 2013 sempat melemah hingga mendekati 24 persen dari level 5.201 ke level 3.968. Sementara itu harga surat berharga pemerintah (SBN) pada periode yang sama juga mengalami penurunan tajam. Harga SBN bertenor 3 tahun dan 10 tahun terkoreksi 10,1 persen dan 18,1 persen menjadi 94,83 dan 109,3.
Pada tahun 2014 posisi IHSG dan harga SBN tersebut mulai kembali meningkat, meski sempat terjadi volatilitas seiring memanasnya kondisi politik di dalam negeri. IHSG selama periode Januari sampai Oktober telah menguat 17,7 persen, sedangkan harga SBN 3 tahun dan 10 tahun menguat 1,7 persen dan 3,5 persen menjadi 97,05 dan 112,5.
Penguatan harga-harga aset di dalam negeri didorong oleh tingginya ekspektasi terhadap kinerja pemerintahan yang baru.
Di tengah kenaikan harga-harga aset pada 2014 tersebut, bank harus terus waspada karena masih ada kemungkinan terjadi penurunan kembali apabila terjadi pengetatan likuiditas pasar di mana pemerintah menerbitkan surat utang untuk menutup defisit neraca berjalan, sementara pemerintah AS merealisasikan pengurangan stimulus quantitative easing.
Apakah sudah ada pemindahan aset baik di dalam negeri maupun pelarian modal ke luar negeri, yang menjadi pemicu kekeringan likuiditas di pasar dalam negeri?
Secara umum, kami tidak melihat adanya pemindahan aset maupun pelarian modal ke luar negeri. Sebaliknya, sepanjang tahun 2014 terjadi arus modal asing masuk ke pasar saham dan SBN. Pada periode Januari sampai Juli total inflow di pasar saham dan SBN mencapai Rp 151,6 triliun atau sekitar 12,6 miliar dollar AS). Sementara capital outflow terjadi sepanjang Agustus sampai awal Oktober, seiring kondisi politik di dalam negeri yang memanas sebesar Rp14 triliun dan di pasar SBN sebesar Rp 6,5 triliun. Dengan demikian secara keseluruhan masih terdapat net inflow.
Seiring kondisi politik yang mulai stabil pasca pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, ada potensi untuk terjadi arus modal asing masuk ke pasar modal di dalam negeri hingga akhir tahun 2014 ini.
Bagaimana seharusnya manajemen perbankan merespons risiko ini dalam praktik manajemen likuiditas di banknya?
Likuiditas adalah darah bagi bank sehingga dalam kondisi apapun bank harus cukup darah agar bisa hidup dengan sehat dalam berbagai kondisi ekonomi baik normal maupun kondisi yang berfluktuasi. Sebagaimana ketentuan dalam Basel III mengenai risiko likuiditas, bank sebaiknya mulai menyiapkan diri untuk implementasi Basel III. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola likuiditas.
Pertama, Bank harus meningkatkan sumber dana yang stabil dan mengurangi ketergantungan pada sumber pendanaan korporasi yang umumnya cenderung volatile sehingga dapat mengganggu stabilitas likuiditas bank. Komposisi pendanaan yang bersumber dari dana retail yang lebih stabil, misalnya rekening yang digunakan untuk operasional usaha nasabah, pembayaran gaji, pembayaran tagihan-tagihan, dsb.
Kedua, bank harus memiliki high quality liquid asset (HQLA) yang dapat meng-cover kebutuhan likuiditas dalam kondisi krisis, minimal selama periode 30 hari. HQLA adalah aset-aset yang dalam kondisi krisis (bank specifik maupun market stress) dapat dengan mudah dan cepat dikonversi menjadi kas dengan sedikit atau tanpa pengurangan nilai yang berarti, baik dengan cara penjualan ataupun repo.
Ketiga, selain dari primary dan secondary reserve, bank harus memiliki sumber likuiditas (liquidity buffer) tambahan yang dapat digunakan pada saat kondisi likuiditas semakin ketat. Buffer likuiditas ini sering disebut sebagai contingency funding. Sumber likuiditas ini bentuknya bisa pinjaman bilateral yang bersifat standby loan, ataupun aktiva likuid yang bisa segera dikonversi menjadi sumber likuiditas.
Bagaimana seharusnya otoritas (BI dan OJK) merespons ancaman kekeringan likuiditas ini agar tidak mengganggu target pertumbuhan ekonomi?
BI dan OJK seharusnya bertindak secara seimbang dalam mengatur likuiditas pasar. Apabila likuiditas pasar ketat dalam kurun waktu yang relatif lama, sementara saat ini LDR bank-bank cenderung sudah tinggi, maka ekspansi bisnis bank bisa terganggu khususnya dalam hal penyaluran kredit. Apabila bisnis tersebut tidak tumbuh sesuai rencana maka pada gilirannya tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia mungkin tidak setinggi yang diharapkan.
Untuk mengantisipasi hal ini, salah satu hal yang dapat dilakukan oleh BI dan OJK adalah mendefinisikan ulang pengertian likuiditas dalam formula LDR yang digunakannya. Saat ini, LDR hanya memperhitungkan DPK sebagai sumber likuiditas bank, sedangkan pada praktiknya bank-bank memiliki sumber pendanaan di luar DPK seperti dari pinjaman bilateral atau penerbitan obligasi yang juga dapat dimanfaatkan untuk membiayai kredit, namun tidak tertangkap dalam ukuran LDR. Apabila sumber pendanaan selain DPK ini diperhitungkan sebagai komponen likuiditas maka bank-bank dapat lebih leluasa melakukan ekspansi kredit dan mengurangi persaingan bank-bank dalam memperebutkan dana pihak ketiga.
Efektifkah permintaan otoritas (moral suasion) agar bank-bank tidak menawarkan bunga simpanan yang terlalu tinggi pada nasabahnya?
Setelah pemberlakuan permintaan OJK tersebut, kondisi likuiditas pasar tidak terlalu banyak berubah. Salah satu indikasinya adalah volume pasar uang antarbank Rupiah yang relatif stabil di kisaran Rp300 triliun. Di sisi lain, himbauan OJK tersebut telah efektif mengurangi persaingan suku bunga dana sehingga mulai terjadi penurunan biaya dana pihak ketiga. Meski demikian kami mempunyai masukan, sebaiknya maksimum suku bunga pada bank Buku 4 dan Buku 3 disamakan aturannya, karena pada kenyataannya bisnis model dan jaringan antara Bank buku 4 dan buku 3 tidak jauh berbeda.
Kondisi likuiditas Bank Mandiri sendiri seperti apa?
Kondisi likuiditas Bank Mandiri, baik rupiah maupun valas, sampai dengan saat ini masih aman. Bank Mandiri senantiasa menjaga primary reserve (kas dan GWM) sesuai ketentuan regulator, serta memelihara secondary reserve yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bisnis dan pertumbuhan kredit sesuai rencana bisnis bank yang telah ditetapkan sebelumnya. Di samping itu, kami juga memiliki contingent liquidity sources yang dapat digunakan apabila sewaktu-waktu dihadapkan pada kondisi krisis.
***