JAKARTA, Stabilitas – Pertumbuhan nilai transaksi pasar fintech Indonesia saat ini diproyeksikan tumbuh 16,3 persen per tahun dan pada tahun 2018 diperkirakan nilai transaksi mencapai 22,34 juta dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp324 milyar. Hal ini menggambarkan betapa besarnya potensi pasar dalam meningkatkan perekonomian Indonesia yang dapat diwujudkan dengan membantu permodalan bagi UMKM. Hal ini disampaikan Pendiri sekaligus CEO PT Amartha Mikro Fintek, Andi Taufan Garuda saat ditemui di Jakarta, Selasa, 11 Desember 2018.
“Sejak pertama berdiri, Amartha terus berkomitmen untuk menghubungkan para pengusaha mikro unbanked dengan para investor yang ingin berpartisipasi di sektor pendanaan yang lebih menguntungkan dan bernilai sosial,” ujar Andi.
Dirinya menambahkan, keunikan lain terletak apada pengusaha mikro atau mitra Amartha yang seluruhnya adalah perempuan.
“Dalam setahun terakhir ini ada peningkatan yang cukup signifikan baik dari jumlah mitra maupun total dana yang disalurkan,”tambah Andi.
Sampai tahun 2018, tercatat lebih dari 152.000 perempuan pelaku usaha mikro di pelosok Indonesia telah menjadi mitra perusahaan peer to peer lending (P2P) ini. Jumlah mitra tersebut meningkat sebanyak 117 persen dari tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 70.000 mitra. Sedangkan total dana yang sudah distribusikan Amartha lebih dari Rp635 milyar, meningkat lebih dari 200 persen dari tahun 2017 sebesar Rp200 milyar.
“Kita memilih perempuan untuk menjadi fokus utama penyaluran dana karena sekitar 51 persen udaha kecil dan 34 persen usaha menengah dijalankan oleh perempuan dan kami ingin mengurangi ketimpangan pendapatan di pedesaan” papar Andi.
Dalam kesempatan yang sama, Project Leader umkmindonesia.id, Dewi Meisari Haryanti menambahkan, UMKM khususnya Usaha Mikro di Indonesia memang memiliki bidang usaha yang feasible, suistainable, namun stagnan.
“Penyebabnya adalah karena sulitnya akses modal untuk mengembangkan usaha karena pola transaksi mereka yang kecil-kecil, sering dan berputar cepat sehingga sulit tercapai akumulasi laba”ujar Dewi.
Ia mengatakan, selain sulitnya akses modal, peraturan OJK yang mewajibkan minimum portofolio pinjaman perbankan 20 persen belum berjalan dengan baik,sehingga kondisi ini memberikan ruang untuk inovasi, fintech p2p lending menjadi salah satu yang memiliki potensi besar dalam menghadirkan inklusi keuangan.