JAKARTA, Stabilitas.id – Polis asuransi dan tertanggung menunjukkan tren peningkatan pascapandemi COVID-19. Tren ini terus berlanjut dari tahun ke tahun hingga akhir 2023. Hal itu diungkapkan Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon dalam acara AAJI Media Workshop di Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Budi mengungkapkan jumlah polis perseorangan hingga Septembr 2023 mencapai 27,8 juta. “Jumlah tersebut masih bisa meningkat, lantaran data yang disampaikan barus sampai periode Januari-September 2023. Angka ini saja bahkan sudah lebih tinggi dari 2022 dengan 27,7 juta polis dan 2021 dengan 17,7 juta polis,” ujar Budi.
Budi menambahkan, tren serupa terjadi pada pemegang polis dari perkumpulan. Jumlahnya di periode Januari-September 2023 mencapai 1,9 juta polis atau lebih tinggi dari tahun sebelumnya dengan 1,4 juta orang.
BERITA TERKAIT
Kemudian, jumlah tertanggung dari perorangan juga naik menjadi 28,5 juta orang per September 2023 dibanding keseluruhan 2022 dengan 28,4 juta orang. Jumlah tertanggung dari perkumpulan meroket menjadi 66,7 juta orang per September 2023.
“Angka itu lebih tinggi dari tahun sebelumnya 57,1 juta orang. Ini menunjukkan industri asuransi jiwa tetap bertumbuh ke arah yang lebih baik di tengah masa pemulihan ekonomi yang masih fluktuatif,” kata Budi.
Pada kesempatan itu, Budi mengungkapkan tantangan sektor asuransi di 2024. Sejumlah regulasi dan peraturan menjadi perhatian sektor tersebut.
“Tantangannya adalah permodalan karena di pengujung 2023 ada ‘kado’ berupa peraturan perasuransian yang dikeluarkan,” ujar Budi.
Budi merujuk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Beleid yang akan mulai efektif berlaku pada 2026 itu mengatur modal disetor untuk perusahaan asuransi dan reasuransi yang baru didirikan.
“Jadi harus ada tambahan modal sesuai peraturan dan membawa kewajiban pada perusahaan asuransi jiwa dan umum untuk meningkatkan ekuitas,” jelasnya.
Tantangan kedua, yakni terkait spin-off bagi asuransi yang punya unit usaha syariah. Penyedia jasa wajib menambah modal anak perusahaan syariah yang akan di-spin off paling lambat 2026.
“Ketiga, penerapan IFRS-17/PSAK-74 yang dampaknya ke ekuitas perusahaan dan ada kemungkinan laba yang diakui perusahaan lebih kecil,” tutur Budi.
Menurut Budi, perbedaan hasil laba itu lantaran sistem perhitungan yang berbeda. Misalnya ekuitas perusahaan dihitung dengan cara ABC saat ini. Pemberlakuan PSAK-74 membuat ekuitasnya dihitung dengan cara XYZ.
“Kalau hanya jadi lebih kecil tapi positif, itu cukup pusing. Tapi bayangkan kalau jadi negatif, itu menggerus ekuitas yang sebelumnya. Jadi dalam dua, tiga, empat tahun ke depan butuh tambahan modal,” pungkas Budi.
Penetrasi Masih Rendah
Kendati pertumbuhan polis meningkat pesat, angka densitas dan penetrasi asuransi Indonesia masih terbilang rendah dan menjadi salah satu yang terendah di kawasan ASEAN. Adapun densitas asuransi merupakan ukuran rata-rata pendapatan masyarakat uang disisihkan untuk produk asuransi dalam satu tahun, sedangkan penetrasi asuransi adalah dana industri asuransi yang dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB).
Komisaris Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani mengatakan berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan ASEAN Insurance Surveillance Report 2022, penetrasi asuransi di Indonesia masih berada pada level 2,7 persen lebih rendah dari Singapura 12,5 persen, Malaysia 3,8 persen, Thailand 4,6 persen.
“Densitas asuransi di Indonesia pada akhir 2022 berada pada level Rp1.923.380. OJK menargetkan densitas asuransi Rp2.400.000 rupiah pada 2027,” kata Aviliani dalam acara AAJI Media Workshop tersebut.
Aviliani menambahkan, industri asuransi berperan signifikan bagi perekonomian. Industri itu mendukung perkembangan sektor keuangan ainnya, khususnya perbankan.
“Industri asuransi menempatkan sebagian portofolionya di sektor perbankan sehingga mendukung penyaluran kredit. Kontribusi Aset Asuransi terhadap Aset Sektor Keuangan Meningkat dari 7,61 persen (2016) ke 9,82 persen (September 2023),” ujar Aviliani.
Menurutnya, perlu adanya dorongan untuk meningkatkan densitas dan penetrasi asuransi Indonesia yang terbilang masih rendah tersebut.
Meski demikian, lanjut Aviliani, industri asuransi di Indonesia memiliki peluang yang cukup besar. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar dan didominasi kelas menengah.
Selain itu, peluang investasi melalui sistem unit link dengan maksimalisasi digital (Insurance Technology/InsurTech) yang sejalan dengan mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018.
“Kemudian, meningkatkan jangkauan asuransi ke sektor informal dan perdesaan, serta pengalaman dari pandemi COVID-19 yang mendorong peningkatan perhatian terhadap kesehatan juga menjadi peluang bagi industri asuransi agar terus tumbuh,” kata Aviliani.***