MALANG tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Pemerintahan sekarang bisa dibilang terkena syndrome pepatah itu, terutama di sisi pengelolaan anggaran. Selama dua tahun berjalan, tantangan berat fskal tak hentihentinya menghadang. Ketika Presiden Joko Widodo memasuki kantor Kepresidenan menjelang akhir 2014, pemerintahannya sudah berjanji akan mendorong sektor infrastruktur dan mematok pertumbuhan tinggi. Namun, setahun berjalan, dua janji itu tak pernah kesampaian. Yang ada, pertumbuhan melemah dan pembangunan infrastruktur berjalan lamban.
Di sisi lain, anggaran pemerintah empot-empotan, penerimaan melorot karena ekspor anjlok dan pemungutan pajak tak beranjak. Sementara pengeluaran negara melonjak karena kebutuhan pembangunan dan rutinitas pemerintahan. Mulai saat ini pemerintah pun jadi rajin menerbitkan surat utang sekaligus melakukan efsiensi.
Masuknya Sri Mulyani Indrawati ke kantor lamanya di Lapangan Banteng Jakarta, makin membuat kecenderungan itu menjadi. Apalagi pemerintah punya kebijakan yang tengah jadi idola: pengampunan pajak. Selain itu, Pemerintah juga punya Paket Kebijakan Ekonomi, yang sudah mencapai 13 jilid yang memiliki cakupan luas, mulai pembenahan iklim investasi hingga pengaturan sektor properti. Akan tetapi, strategi itu memiliki konsekuensi yang tak bisa dihindari yaitu anggaran yang makin tak seimbang.
“Saat ini kondisi fskal kita agak mengkhawatirkan, per akhir Agustus keseimbangan primer sudah tembus ke angka negatif Rp145,8 triliun. Realisasi ini bahkan sudah lebih tinggi dari proyeksi keseimbangan primer dalam APBN-P 2016 sebesar minus Rp105,5 triliun, ” kata Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Ecky Awal Mucharam.
Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja negara yang tidak termasuk pembayaran cicilan utang dan bunganya. Keseimbangan itu menjadi indikator yang tepat untuk menilai kesehatan keuangan negara, sebab hal ini menunjukan seberapa kuat pemerintah dapat membiayai sendiri pengeluarannya. Ketika keseimbangan primer negatif berarti pemerintah hanya bertahan dari utang yang satu ke utang yang lain, tetapi lambat laun kemampuan melunasi utang makin menurun.
Kekhawatiran ini ada benarnya. Karena kalau ditilik ke belakang, secara umum kesehatan keuangan negara di era Jokowi masih memprihatinkan. Sebagai catatan, keseimbangan primer pada periode yang sama dua tahun sebelumnya adalah sebesar minus Rp20,8 triliun di 2014 dan minus Rp89,3 triliun di 2015. Itu artinya trennya terus memburuk.
Pengamat ekonomi dari Partai Demokrat, Ikhsan Modjo punya kekhawatiran yang sama. Ia mengatakan, kondisi fskal Indonesia jika dibandingkan 2014 dan 2015 makin memprihatinkan. Penerimaan semakin jauh di bawah target, sementara belanja negara tak pernah berkurang. Defsit sampai akhir tahun bisa mencapai Rp450 triliun atau 4,1 persen dari PDB. Ini bisa membuat pemerintah dimakzulkan akrena telah melanggar batas defsit sebesar 3 persen seperti yang diamanatkan undang-undang.
Soal kebijakan pengampunan pajak, Ikhsan mengatakan hal itu tak lebih sekadar upaya sementara dari persoalan APBN yang sudah kritis akibat asumsi penerimaan negara yang tidak realistis. Dengan kebijakan fskal yang timpang, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi yang juga dinilai oleh sejumlah kalangan tidak realistis. Oleh karena penerimaan negara saat ini semakin jauh di bawah target, sementara belanja cenderung meningkat.
Sementara itu, pengamat ekonomi Firmanzah mengatakan, dengan tren pengelolaan anggaran yang sedang berlangsung saat ini, bukan tidak mungkin defsit APBN tembus 3 persen dari PDB alias gagal fskal. “Yang diperlukan market adalah sinyal. Jika ngotot mematok pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, akan berisiko market tidak percaya. Mereka tidak mengambil tindakan apapun, dan ini berbahaya bagi perekonomian,” ujar mantan Dekan FEUI ini.
Soal pembangunan infrastruktur yang menyerap banyak anggaran, Firmanzah mengatakan tidak akan menghasilkan perubahan dalam jangka pendek. Pada 2015 pemerintah tetap mempertahankan asumsi pertumbuhan tinggi sebesar 5,7 persen, tetapi di akhir tahun hanya terealisasi 4,8 persen. Tahun ini, pemerintah bersikukuh mematok pertumbuhan di atas 5 persen.
“Pemerintah harus realistis, asumsi wajib diturunkan menjadi 4,9 persen,” ungkap doktor lulusan Monash University itu.
Sesuai Jalur
Namun begitu, tak semua ekonom atau pengamat yang menganggap pengelolaan fskal saat ini berada di jalur yang salah. Bahkan ada beberapa terobosan pemerintah di sektor fskal yang patut diacungi jempol. Di antaranya adalah terobosan fskal terkait insentif pajak, penyaluran dana desa, hingga alokasi belanja transfer daerah yang lebih besar dari Kementerian/Lembaga. Kebijakan-kebijakan tersebut diakui berdampak positif bagi perekonomian. Demikian diungkapkan Ekonom Senior Kenta Institute Eric Sugandi.
Akan tetapi di atas semua itu, posisi Menteri Keuangan menjadi kunci terkait kondisi fskal nasional. Ketika Menkeu masih dijabat Bambang PS Brodjonegoro, pos Lapangan Banteng sudah berusaha melakukan kebijakan fskal secara terarah dan efektif, sehingga ekonomi mampu rebound mulai kuartal ketiga 2015. “Meskipun pada awal-awal masa jabatannya, ada beberapa target yang belum tercapai,” kata Eric.
Memang, seperti diakui dia, pada awal-awal masa jabatan Bambang penyerapan anggaran kurang terselenggara dengan baik. Namun itu bukan sepenuhnya kesalahan mantan Wakil Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini mengingat serapan anggaran lintas kementerian.
Senada dengan Eric, Ekonom dari Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty mengatakan, kondisi fskal Indonesia terlalu luas untuk dikatakan bertentangan dengan Program Nawacita yang sudah didengungkan Presiden Jokowi.
Namun dia juga menggarisbawahi bahwa terkadang kesalahan menteri kabinet kerja memang dicari menjelang perombakan kabinet. “Kita harus bisa memilih-milih, mana informasi yang benar mana yang tidak. Padahal juga kan sudah mengamanahkan kepada menterinya untuk menerapkan nawacita. Meskipun penerapannya tidak bisa 100 persen. Karena kan berat-berat realisasinya,” ujar Telisa.
Sejauh ini, Telisa menilai kebijakan fskal yang dikeluarkan oleh Kementerian keuangan sudah sesuai jalur. Meskipun dalam Nawacita sendiri belum semuanya terpenuhi lantaran memang kondisi domestik yang tidak terlalu mendukung. Seperti misalnya kemandirian keuangan yang ada dalam konsep Nawacita.
Sementara itu, Bank Indonesia juga membela pemerintah dengan mengatakan tidak ada masalah dengan kebijakan fskal. Gubernur BI Agus DW. Martowardojo mengungkapkan selama 12 tahun terakhir kondisi fskal Indonesia tak pernah bermasalah. Hal tersebut ia nyatakan menanggapi berbagai diskusi yang meragukan kondisi fskal Indonesia.
“Terlalu banyak diskusi yang meragukan fskal seperti penerimaan pajak engga besar. Kita sudah dengar pemerintah akan disburse anggaran, supaya penyerapan tinggi, kita akan lihat, tapi 12 tahun terkahir Indonesia enggak ada masalah dengan fskal,” ucapnya dalam sebuah kesempatan.
Agus mengatakan, pemangku kepentingan di Indonesia telah memiliki aturan defsit anggaran yang jika ada peningkatan defsit, Pemerintah bersama DPR dan BI akan selalu berkoordinasi. Sehingga secara fskal, Indonesia tidak mengalami masalah.
Di sisi lain, kepercayaan asing pun dinilai masih baik, tercermin dari aliran modal asing yang masuk ke Indonesia sejalan dengan keberhasilan tax amnesty tahap pertama. Kendati nilai tukar rupiah masih berfluktuasi, dan pertumbuhan ekonomi belum stabil, Agus mengatakan hal itu lebih karena besarnya tekanan dari luar yang menyebabkan permintaan komoditas menurun dan membuat harganya anjlok.
***