Di era digital yang terus berkembag, ada tantangan berat bagi para pemimpin digital dalam pengelolaan sumber daya manusia di perusahaannya. Utamanya adalah meningkatkan value dari karyawan yang banyak tergolong milenial ini agar bisa menjadi pemimpin dengan mindset digital di masa datang.
Oleh Romualdus San Udika
Salah satu tantangan organisasi ketika zaman berganti dari analog kepada digital adalah munculnya generasi-generasi tanggap teknologi yang bahkan tidak bisa hidup tanpanya. Kelompok orang-orang yang kerap disebut generasi Y dan juga muncul pula generasi setelahnya yang disebut milenial, memiliki bakat-bakat yang mengagumkan terkait penggunaan teknologi.
Di sisi lain, pengelolaan generasi-generasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan. Hal itu terkait citra yang melekat pada mereka yang disebut-sebut cenderung menjadi ‘kutu loncat’, dan memiliki loyalitas yang minim kepada perusahaan.
Kondisi itu tentu memaksa pemimpin perusahaan untuk berpikir keras mencari solusi menyelamatkan keberlangsungan usahanya dengan strategi human resources yang jitu. Dan ditambah lagi dengan mempersiapkan mereka menjadi penerus pemimpin di perusahaannya nantinya.
Tantangan sekaligus tugas tersebut dipahami betul oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perbankan. Salah satunya Bank BNI. Bank yang tengah gencar bertransformasi ini, karena didorong oleh pemegang saham dan juga oleh pandemi ini, memang sudah sedari awal menginginkan perusahaannya menjadi tempat kebanggaan karyawan untuk berkarya dan berprestasi. Bersama dengan visi BNI menjadi Menjadi lembaga yang unggul dalam layanan dan kinerja, hal tersebut diturunan menjadi sebuah strategi employee value proposition (EVP). Strategi itu semacam penghargaan kepada pegawai yang bisa memberikan nilai tambah kepada perusahaan dengan kompetensi, skillset dan performa yang mereka miliki.
Untuk mendukung strategi itu, BNI menyiapkan kebijakan terkait highly engagement employee dan highly productive employee. “Untuk mencapai highly engagement employee, yang harus disediakan atau dibangun di dalam organisasi adalah leadership yang jelas, pelatihan leadership, karier yang pasti, reward and punishment seperti apa, kualifikasi, performa manajemen, dan seterusnya,” kata Afien Yuni Yahya, Chief Learning Officer BNI.
Kemudian di sisi highly product employee, sambung dia membutukan bisnis proses yang didukung oleh teknologi, organisasi yang support dan culture (execution) yang kuat. “Nah dari situ bisa dilihat posisi kita, lantas kita ukur gapnya seperti apa? Kalau gap itu diisi, maka jadilah yang namanya human capital arsitektur. Jadi EVP tadi itu ditopang oleh organisasi dan people. Organisasinya yang punya goals, jelas sinerginya, ada culture, people yang mendukung organisasi dengan behavior sudah ditetapkan, kompetensidan performa terukur dengan jelas, seperti itu,” jelas Afien.
Jika setiap sisi tadi berjalan seimbang, maka menurut Afien, yang terlihat pada lapisan terluar oleh orang luar adalah leadership-nya, yakni sosok-sosok yang menjadi top management di BNI. Kendati demikian tetap dibutuhkan human capital intervension dalam pengelolahan human capital untuk mencapai arsitektur tersebut. “Nah kami mengenal adanya talent management system. Dari situ diklasifiksi kemudian dikembangkan ada kompetensinya, digerakan di organisasi supaya menambah ekposurnya, pengetahuanya, pengalamanny, dan seterusnya. Ini suatu siklus yang terus menerus terjadi di dalam organisasi,” pungkas Afien.
Terkait human capital untuk mendukung banking bisnis perbankan, dia menambahkan, setidaknya ada tiga hal yang harus disiapkan. Yang pertama adaah meningkatkan kapabilitas pegawai dalam hal pemahaman kredit yang komprehensif, pemahaman market di seluruh segmen, dan kompetensi digital. “Itu namanya corporate capability, nantu selanjutnya adalah menetapkan behaviour culture yang kuat.”
Kemudian yang kedua adalah mengoptimalkan talent management untuk mendukung pertumbuhan bisnis. Perusahaan harus memiliki work for planning dalam mengelola human capital. Di sana ada rencana kapan harus merekrut, kapan mengurangi, kapan mengalihkan, dan seterusnya. Kemudian ada talent development dan performance culture.
Selanjutnya, lanjut Afien, harus ada rencana peningkatkan digital mindset agar perusahaan tidak memiliki pola pikir yang tertinggal dari perkembangan zaman. Perusahaan yang tertinggal mindset-nya akan dipercaya akan senasib dengan Kodak, Nokia, dan Blackberry, yang pada akhirnya akan tersisih dari persaingan.
Maka dari itu, perusahaan harus memastikan bahwa digital mindset mereka ditingkatkan untuk mendukung optmalisasi proses bisnis digital. Perusahaan, kata Afien lagi, harus terus melakukan transformasi digital, juga meningkatkan kapabilitas digital, mengoptimalkan data sains dan AI. Yang pada ujungnya akan membantu perusahaan membangun ekosistem dan menciptakan value change.
Creating Leader
Lantas skil seperti apa yang dibutuhkan untuk mengelola human kapital? Menurut Afien, yang pertama adalah bahwa pemimpin harus memilki curious dan critical thinking. “Nah pemimpin itu harus being curious enough. Harus cukup punya keingintahuan untuk menggali. Sering-sering pakai istilah why, bukan who. Mengapa ini diperlukan? Dengan cara seperti itu kita menggali kreatifitas atau memancing kreatifitas, apalagi di kantor kita makin banyak generasi yang lebih baru dari kita. Jadi harus punya pemikiran yang kritis.”
Kendati demikian sisi curious itu juga harus disertakan critical thinking dalam diri seorang leader untuk kemajuan prusaaan. “Clear headed dan confident. Apalagi mengelolah perusahaan di era digital, tidak boleh lagi merasa terlalu jumawa, atau pride terlalu besar bahwa kita adalah yang terbaik di bidangnya,” ujar Afien.
Selain itu, karena teknologi berkembang dengan cepat maka seorang leader harus be open untuk untuk exceptanting, mengakui bahwa mungkin tidak selamanya kita akan selalu terbaik. Banyak perusahaan start up berhasil karena leadernya tidak gengsi jika memang salah atau keliru. “Si leader-nya itu kalau dia lihat ternyata dia salah dia mengakuinya oh sorry salah saya, kita perbaiki sama-sama. Leader tidak minder dan rendah diri, tetapi punya empati untuk menjaga rasa ownership yang kuat dari tim kita.”
Hal lain, leader harus berani namun tetap menjaga engagement dari anggota. Dan juga harus creativity dan punya daya motivasi. “Nah leader juga harus kreatif, sering mengintip keseharian anggota tim, jangan-jangan di media sosial dia posting sesuatu ide yang seharusnya diambil. Dan ada drive yang kuat untuk maju bersama. Create space supaya orang bisa mengelurkan idenya, dan jaga speed sebagai kuncinya karena ini era digital,”tutup Afien.
Apa yang dilakukan BNI sejatinya tidak jauh berbeda dengan yang sedang digarap Bank Mandiri. Bank yang pernah menjadi bank beraset tergemuk di Indonesia ini juga menerapkan apa yang dinamakan employee value proposition.
Menurut Agus Dwi Handaya, Direktur SDM Bank Mandiri, fondasi pengembangan human capital di perusahaannya didasarkan atas purpose untuk membangun budaya Mandirian. Serta mewujudkan Bank Mandiri sebagai tempat bekerja yang memberikan kesempatan untuk belajar, bertumbuh, bersinergi sehingga dapat berkontribusi bagi Mandiri dan Indonesia.
“ËVP di Bank Mandiri diwujudkan dengan mengelola seluruh tahapan siklus dalam employee experience life cycle sejalan dengan corporate plan bank, sejak struktur dan kapasitas organisasi didesain, pegawai direkrut, onboard, diapresiasi, dikembangkan hingga retire and exit,”jelas pria yang akrab disapa ADH ini.
Selain itu, Mandiri juga menerapkan apa yang disebut human capital life cycle. Hal itu dilakukan melalui strategi yang mendukung operating model yang dilengkapi teknologi dan analytics serta leader yang turut bertanggung jawab dalam pengelolaan human capital.
“Jadi para Mandirian dituntut untuk memahami dan berprilaku sebagaimana budaya yang dikembangkan perusahaan, yakni satu hati satu Mandiri, yang berarti seorang karyawan haruslah lebih mengutamakan kepentingan urusan perusahaan dibanding pribadi. Juga harus lebih empati dan menghargai urusan perusahaan,”terang ADH.***