Masalah produk
seringkali mengemuka
dalam berbagai forum
diskusi keuangan
syariah di Indonesia.
Masih sedikitnya ragam produk yang
ditawarkan dinilai telah menghambat
perkembangan industri ini. Sektor
perbankan syariah misalnya. Kebanyakan
produk yang ditawarkan masih berbasis
murabahah dan mudharabah. Sedikitnya
varian membuat bank syariah kesulitan
menggarap peluang pasar yang ada. Para
pelaku industri keuangan syariah nasional
semestinya bisa menawarkan produk khas
Indonesia yang sesuai dengan kultur dan
kebiasaan masyarakat.
Salah satu orang yang gencar
menyerukan hal tersebut adalah Direktur
Utama Bank Mandiri Syariah Yuslam
Fauzi.”Produk bank syariah versi
Indonesia adalah kebutuhan mendesak.
Hal ini karena kondisi umat Islam di
Indonesia berbeda dengan negara lain,”
ungkap Yuslam yang juga adalah Ketua
Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia
(ASBISINDO). Menurut dia, produk
yang sesuai dengan karakteristik Indonesia
antara lain yang terkait dengan sektor yang
banyak digarap mayoritas masyarakat
seperti sektor pertanian, perkebunan, dan
usaha kecil.
Sejatinya pengembangan produk
sudah menjadi perhatian Bank Indonesia
sebagaimana tercantum dalam proyeksi
perbankan syariah 2012. BI telah
melakukan kajian potensi pengembangan
skim pembiayaan proyek/infrastruktur
melalui bank syariah. Selain itu, BI
juga sedang mempertimbangkan
penyempurnaan regulasi guna
meningkatkan efisiensi perizinan produk
perbankan syariah.
BERITA TERKAIT
Namun dukungan regulasi saja tidak
cukup. Bank syariah diharapkan segera
memperkuat unit kerja pengembangan
produknya. Hal ini demi mempercepat
upaya penyetaraan level produk dan
layanannya sehingga bisa sejajar dengan
bank konvensional. Persoalan akad syariah
yang kurang fleksibel dibandingan produk
konvensional bisa diatasi dengan inovasi
produk. Berinovasi menciptakan beragam
produk yang bisa memenuhi kebutuhan
masyarakat menjadi begitu penting untuk
membuka cara pandang nasabah terhadap
sistem syariah.
Menurut konsultan syariah Lembaga
Pengembangan Perbankan Indonesia
(LPPI) Ikhwan Abidin Bashri, kebanyakan
produk di perbankan syariah Indonesia
saat ini masih merupakan produk standar.
“Produk perbankan syariah kita itu
masih yang dasar, seperti tabungan dan
deposito. Belum ada yang secondary seperti
hedging dan wealth management. Tetapi
kalau mau belajar islamic banking paling
detail memang ada di Indonesia,” ungkap
Ikhwan.
Produk Khas
Dibandingkan negara lain,
perkembangan industri keuangan syariah
Indonesia bisa dibilang kalah cepat.
Dengan Malaysia dan Inggris misalnya.
Produk syariah yang ditawarkan kepada
masyarakat di kedua negara tersebut sudah
bervariasi. Sementara produk keuangan
di Indonesia masih berkutat di seputar
reksadana syariah dan obligasi syariah
(sukuk).
Penyebabnya bisa jadi karena faktor
pendorong pengembangan yang berbeda.
Pemerintah Malaysia dan Inggris sejak
awal sudah mendukung pengembangan industri syariah. Sedangkan di Indonesia
lebih banyak dari masyarakat. Hal ini
berimplikasi pada ragam produk yang
ditawarkan. Karena dukungan dari
pemerintahnya, produk industri syariah
Malaysia dan Inggris lebih banyak
diarahkan pada sektor keuangan dan
korporasi. Sementara, di Indonesia,
pengembangan produk lebih banyak
didasarkan pada kebutuhan masyarakat
namun sayangnya produknya masih belum
bervariasi.
Terkait dengan itu, praktisi perbankan
syariah menggagas produk-produk yang
khas Indonesia. Akad produk disesuaikan
dengan kondisi dan karakter orang
Indonesia dengan tetap berpegang pada
kaidah fikih yang ada. “Implementasinya
disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing,”
ujar Agustianto, Sekretaris
Jenderal Ikatan Ahli Ekonomi Islam yang
juga anggota Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Beberapa produk yang sudah diluncurkan
antara lain ijarah (sewa-menyewa) dan
rahn (gadai).
Meskipun akad-nya bersifat lokal,
kata Agustianto, tapi nilai-nilainya
diusahakan tetap universal mengacu pada
syariah. Seperti keadilan, kemaslahatan,
kebersamaan, dan berlandasakan tauhid.
Anggota DSN-MUI itu menambahkan,
adaptasi itu perlu dilakukan karena ada
kontrak-kontrak yang berasal dari luar
Indonesia yang harus disesuaikan dengan
kondisi masyarakat Indonesia. “Misalnya
ba’i taqshid (jual beli kredit). Model ini
bisa digunakan untuk model pembiayaan
take-over (alih kredit). Sebetulnya model
itu adalah adalah istilah baru, kalau dulu
namanya ba’i ajal,” ucap Agustianto.
Bedanya, ba’i ajal membayar angsuran 2-3
kali setahun, sedangkan ba’i taqshid bisa
perbulan.
Produk lain yang juga sesuai dengan
kebutuhan masyarakat Indonesia dan
bisa dikembangkan perbankan syariah
antara lain produk tresuri dengan
murabahah commodity, pembiayaan
perkebunan sawit dengan metode Margin
During Contruction, bay’ wafa’ dan bay’
istighlal untuk usaha mikro, hedging
dengan forward dan swap, tawarruq yang
berlandaskan istihsan dan maslahah. Untuk
pembiayaan multi guna dan kredit tanpa
agunan (KTA) dapat menggunakan skim
tawarruqatau ba’i wafa wal ijarah (bay’
istighlal).
Tawarruq adalah jika seseorang
membeli barang dari seorang penjual
dengan harga kredit, lalu dia menjual
barang tersebut secara kontan kepada
pihak ketiga. Tawarruq berasal dari kata
“warraqoh” yang artinya lembaran uang.
Disebut demikian karena pembeli yang
merupakan pihak pertama sebenarnya
tidak menginginkan barang tapi uang.
Berbeda dengan akad jual beli
murahabah yang langsung memberikan
barang pada nasabah, nasabah tawarruq
akan mendapatkan uang. “Tapi, pemberian
uang ini juga diatur dengan sejumlah
syarat seperti dilihat dari kemampuan
membayar,” ujar Agustianto.
Skim tawarruq sempat menjadi
perdebatan ulama. Ibnu Taymiah dan Ibu
Qayyim menilainya makruh. Sementara
Organisasi Konferensi Islam (OKI) hanya
mengharamkan produk variannya tawarruq
munazzam yang banyak dipraktikan
perbankan Malaysia.
Namun, perdebatan tersebut
diselesaikan dengan memastikan
tawarruq hanya untuk sektor riil. “Sempat
dimakruhkan tiga ulama, tapi bisa
dipatahkan dengan memastikan dana
itu untuk sektor riil,” ucap Agustianto.
Penggunaan tawarruq tersebut akan
menghidupkan sektor riil, terutama usaha
menengah kecil mikro (UMKM).
DSN, kata Agustianto juga tengah
membahas akad yang digunakan untuk
KTA. Pembiayaan ini diharapkan bisa
menghidupkan sektor UMKM. “Banyak
UMKM yang belum memiliki agunan, tapi
sebetulnya layak diberikan pembiayaan,”
ujarnya.
KTA bisa menggunakan akad bay wafa’
dan istighlal yang juga bisa diterapkan pada
pembiayaan multi guna. Mekanismenya
adalah nasabah menjual asetnya (rumah,
perkebunan, atau mobil), ke bank syariah
dengan harga yang telah disepakati,
misalnya Rp200 juta. Nasabah berjanji
akan membeli (melunasi) kembali aset
tersebut paling lama dua tahun yang akan
datang dengan harga yang sama, yakni
Rp200 juta. Dengan transaksi jual-beli
tersebut, nasabah mendapatkan uang
tunai dari bank dan untuk sementara aset
menjadi milik bank. Selanjutnya, bank
menyewakan aset itu kepada nasabah itu
kembali dengan margin tertentu.
Penentuan biaya sewa bisa
menggunakan dua cara. Pertama, sewa
bulanan. Margin disesuaikan dengan
besaran cicilan normal pembiayaan,
misalnya Rp10 juta per bulan. Ketika masa
dua tahun selesai maka aset itu kembali
dijual bank kepada nasabah dengan
harga tertentu. Kedua, perjanjian awal
mensyaratkan nasabah untuk menyimpan
sejumlah dana setiap bulan, misalnya
Rp9,2 juta. Ketika jumlah simpanan
sudah mencapai Rp200 juta, nasabah bisa
membeli kembali dengan mudah.