JAKARTA, Stabilitas.id – Kemudahan akses pembiayaan menjadi hal penting bagi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan, sebanyak 47% kebutuhan pembiayaan UMKM belum dapat dilayani Lembaga Jasa Keuangan.
Untuk itu, Pemerintah meminta lembaga jasa keuangan untuk terus memperbesar dan memudahkan pembiayaan ke UMKM, agar dapat menjangkau karakteristik pelaku UMKM yang tidak seragam
Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM), Teten Masduki, saat menjadi pembicara kunci dalam acara BRI Microfinance Outlook 2024 bertajuk ‘Enhancing Financial Inclusion Through Regulatory Measures and Digital Transformation Strategies’ yang diselenggarakan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk di Ballroom Menara BRILiaN, Jakarta, pada Kamis (7/3/24).
“Pembiayaan menjadi isu penting bagi UMKM. Padahal, UMKM memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Sebagai penyedia lapangan pekerjaan, berkontribusi terhadap PDB, termasuk terhadap ekspor,” ungkap Menteri Teten.
Menteri Teten mengatakan, separuh dari pelaku UMKM Tanah Air ada di sektor produktif seperti pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan. Namun, di sektor-sektor unggulan domestik ini, serapan kredit UMKM masih rendah.
“Sebagai contoh di sektor pertanian 31%, dan perikanan baru sekitar 2% saja. Lalu, kemana sebagian besar kredit UMKM? Ke sektor perdagangan karena potensi Non-Performing Loan (NPL)-nya rendah,” jelas MenKopUKM.
Para produsen pangan petani rata-rata memiliki sekitar 0,3 hektare (ha) untuk produksi. Maka, agar petani bisa terhubung ke market/industri perlu adanya agregator, namun mereka tidak bisa menjadi ekosistem pembiayaan seperti perbankan. Sementara di India, agregator diberi kewenangan untuk membeli, dan mereka boleh mengakses dana perbankan sebesar 3%.
“Bank tidak mau memberikan pembiayaan ke petani kecil, karena potensi NPL tinggi, hingga potensi gagal panen. Maka, perlu ada offtaker,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, umumnya ada tiga hal yang menyebabkan UMKM sulit mengakses kredit perbankan dan non perbankan. Pertama, tidak memiliki agunan. Dalam 2 tahun terakhir, alasan terbesar ditolaknya kredit UMKM karena tidak ada agunan pada kredit bank sebesar 59,62% dan pada kredit fintech/non-bank sebesar 46,43% (Bank Indonesia, 2022).
Kedua, suku bunga kredit yang masih tinggi, yakni per tahun 2021 mencapai sebesar 8,59%. Sementara negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia hanya 3,45% dan Singapura 5,42%.
“Ketiga, banyak UMKM terkendala Status SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan). Prediksi Bappenas tahun 2024 kredit usaha perbankan hanya mencapai 24%, salah satunya disebabkan tidak lolos SLIK,” lanjutnya.
Maka, inovasi kebijakan pembiayaan untuk UMKM perlu terus diperkuat. Seperti Skema Pembiayaan UMKM melalui Rantai Pasok sesuai amanah PP 7 Tahun 2021, untuk memberikan kepastian UMKM dapat lebih berkembang dan pembayaran kredit UMKM lebih lancar.
Perlu juga afirmasi dan kesungguhan untuk memberikan kemudahan pembiayaan sektor produktif (pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan).
“Perlu menyusun skema kredit skoring bagi UMKM untuk menjadi alternatif penilaian kelayakan kredit selain agunan, ada lebih 140 negara menggunakan skema ini,” jelas Menteri Teten.
Sesuai UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, negara berkepentingan untuk melakukan penghapusan piutang macet UMKM di bank, hal ini bertujuan untuk memberikan kelancaran akses pembiayaan baru bagi UMKM.
“Termasuk harus ada perluasan dukungan Asuransi Penjaminan ke industri peer to peer landing (P2P) dan securities crowdfunding sebagai alternatif pembiayaan bagi UMKM,” tutupnya.***