JAKARTA, Stabilitas.id – Hilirisasi produk kakao menjadi sumber ekonomi baru dengan diolah menjadi produk bernilai tinggi (high end product), terlebih Indonesia merupakan salah satu produsen utama kakao di dunia.
Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM), Teten Masduki, saat meresmikan pabrik cokelat PT Rosso Bianco pemilik brand Pipiltin Cocoa di Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (25/7/24).
Ia juga mengapresiasi Pipiltin yang sukses melakukan hilirisasi dari biji kakao menjadi cokelat yang siap mengisi pasar domestik dan ekspor.
“Saya kira ini bentuk nyata ekonomi baru karena ada produk baru. Kita punya potensi besar dari sini (kakao) karena sebelumnya kita hanya jual bahan baku mentahnya tapi karena hilirisasi yang dilakukan Pipiltin maka bisa menciptakan produk baru,” ungkap Menteri Teten Masduki.
Untuk menjadikan sumber ekonomi baru, perlu dilakukan pembenahan ekosistem atau rantai pasoknya agar permasalahan dari hulu – hilir dapat dituntaskan.
Di sisi lain produk pertanian dan perkebunan cukup sulit mempertahankan kualitas dan kuantitas atas hasil produksinya. Hal ini terjadi karena mayoritas petani hanya memiliki lahan garapan yang sempit sehingga semua itu perlu diagregasi dan disatukan dalam wadah koperasi (holding koperasi).
“Oleh karena itu petani perlu diagregasi supaya punya skala ekonomi sehingga proses penanaman efisien kemudian produktivitas bisa dinaikkan. Maka dengan model korporatisasi petani melalui koperasi menjadi solusi koperasi agar organisasinya kuat,” jelas Menteri Teten.
Menteri Teten berkomitmen untuk turut serta terlibat aktif dalam memajukan hilirisasi komoditas kakao melalui berbagai program strategis.
“Mari kita ciptakan model bisnis yang ideal untuk kakao agar petani kita sejahtera dan rantai nilai semakin kuat. Kami siap berkolaborasi bersama-sama dan kami sudah melakukan exercise di beberapa tempat,” lanjut Menteri Teten Masduki.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Pemasaran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Ni Made Marthini mengatakan, hilirisasi produk kakao yang dilakukan oleh Pipiltin ini menjadi salah satu peluang untuk memajukan sektor pariwisata.
“Tren pariwisata saat ini adalah bagaimana memberikan layanan baru kepada turis untuk mendapatkan pengalaman saat berwisata. Jadi saya kira dengan model pengolahan biji kakao yang diproses dari hulu ke hilir ini bisa menjadi peluang ekonomi bagi kita,” ungkap Made.
Sementara itu Irvan Helmi, Co-founder Pipiltin Cocoa, bersyukur di tengah mahalnya harga biji kakao namun pihaknya tetap mampu melakukan ekspansi dengan mendirikan pabrik kedua di atas lahan seluas 1.000 meter persegi dengan kapasitas produksi 240 kg per jam.
“Pabrik pertama kami di Jakarta Selatan dan sekarang ini pabrik kedua. Ini menjadi milestone yang berharga bagi kami dan Indonesia sebagai keluarga besar dengan membuka pabrik baru,” ungkap Irvan.
Selanjutnya, Direktur Yayasan Kalimajari, Agung Widiastuti, merasa bersyukur dapat bermitra dengan Pipiltin Cocoa karena petani kakao yang bernaung di bawah koperasi yang dipimpinnya kini bisa menikmati harga jual kakao yang lebih tinggi.
“Di tahun 2010 – 2011 para petani kami sulit menemukan mitra yang ideal yang mau menghargai hasil jerih payah petani. Alhamdulillah kami bersyukur dipertemukan Pipiltin yang kami anggap bukan hanya sebagai pembeli saja tapi mitra yang ikut berperan dalam peningkatan kapasitas petani kakao kami,” tutup Agung.***