Perbankan syariah tampaknya akan sampai pada level penting dalam perjalanannya di industri keuangan Tanah Air. Apakah ini menjadi sebuah peluang atau malah akan menjadi ancaman bagi bank syariah?
Oleh Tim Riset Stabilitas
PERBANKAN syariah baru-baru ini mendapatkan tantangan baru di kala pandemi masih memberikan ancamannya pada ekonomi Indonesia yakni keluarnya POJK No 12/Pojk.03/2021 tentang Bank Umum. Salah satu poin utama dari aturan tersebut adalah kemudahan dalam menjalankan atau membentuk bank digital. Bagi bank syariah hal tersebut akan semakin memberatkan beban persaingannya dengan bank konvensional, mengingat bersaing pada taraf model bisnis non digital saja bank syariah masih tertinggal.
Beleid OJK terbaru mengatur secara garis besar landasan lebih baik kepada perbankan dalam mengakselerasi bank digital dengan mempertegas pengertian bank digital. Disebutkan dalam ketentuan POJK tersebut, bank digital adalah Bank BHI (Berbadan Hukum Indonesia) yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain Kantor Pusat atau menggunakan kantor fisik terbatas.
Lebih lanjut, beleid tersebut secara tegas menyebutkan bahwa bank digital tidak perlu memiliki kantor cabang. Sebuah bank digital hanya perlu memiliki satu kantor pusat bank yang menjadi pusat operasional mereka. Hal ini memungkinkan bank digital bisa melakukan efisiensi besar-besaran dalam hal penyediaan kantor cabang. Seperti diketahui, di era digital, aset kantor cabang bisa menjadi beban bagi bank dengan semakin berkembangnya transaksi keuangan digital yang semakin masif.
Sebagai pembeda dengan bank non digital, dalam POJK tersebut ditetapkan enam persyaratan bagi entitas perbankan agar bisa disebut bank digital. Pertama, memiliki model bisnis yang memanfaatkan teknologi informasi yang bersifat inovatif serta aman dalam melayani kebutuhan nasabah. Kedua, mempunyai kemampuan dalam mengelola model bisnis perbankan digital yang pruden dan berkesinambungan. Ketiga, keberadaan manajemen risiko memadai. Keempat, terpenuhinya aspek tata kelola, semisal pemenuhan direksi yang berkompeten di bidang teknologi informasi dan kompetensi lain yang sesuai dengan ketentuan OJK. Kelima, mampu menjamin dan menjalankan perlindungan terhadap keamanan data nasabah. Keenam berkontribusi terhadap pengembangan ekosistem keuangan digital dan/atau inklusi keuangan.
Aktivitas Digital
Tidak bisa dipungkiri, sejalan dengan perkembangan sektor digital di dunia dan Indonesia, aktivitas ekonomi tidak bisa terlepas dari kata digital, begitu pun sektor keuangan dan perbankan. Terlebih ketika pandemi dimana pergerakan mobilitas dibatasi, demi mencegah penyebaran, sektor digital mereguk banyak cuan. Secara makro, hal ini terlihat dari kinerja pertumbuhan sektor teknologi informasi yang selalu mencatatkan pertumbuhan positif selama sejak pandemi melanda Indonesia.
Salah satu penggerak pertumbuhan teknologi informasi adalah transaksi digital. Bank Indonesia mencatat, pada 2020 lalu, transaksi digital Indonesia mencapai 44 miliar dollar AS yang setara dengan 44 persen transaksi digital di Asia Tenggara. Diprediksikan angka ini akan terus meningkat menjadi 124 miliar dollar AS di tahun 2025. Semakin intensnya transaksi digital dalam dunia perbankan terlihat dari pengurangan jaringan kantor cabang bank sejumlah 2.593 kantor dari 2017 hingga tahun 2000. Di sisi lain, transaksi SMS atau Mobile Banking meningkat dari Rp1.159 triliun di tahun 2016 menjadi Rp4.684 pada Agustus 2021 atau naik lebih dari 300.
Selain itu, transaksi internet banking juga meningkat tajam. Otoritas Jasa Keuangan mencatat ada kenaikan nilai transaksi dari Rp13,22 triliun pada 2016 menjadi Rp20,09 triliun di Agustus 2021, atau naik hampir 50 persen. Transaksi uang elektronik juga mengalami kenaikan hampir 400 persen dari Rp5,28 triliun pada 2015 menjadi Rp 204,9 triliun di 2020.
Perbankan syariah di Indonesia masih jauh tertinggal jauh dibandingkan dengan bank konvensional. Hal ini terlihat dari aset keuangan syariah di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan aset lembaga keuangan konvensional dengan proporsi total aset 9,9 persen. Meski demikian, aset perbankan syariah tumbuh tidak sedikit dengan pertumbuhan lebih kurang 14,2 persen di tahun 2020. Total aset lembaga keuangan Syariah pada 2019 mencapai Rp500 triliun tumbuh menjadi Rp571 triliun 2020. Angka tersebut masih tertinggal jauh dari aset perbankan konvensional, yang mencapai Rp 9.117,91 triliun per 2020.
Peluang-Tantangan
Pada setiap tantangan pasti ada peluang. Begitulah kiranya apa yang dihadapi perbankan syariah saat ini. Di tengah beragam tantangan yang ada, perbankan Syariah memiliki peluang yang sangat lebar untuk dikembangkan atau berkembang lebih lanjut. Peluang pertama adalah pasar Syariah Indonesia yang sangat besar. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi dalam perekonomian tidak bisa dilepaskan dari aturan Syariah.
The State of Global Islamic Economy 2020/2021 mencatat potensi makanan dan minuman halal di Indonesia mencapai 144 miliar dollar AS dan merupakan yang terbesar di dunia. Pada urutan kedua, terdapat industri media dan rekreasi dengan nilai potensi pasar sebanyak 22 miliar dollar AS. Kemudian disusul industri fesyen syariah yang memiliki potensi ekonomi sebanyak 16 miliar dollar AS Selain itu terdapat potensi pada industri wisata Syariah dan kosmetik yang masing-masing memiliki potensi 11,2 miliar dollar AS dan 4 miliar dollar AS.
Gambar 1. Pasar Ekonomi Syariah di Indonesia (US$ Miliar)
Selain potensi pasar yang tinggi, secara regulasi, kegiatan bank syariah sangat didukung oleh regulasi. Ali Syukron (2013) menyebutkan dukungan besar terhadap bank syariah tertuang dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Beberapa klausul yang sangat mendukung pengembangan perbankan Syariah di Indonesia antara lain ketentuan pada pasal 5 ayat 7 yang menyebutkan Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah.
Lebih lanjut, terkait dengan aturan merger antara bank syariah dengan bank non-syariah, merger keduanya wajib menjadi bank Syariah. Hal ini diatur dalam pasal 17 ayat 2. Kemudian, pada Pasal 68 ayat 1 disebutkan Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila UUS mencapai aset paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah. Hal ini berarti pada tahun 2023, unit usaha Syariah dari bank konvensional akan menjadi bank syariah tersendiri.
Kemudian, Undang-undang Perbankan Syariah juga memberikan peluang aktivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank konvensional. Terdapat usaha-usaha yang bias dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional ( Pasal 19 sampai dengan 21). Dengan demikian, perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank,
Salah satu hal yang paling bisa menarik minat masyarakat dalam menggunakan jasa keuangan Syariah adalah fungsi sosial bank syariah. Selain usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat (Pasal 4 ayat 2); dan menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3).
Meskipun mendapat dukungan yang tidak sedikit, perbankan Syariah atau Lembaga keuangan Syariah masih memiliki beragam tantangan. Tantangan tersebut apabila tidak ditangani maka akan menjadi benalu bagi pengembangan industri keuangan syariah di Indonesia.
Bank syariah menghadapi tantangan yang besar terkait permodalan. Sedikit banyak bank syariah yang memiliki modal di atas Rp5 triliun. Hingga Desember 2020, terdapat enam bank syariah yang memiliki modal inti di bawah Rp2 triliun dari total 14 bank umum syariah. Sebaliknya, terdapat beberapa bank konvensional yang memiliki modal di atas Rp30 triliun.
Salah satu sebab kenapa bank Syariah mengalami kesulitan dalam menambah modalnya adalah mayoritas bank syariah merupakan anak usaha bank konvensional. Terlepas dari bank syariah masih dianggap pesaing oleh bank induknya, bank konvensional selaku pemegang saham tidak akan berkenan memberikan tambahan modal pada bank syariah jika tingkat pengembalian, misalkan Return on Equity (ROE) bank syariah lebih rendah daripada ROE dari bank induknya sendiri. ROE bank syariah rendah dikarenakan bank syariah banyak memiliki pembiayaan bermasalah atau tingginya Non Performing Financing (NPF).
Gambar 2. Non Performing Financing Bank Syariah April 2020-Agustus 2021
Kemudian efisiensi perbankan Syariah yang masih di bawah bank konvensional. Terdapat beberapa penelitian menunjukkan bahwa industri perbankan syariah masih kurang efisien dibandingkan dengan bank konvensional di berbagai negara. Hal ini secara empiris terkait dengan kinerja bank syariah yang masih dalam tahap pengembangan (Beck et al., 2013; Ariss, 2010).
Kamarudin et al., (2017), menganalisis kemajuan teknologi bank syariah dibandingkan bank konvensional masih relatif tertinggal. Bank syariah dapat memperkenalkan layanan perbankan Internet yang lebih komprehensif, aplikasi seluler, atau bahkan layanan yang lebih nyaman dengan meningkatkan jumlah unit dan fungsionalitas Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
Tantangan lain, literasi keuangan syariah masih sangat rendah, yaitu baru 8,93 persen, jauh tertinggal dari literasi keuangan secara nasional yang sebesar 38,03 persen. Untuk indeks inklusi keuangan syariah juga masih tertinggal di posisi 9,1 persen dibandingkan dengan inklusi keuangan nasional 76,19 persen. Lalu, tingkat kompetitif produk dan layanan keuangan syariah juga belum setara dengan keuangan konvensional. Dalam hal tersebut, diversifikasi produk keuangan syariah dan business matching menjadi hal yang sangat kuat.
Selain itu, adopsi dual banking system di Indonesia yakni sistem bank konvensional dan bank Syariah semakin memperketat persaingan (Junaedi, 2019). Bagi pemain baru, dalam hal ini perbankan syariah, sulit dalam mengejar ketertinggalan dari bank konvensional yang sudah berdiri jauh hari sebelum bank Syariah pertama di Indonesia hadir pada awal 1990-an.
Akselerasi
Di tengah tantangan yang semakin berat dan dukungan kuat secara regulasi, maka perbankan syariah bisa menciptakan momentum dengan melakukan beragam terobosan dan inovasi. Pertama yang bisa dilakukan adalah mengkapitalisasi jasa keuangan sosial berupa penyediaan jasa pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh. Penerbitan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menjadi salah satu instrument legal formal dalam rankga peningkatan efisiensi dan efektifitas jasa keuangan sosial berbasis aktivitas keagamaan.
Kedua, memanfaatkan jarring BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) yang saat ini diperkirakan mencapai 4.500 buah di seluruh Indonesia guna ekspansi bisnis channeling. Entitas BMT yang memiliki layanan hingga ke level desa, bisa menjadi ujung tombak bank Syariah dalam penyelenggaraan model bisnis channeling.
Ketiga adalah sumber daya manusia. Tidak banyak industri keuangan Syariah atau bank Syariah memperkerjakan lulusan dari pendidikan ekonomi syariah atau perbankan syariah. Terdapat 80 hingga 90 persen sumber daya manusiaa di keuangan syariah merupakan lulusan program studi non ekonomi syariah atau perbankan syariah.***