Polemik selalu muncul jika ada aturan baru, akan tetapi selalu ada yang ingin mengambil keuntungan dari situ. Pun begitu ketika aturan pemerintah soal interkoneksi akhirnya muncul. Aturan yang mengatur biaya penggunaan jaringan antar operator itu sejatinya sudah menimlbulkan pro kontra sejak masih dalam ‘kandungan’, dan ketika aturan itu lahir polemik pun tambah pelik.
Kementerian Komunikasi dan Informasi mengeluarkan Surat Edaran yang berisi biaya interkoneksi yang bisa menjadi acuan bagi seluruh operator yang ada di Indonesia dalam menetapkan biaya untuk melakukan panggilan lintas jaringan. Namun aturan yang bertujuan agar biaya interkoneksi itu bisa turun dan menguntungkan pelanggan malah menjadi medan ‘perang urat syaraf’.
Tarif baru interkoneksi untuk percakapan suara lintas operator (off-net) untuk penyelenggara jaringan bergerak seluler menurut edara itu adalah Rp 204, turun dari sebelumnya Rp 250. Hasil perhitungan yang sudah dirilis bakal menjadi referensi bagi Kemenkominfo untuk melakukan evaluasi terhadap Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) yang diajukan oleh operator.
“Hasil perhitungan biaya interkoneksi ini menjadi referensi bagi penyelenggara telekomunikasi (lokal dan selular) untuk diterapkan di sistem dan jaringan serta Point of Interconnection (PoI) di operator tersebut,” ujar Plt. Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kemenkominfo, Noor Iza.
Akan tetapi kritikan muncul dari kalangan pengamat yang menganggap aturan itu cenderung merugikan operator yang sudah keluar uang banyak untuk membangun infrastruktur hingga ke pelosok Indonesia. Operator lain yang tidak membangun infrastruktur telekomunikasi tentu tinggal menumpang koneksi dari operator yang melakukannya. Dan dari sinilah kritikan tersebut muncul.
“Telkom Group sudah investasi lama dan besar untuk bangun jaringan. Operator lain dikasih kesempatan sama untuk lakukan itu (bangun jaringan), kenapa tidak dikerjakan? Tak bisa kita lihat sesuatu di ujungnya saja, lihat secara komprehensif dong,” kata praktisi telekomunikasi Mochamad James Falahudin.
Menurut James, potret persaingan di industri telekomunikasi yang banyak membanting harga, bahkan perang harga yang gencar dilakukan operator seluler sejak 7-8 tahun lalu hanya bertujuan untuk mengakuisisi pelanggan.
“Dulu banting-bantingan harga dengan harapan bisa menggaet cukup banyak pelanggan yang dalam jangka panjang akan mengembalikan uang yang dibakar untuk akuisisi itu. Sayangnya prediksi itu nggak jadi kenyataan dan sepertinya sekarang investornya mulai lebih pelit untuk ngucurin duit.
Sekarang muncul kreativitas untuk tetap bisa ekspansi dan survive dengan memanfaatkan celah regulasi. Jadinya terkesan memaksa numpang koneksi,” kata James.
Sementara itu, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala mengatakan, dalam interkoneksi tak boleh ada pihak yang mengambil keuntungan. Di amenilai, kalau dilihat dengan biaya interkoneksi Rp 250 saja versi lama, sudah ada yang posisi untung, dan ada yang buntung. Ini bisa dicek pada penawaran produk dan laporan keuangan para operator itu.
Dalam kajiannya, selama ini Telkomsel mengalami kelebihan bayar, tetapi kekurangan dibayar dalam interkoneksi. Sehingga aneh jika operator non Telkom mendesak secepatnya diberlakukan biaya interkoneksi baru karena menguntungkan bagi mereka. Tapi bagaimana untuk Telkom Group?
“Mereka boncos selama ini karena biaya interkoneksi lama saja tak sesuai dengan recovery cost-nya. Recovery cost Telkomsel kan Rp285/menit, pakai yang lama Rp250/menit saja sudah minus, sekarang mau Rp 204/menit, dobel-dobel boncos dong,” kata Kamilov.
Tetap Cari Untung?
Pada 31 Agustus 2016 lalu, Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza, kemudian menyatakan bahwa edaran mengenai tarif interkoneksi yang dirilis 2 Agustus, belum bisa diterapkan per 1 September 2016 karena Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) belum lengkap terkumpul. Oleh karena itu, operator tetap menggunakan acuan biaya interkoneksi Rp250.
DPI sendiri merupakan dokumen berisi acuan kerjasama interkoneksi antara satu operator dengan yang lainnya. Dokumen ini disusun oleh semua operator dengan merujuk pada Dokumen Petunjuk Penyusunan DPI (P2DPI) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang interkoneksi.
Akan tetapi, President Director & CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli dan President Director & CEO XL Axiata Dian Siswarini, bersikeras bahwa mereka akan tetap menerapkan biaya interkoneksi baru, meski pemerintah menundanya. Begitu juga operator Hutchison 3 Indonesia (Tri).
Sikap tiga operator seluler yang tetap menurunkan biaya interkoneksi meskipun pemerintah menunda implementasinya, dianggap sebagai langkah mencari keuntungan di saat aturan interkoneksi masih jadi polemik.
“Indosat, XL dan Tri nekat ingin menerapkan biaya interkoneksi baru, meski Kemkominfo menunda pemberlakuannya. Itu karena mereka ingin untung dua kali. Lagi-lagi secara tidak fair,” kata Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Muhammad Ridwan Effendi. Ridwan yang pernah menjabat sebagai anggota komite BRTI ini menjelaskan, bahkan biaya jaringan Indosat dan XL sudah di bawah Rp204 yakni biaya jaringan Indosat di sekitar Rp86 dan XL Rp 65. Dengan demikian, mereka akan untung dua kali, jika tarif interkoneksi diberlakukan simetris pada Rp 204. Sedangkan Telkomsel akan rugi dua kali.
Keuntungan pertama bisa dihitung dari, biaya jaringan XL dan Indosat masing-masing Rp65 dan Rp 86. Dari sini, dengan menerapkan biaya interkoneksi yang baru yaitu Rp204, operator XL untung Rp139, sedangkan Indosat untung Rp 118 per menit percakapan. “Ini keuntungan pertama Indosat dan XL,” kata Ridwan.
Keuntungan keduanya adalah, ketika ada pelanggan Indosat menelepon ke pelanggan Telkomsel, perusahaan milik Ooredoo Qatar ini hanya membayar biaya interkoneksi sebesar Rp204, bukan lagi Rp250 per menit. Demikian juga dengan XL. “Jadi, Indosat dan XL di sini untung lagi Rp 46,” jelas Ridwan.
Padahal, menurutnya, bagi masyarakat tidak ada keuntungan signifkan yang bisa mereka nikmati. Bahkan, tegasnya, operator telekomunikasi yang mayoritas sahamnya dimiliki Axiata dari Malaysia dan Ooredoo dari Qatar itulah yang akan menikmati keuntungan.
“Bagaimana masyarakat bisa menikmati keuntungan, biaya interkoneksi hanya turun Rp46, sedangkan tarif offnet yang dibebankan kepada masyarakat di kisaran Rp 2.000 per menit. Jadi, keuntungan itu akan jadi tambahan keuntungan Indosat dan XL,” kata Ridwan.
Alasan lain yang diungkapkan Ridwan, adalah keengganan para operator swasta untuk memenuhi kewajibannya membangun jaringan telekomunikasi di seluruh pelosok Tanah Air. Selama ini, kata dia, baru Telkomsel dan Telkom saja yang membangun jaringan telekomunikasi hingga ke seluruh pelosok, bahkan hingga ke daerah perbatasan dengan negara-negara tetangga.
“Indosat, XL, Tri dan Smartfren kan hanya membangun di daerah perkotaan saja. XL, bahkan, semuanya 100 persen yang bangun jaringan adalah Huawei, dan XL tinggal sewa saja. Makanya biaya jaringannya murah banget,” kata Ridwan.
Pihak Indosat tentu membantah tegas tudingan tersebut. Dayu Padmara Rengganis, juru bicara operator yang berkantor pusat di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat tersebut itu mengatakan, Indosat sepenuhnya menyadari bahwa biaya interkoneksi adalah kewajiban yang berlandaskan pada UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Oleh sebab itu bagi Indosat, biaya interkoneksi yang diterima dari operator lain tidak ditargetkan sebagai sumber pendapatan, apalagi untuk memperoleh keuntungan.
“Biaya interkoneksi merupakan settlement antar operator yang pada akhirnya dibebankan kepada pelanggan. Kami berkeyakinan bahwa biaya interkoneksi yang rendah akan mengurangi beban industri dan beban masyarakat. Penurunan biaya interkoneksi senantiasa terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Terbukti bahwa industri terus berkembang, tarif retail berangsur turun, sehingga masyarakat yang mendapatkan keuntungan,” katanya.
Vice President Corporate Communication XL Turina Farouk menilai bahkan persentase penurunan seharusnya bisa lebih dari 26 persen. Ditemui di Mall Taman Anggrek, berharap penuruan bisa terjadi sekitar 40 persen. Hal ini karena cost recovery (biaya konsultan) yang dikucurkan XL hanya sebesar Rp 65 per menit. “Jadi kalau misalnya ditaruh di bawah Rp 204 pun tidak apa-apa. Malah harapan kita Rp120 sampai dengan Rp150. Itu artinya, sebetulnya masih ada ruang untuk diturunkan dari Rp 204. Tapi kan masalahnya sekarang Rp 204 saja tidak diterapkan,” ujar Turina.