Oleh Romualdus San Udika
Kredit mikro sepertinya memang dianggap sebagai dewa penolong, atau setidaknya diharapkan demikian. Setiap muncul ancaman pada perekonomian, pemberian dana kepada sektor usaha yang semenjana ini kemudian menjadi tonggak harapan.
Tahun ini, ketika perekonomian diperkirakan akan tetap berada dalam tantangan pelemahan dan di tengah ancaman global, pemerintah kembali berpaling pada pengusaha mikro. Melalui program kredit usaha rakyat yang sudah bergulir sejak 2007, pemerintah menerbitkan skema baru yang diharapkan bisa mendongkrak bisnis ini.
Pertama, pemerintah menetapkan sistem tanggung renteng yang bisa didapatkan oleh anggota kelompok penerima KUR yang merupakan pengusaha pemula (startup). Kedua, menetapkan skema KUR khusus untuk kelompok yang dikelola dalam bentuk kluster dengan menggunakan mitra usaha. Hal itu diberikan untk kelompok komoditas perkebunan rakyat, peternakan rakyat, dan perikanan rakyat termasuk pengadaan kapal nelayan.
Untuk lebih memaksimalkan dampaknya, Kementerian Koperasi dan UKM juga akan menggandeng pemerintah daerah dan juga merekrut ratusan tenaga pendamping. “Kegiatan sosialisasi KUR 2018 dilaksanakan di 20 provinsi dengan target 1000 usaha mikro kecil. Sedangkan untuk program pendampingan, kami akan merekrut 314 orang tenaga pendamping dengan target sebanyak 15 ribu usaha mikro kecil yang didampingi,” kata Deputi Bidang Pembiayaan Kemenkop dan UKM Yuana Sutyowati
Tahun ini jumlah penyaluran KUR ditargetkan lebih besar. Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp120 triliun atau meningkat dibanding tahun 2017 yang mencapai Rp 106, 6 triliun. Sementara jumlah debitur penerima KUR tahun 2018 mencapai 4 juta.
Risiko Tanggung Renteng
Soal target pemerintah tersebut, Ketua Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun memberikan catatan terutama terkait skema tanggung renteng. Menurut Ikhsan, mekanisme pembayaran kredit tersebut sejatinya tidak mudah dilakukan, meski mekanismenya akan memudahkan para pelaku usaha pemula.
Dia mencontohkan, salah satu pelaku usaha dalam komunitas atau kelompok tersebut nantinya akan mendapat kredit maksimal Rp 5 juta karena risiko yang cukup besar. Jika tidak bisa melunasi pembayaran, maka tanggungan akan dibagi bersama dalam komunitas tersebut. Ikhsan melanjutkan, satu komunitas misalnya maksimal berisi 100 orang. “Pertanyaannya, kalau ada (yang tidak bisa membayar; red) apa yang lain mau membayar?” kata Ikhsan.
Untuk itu, diperlukan adanya satu orang yang bertindak sebagai koordinator. Nantinya orang tersebut yang akan mengkoordinir anggota komunitas. Termasuk juga memfasilitasi mereka yang ingin mengajukan kredit dan melakukan penagihan kepada pelaku usaha untuk membayar pinjaman. Selain koordinator tersebut memperoleh manfaat dari mekanisme ini, juga diperlukan adanya kompensasi. Menurut Ikhsan, ada risiko sosial dari mekanisme tanggung renteng ini karena adanya risiko menjadi omongan dalam komunitas jika tidak bisa membayar pinjaman.
Memang, cara ini diakui Ikhsan cukup efektif karena merupakan satu solusi kepada komunitas apalagi dengan bunga minimalis tanpa jaminan. Namun, sumber dana yang didapatkan tentunya melalui institusi seperti koperasi maupun perbankan yang tentunya bukan sebagai dana KUR.
Menanggapi hal itu, Deputi Bidang Pembiayaan Kemenkop dan UKM Yuana Sutyowati mengungkapkan bahwa dari alokasi KUR 2018 sebesar Rp120 triliun, termasuk di dalamnya dialokasikan untuk dua koperasi penyalur KUR. Yaitu, Kospin Jasa (Pekalongan) sebesar Rp55 miliar dengan jenis KUR Mikro dan KSP Kopdit Obor Mas (NTT) sebesar Rp150 miliar dengan rincian Rp100 miliar KUR Mikro dan Rp50 miliar KUR kecil/khusus.
Sebagai informasi, per Desember 2017 realisasi penyaluran KUR sebesar Rp96,71 triliun melalui 40 lembaga keuangan (34 bank dan 4 lembaga keuangan bukan bank, dan dua koperasi) dengan jumlah debitur 4 juta orang lebih. Penyaluran KUR tersebar pada lima sektor usaha, yaitu sektor perdagangan (58 persen), pertanian, perkebunan, dan kehutanan (24 persen), jasa (11 persen), industri pengolahan (5,5 persen), dan perikanan (1,5 persen).
Sementara untuk KUR 2018 disalurkan oleh 15 Bank Umum dan swasta, 19 BPD, 4 Lembaga keuangan non bank dan 2 koperasi. Adapun target penyaluran KUR 2018 paling besar BRI dengan jumlah Rp 79,7 triliun. Kemudian Bank Mandiri sebesar Rp 14,56 triliun dan BNI sebesar Rp 13, 4 triliun.
Ubah Pola Subsidi
Agar lebih terjangkau oleh usaha kecil, tahun ini pemerintah akan menurunkan suku bunga KUR. Pada tahun 2007-2014 subsidi bunga diberikan kepada perbankan dengan tingkat suku bunga KUR kepada nasabah sebesar 12 persen. Sementara pada tahun 2015 hingga 2016 subsidi dibayar pemerintah tetapi pemerintah menurunkan tingkat suku bunga KUR menjadi 9 persen. Dan pada 2018 ini suku bunga KUR juga turun menjadi 7 persen.
KUR adalah program kredit yang sebagian dari suku bunganya dijamin atau dibayarkan oleh lembaga penjamin kredit seperti Jamkrindo atau Askrindo. Jadi meski suku bunga yang berlaku di bank sebesar 20 persen misalnya, usaha mikro hanya membayar bunga seperti yang ditetapkan pemerintah, dalam hal ini 9 persen, sisanya dibayarkan oleh lembaga penjamin.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan bahwapenurunan bunga diikuti oleh peningkatan target porsi penyaluran di sektor produksi antara lain pertanian, perikanan, industri pengolahan, konstruksi dan jasa produksi pada 2018.
Penyaluran KUR di sektor produksi itu diharapkan bisa mencapai minimum 50 persen dari total penyaluran, terutama bagi UMKM yang selama ini masih sulit mendapatkan akses pembiayaan dari Lembaga Keuangan. “Penyaluran KUR harus terus kita dorong ke sektor produksi, agar program kredit atau pembiayaan dari pemerintah dengan suku bunga rendah ini dapat dinikmati oleh UMKM,” kata Darmin.
Selama ini, pelaku usaha kecil menengah masih kesulitan mendapatkan akses kredit karena sektor produksi dianggap mempunyai risiko yang relatif lebih tinggi daripada sektor perdagangan. Selain itu, penyaluran KUR pada 2018 juga akan dipermudah bagi sektor pertanian, agar tidak menyulitkan para petani dalam membayar pinjaman dan menimbulkan kredit macet.
“Pemberian KUR itu harus difasilitasi, sehingga kalau perlunya cuma lima atau empat bulan, jangan kemudian petani didorong untuk minjam selama setahun. Jadi plafon KUR itu kita hitung menurut musim tanam,” jelas Darmin.
Dengan adanya skema baru ini, ia menambahkan, petani tidak perlu lagi menyicil pinjaman sejak awal masa panen, namun baru membayar setelah masa panen tersebut usai.
Pangkas Pendapatan
Sementara itu, dengan adanya perubahan pola subsidi maka pendapatan perbankan penyalur KUR 2018 bakal terpangkas seiring keputusan pemerintah menurunkan suku bunga KUR bagi end user tahun ini sebesar 2 persen sementara subsidi bunga bagi bank penyalur hanya naik sekitar 1 persen.
Seperti disebutkan Mohamad Miftah, Deputi Direktur Spesialis Penelitian Mikroprudensial Bank Umum OJK bahwa suku bunga KUR tahun ini turun dari 9 persen menjadi 7 persen. Sementara subsidi bunga untuk KUR Mikro dari 9,5 persen naik jadi 10,5 persen, lalu KUR Ritel dari 4,5 persen jadi 5,5 persen, dan KUR TKI dari 12 persen jadi 14 persen.
“Kalau melihat gambaran ini, memang menjadi tantangan penyaluran KUR 2018. Jika dilihat dari suku bunga yang turun maka potensi besar untuk mendapatkan debitur, akan tetapi dari sisi subsidi bunga hanya naik kisaran 1 persen itu menjadikan penyalur akan ada sedikit kekurangan pendapatan,” tuturnya.
Pasalnya, dengan semakin meningkatnya target penyaluran KUR tersebut bagi perbankan, maka alokasi anggaran dari perbankan yang semula untuk komersial akan dialihkan untuk merealisasikan program pemerintah tersebut.
“Ini memang tergantung perbankan bersangkutan. Kami dari regulator tidak bisa mereferensikan. Karena mereka juga harus mengambil keuntungan dari sisi bisnis mereka dan satu sisi juga harus mencapai keberhasilan dari program pemerintah, khususnya bagi perbankan BUMN,” terangnya.