Oleh Prayogo P Harto
BELAKANGAN wacana pengaturan besaran gaji bankir menjadi topik panas. Apalagi yang melontarkannya Bank Indonesia (BI), otoritas tertinggi perbankan Tanah Air. Tak heran bila pro kontra langsung merebak. Mayoritas kalangan bankir jelas pihak yang menentang mengingat potensi kocek mereka bakal berkurang. Sebaliknya pemilik bank boleh jadi pihak yang setuju. Bagi mereka, kebijakan bank sentral itu dapat mengurangi beban operasional yang akhirnya berpotensi mengerek laba perusahaan.
BERITA TERKAIT
Lantas bagaimana dengan BI? Alasan yang kerap disampaikan BI dalam sejumlah kesempatan adalah tingginya gaji bankir telah membuat industri perbankan nasional tidak efisien (inefisiensi). Benarkah? Sekilas argumen BI ini masuk akal. Inefisiensi perbankan ini terlihat dari tingginya rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO).
Mengacu hasil riset Pusat Data dan Analisis Stabilitas (PDAS), dalam kurun lima tahun terakhir (2006 – 2010) rasio BOPO industri perbankan nasional berada pada kisaran 73 – 97 persen. Rata-rata BOPO dalam kurun waktu itu adalah 86,48 persen. Artinya, untuk mendapatkan income Rp1 bank harus lebih dahulu merogoh kocek Rp0,86. Angka ini jelas kalah efisien jika kita bandingkan, misalnya, dengan BOPO bank-bank Filipina (74 persen) atau Malaysia (40 persen).
Bagaimana jika menggunakan ukuran cost efficiency ratio (CER) yang umumnya digunakan negara-negara maju? CER dinilai lebih fair untuk mengukur efisiensi, karena tidak memasukkan penyisihan penghapusan aktiva produktif dan laba-rugi penjualan efek dalam perhitungan biaya overhead. Ternyata hasilnya sama saja. Data Bloomberg mencatat rata-rata CER bank besar nasional mencapai 70,91 persen, jauh di atas negara-negara Asia Tenggara yang berkisar antara 39,15 – 61,34 persen.
Celakanya lagi, gaji karyawan ternyata menjadi penyumbang terbesar dalam unsur biaya baik di BOPO ataupun CER. Dari riset PDAS terungkap porsi beban tenaga kerja ini terhadap total beban operasional ini cukup besar dan dapat mencapai 30 persen. Artinya, kalau beban gaji ini dapat diturunkan, secara teoritis angka BOPO atau CER yang ‘merah’ tadi praktis dapat turun. Tapi itu dengan asumsi pendapatan tidak berubah. Pasalnya, unsur BOPO tidak hanya biaya tapi juga pendapatan. Singkatnya jika menekan biaya–lewat pengurangan biaya gaji–justru berdampak pada penurunan signifikan pada pendapatan maka langkah itu sia-sia.
Kemungkinan di atas sangat mungkin. Sebab, pembatasan gaji rentan memangkas motivasi bankir. Pemilik bank tentu saja sulit berharap performanya akan meningkat kalau bankirnya bekerja tanpa atau minim motivasi. Bahkan bukan tak mungkin aturan yang terlalu kaku dapat mematikan industri ini. Sebab, calon pekerja tidak lagi melihat bekerja di industri perbankan sebagai tempat yang menjanjikan. Alhasil perbankan berisiko kehilangan calon-calon SDM terampil yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan industri urat nadi perekonomian itu. Jadi, kalau tak hati-hati, kebijakan pembatasan gaji bisa jadi senjata makan tuan bagi industri perbankan nasional.
Dengan dasar di atas, saya tidak yakin efisiensi adalah alasan utama BI. Lalu apa yang mendasari keinginan BI itu? Kalau kita tarik sedikit ke belakang, usulan pembatasan gaji bankir sejatinya bukan murni dari BI. Wacana ini merupakan kesepakatan negara-negara G20 pada tahun lalu. Indonesia, sebagai salah satu negara G20, tentu saja terikat dengan kesepakatan tersebut. Nampaknya dasar inilah yang kemudian ‘memaksa’ BI menggulirkan wacana pengaturan remunerasi bankir.
Masalahnya, dasar G20 membuat kebijakan itu karena income bankir, khususnya AS, memang sudah sangat tinggi. Ini masih ditambah tingginya bonus yang mereka dapatkan. Bahkan bankir-bankir yang bank-nya di-bailout pemerintah malah mendapatkan gaji tinggi yang memicu kemarahan massal rakyat AS. Jadi, agar kasus serupa tidak terulang di masa depan, kebijakan pembatasan gaji pun dikeluarkan.
Namun dasar gaji tinggi tadi kurang tepat bila kita tempatkan pada kasus bankir Indonesia. Pasalnya, menurut riset Watson Wyatt Worldwide, lembaga konsultan internasional sumber daya manusia, rata-rata gaji bankir nasional masih jauh di bawah gaji bankir asing. Dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan industri lain pun gaji para bankir nasional relatif masih wajar. Oleh karena itu, BI butuh alasan lain untuk membenarkan aturan pembatasan gaji hingga keluar faktor inefisiensi.
Meluruskan Persepsi
Terlepas dari semua dasar di atas, hemat saya, aturan pembatasan gaji bukan solusi terbaik untuk mencegah praktik moral hazard bankir, dunia dari ancaman krisis keuangan di masa depan, atau ‘sekadar’ agar bank jadi lebih efisien.
Tetapi sebelum melangkah lebih jauh ke solusi, yang pertama-tama perlu diluruskan adalah persepsi terkait wacana BI. Saya berprasangka baik kalau yang dimaksud BI tentang akan mengatur remunerasi bankir, bukan berarti mematok remunerasi direksi tidak boleh lebih dari angka tertentu, Rp 100 juta, Rp 200 juta, dst.
Kemungkinan maksud BI, yang kemudian salah dipersepsikan oleh berbagai kalangan, adalah industri perbankan butuh suatu sistem standar yang dapat memastikan bankir akan menerima gaji sesuai prestasi, dan bukan karena hasil kolusi/korupsi. Tidak seperti sekarang, ada direksi bank menengah bergaji lebih tinggi dari direksi bank besar. Atau bankir berkinerja buruk dapat mengantongi bonus lebih aduhai ketimbang direksi berkinerja tinggi.
Bagaimana itu bisa terjadi? Kelemahannya ada pada metode perhitungan saat ini yang secara eksplisit membebaskan bank menentukan besaran remunerasi direksi berapapun, asal disetujui komisaris atau pemegang saham. Model ini sangat rawan korupsi karena komisaris dan direksi bisa saja berkolusi. Misalnya, komisaris tetap meng-acc jumlah remunerasi direksi meski kinerjanya jeblok. Ini terpaksa dilakukan komisaris karena besar kecilnya pendapatnya tergantung dari direksi. Singkat cerita, kalau gaji direksi naik maka naik juga gaji komisaris, dan begitu sebaliknya.
Tiga Aspek
Salah satu tugas utama BI, sebagai regulator, adalah memastikan para pelaku industri perbankan bermain secara adil. Artinya, jika model perhitungan gaji yang ada saat ini berisiko membuat pasar jadi tidak efisien atau merugikan salah satu pelaku pasar, BI sah-sah saja mengintervensi.
Hanya saja, BI perlu sangat hati-hati agar intervensinya dalam menentukan perhitungan remunerasi bankir tidak kontra produktif. Untuk itu, ada tiga aspek yang perlu menjadi konsen BI andai serius akan membuat aturan standarisasi perhitungan remunerasi bankir.
Pertama, aspek prestasi. Maksudnya sistem perhitungan remunerasi yang baru itu harus menjamin bankir hanya akan menerima gaji sesuai performanya. Dengan demikian, tidak akan lagi kasus-kasus bankir dibayar tinggi padahal prestasinya berkebalikan. Selain itu, ukuran prestasi tidak boleh jangka pendek atau hanya pada tahun itu saja. Karena, sangat mungkin tahun ini bankir mampu menggenjot omzet tetapi kebijakan yang ia buat membahayakan masa depan bank di tahun-tahun berikutnya.
Kedua, aspek sustainability. Perhitungan remunerasi bankir harus menjamin keberlangsungan (sustain) bisnis bank. Jangan malah mengancam perusahaan, misalnya membuat likuiditas tergerus atau menggrogoti laba bank. Di samping itu, memperhitungkan aspek keberlanjutan berarti pemberian remunerasi perlu mempertimbangkan kepentingan para stakeholder, yaitu pemilik, karyawan, nasabah, masyarakat, pemerintah, dan alam.
Di kaca mata karyawan, misalnya, perhitungan remunerasi jangan cuma menguntungkan direksi tetapi tidak bagi level di bawahnya. Ini juga berarti jumlah bonus direksi yang terlalu jauh dibandingkan kepala divisi, kepala bagian, dan seterusnya, seharusnya dihindari. Sementara di sisi nasabah dan masyarakat, yang terpenting remunerasi bankir tak akan membuat inefisiensi. Sebab, jika itu terjadi maka bank akan enggan menurunkan imbal hasil (suku bunga) pembiayaan.
Bagaimana dengan pemerintah? Salah satu kepentingan pemerintah adalah memastikan perhitungan remunerasi tersebut mampu menutup celah moral hazard bankir untuk memperkaya diri sendiri. Apalagi kita sudah memiliki contoh di AS, bagaimana sistem perhitungan remunerasi yang keliru hanya akan menghasilkan sekumpulan bankir greedy, yang kemudian berkomplotan merampok dana-dana nasabah dengan luar biasa besar, sementara bank-banknya dibiarkan kolaps dan harus menjadi tanggungan pemerintah.
Sementara itu remunerasi juga tidak boleh membuat bankir menjalankan strategi bisnisnya dengan merusak alam. Oleh karenanya, pemberian remunerasi harus mampu mendeteksi prestasi bankir yang pantas dihargai selaras dengan kelestarian alam. Dengan kata lain, jangan sampai bankir ‘hitam’ yang berprestasi membiayai kerusakan alam mendapat remunerasi tinggi atas ‘jasa-jasanya’ itu.
Ketiga, aspek transparansi. Lewat transparansi remunerasi, masyarakat jadi bisa membandingkan berapa pantas remunerasi bankir terhadap kinerja perusahaan. Ini penting karena tidak setiap tahun kinerja perusahaan itu kinclong. Dengan transparansi, manajemen jadi tidak bisa seenaknya meminta kenaikan remunerasi. Selain itu, transparansi remunerasi juga akan membuat bankir lebih kompetitif karena ia tentunya ingin bekerja pada bank yang mampu membayar dengan pantas.
Catatan terakhir saya, rencana kebijakan apa pun perlu dukungan strategi komunikasi yang efektif. Artinya, pesan yang ingin disampaikan harus mampu ditangkap dengan sebenar-benarnya oleh audien. Mengapa ini sangat penting? Sebab, berdasarkan pengamatan saya, kebijakan BI kerap kali ‘gagal’ semata karena faktor komunikasi yang kurang pas. Padahal dari sisi konten kebijakan itu baik bagi industri perbankan maupun perekonomian nasional. Akibatnya masyarakat salah paham, bankir kebakaran jenggot, dan media membulan-bulani BI dengan berita negatif.SP
**) *Dosen SEBI Islamic Economic & Banking School; Penerima Indika & Paramadina Fellowship; Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Stabilitas Perbankan