Jika diibaratkan sebuah rumah, OJK baru memasuki tahap penyerahan kunci kepada Dewan Komisioner terpilih. Agar rumah OJK sebagai sebuah lembaga pengawas dapat beroperasi penuh, masih butuh banyak hal, khususnya dari sisi regulasi yang mendukung UU OJK. Persoalannya, masa transisi untuk melengkapi atribut OJK relatif singkat, mengingat OJK harus beroperasi di 2014.
Di sinilah letak tantangan terberat bagi OJK. Sebab, boleh dikatakan, seluruh fungsi pengawasan sektor jasa keuangan akan dilakukan oleh lembaga baru ini, kecuali koperasi dan BMT. Nah, yang menjadi kekhawatiran banyak kalangan, jika hingga pada waktunya OJK beroperasi, tetapi atribut pendukung pelaksaan UU OJK belum terpenuhi, ini kemudian menjadi alasan regulator untuk kemudian saling lempar tanggung jawab, ketika terjadi sesuatu di bidang pengawasan sektor jasa keuangan.
Kekhawatiran tersebut wajar, mengingat UU OJK belum secara menyeluruh mengatur semua fungsi pengawasan sektor jasa keuangan, berikut mekanismenya jika terjadi krisis. Lubang ini juga disadari oleh Anggota Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz. Oleh karena itu, menurut dia dengan diundangkannya OJK, maka perubahan atas UU lain yang bersinggungan dengan regulasi tersebut — UU BI, UU Pasar Modal, UU Perbankan, UU Perasuransian dan RUU JPSK — harus segera dilakukan. Persoalan paling krusial lainnya yang perlu segera dicarikan solusinya adalah soal persinggungan peran pengawasan antar lembaga Negara terkait pengawasan institusi keuangan.
BERITA TERKAIT
Persinggungan terbesar terutama antara OJK dan BI. Sebab, meski pasca disahkannya UU OJK, fungsi pengawasan bank sudah diambilalih oleh OJK, namun kebutuhan BI untuk pengawasan bank tidak lantas sirna. Pasalnya, untuk memastikan dua tugas tersisa BI, yaitu pengendalian moneter dan sistem pembayaran, dapat berjalan optimal maka bank sentral tetap butuh informasi industri perbankan.
Oleh karena itu, seperti diungkapkan Harry, perlu dipertimbangkan aturan yang memungkinkan BI tetap memiliki peran melakukan pengawasan, khususnya macroprudential sistem perbankan. Apalagi UU OJK memungkinkan hal tersebut. “Walau wewenang pemeriksaan bank tetap di OJK, Pasal 40 UU OJK membuka peluang BI melakukan pemeriksaan tertentu terhadap bank bila dianggap perlu,” tegas Harry. Namun pemeriksaan itu tidak dilakukan secara rutin, tetapi untuk menjaga makroprudensial ketika BI mencurigai ada beberapa bank yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. “Itu pun harus seijin OJK,” tambah dia.
Kuncinya Koordinasi
Di pihak lain, Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah juga tidak menampik kebutuhan BI untuk tetap melakukan pengawasan terhadap perbankan ini. Sebab, apabila BI terkendala di sisi ini akan berdampak negatif pada pelaksanaan kebijakan makroprudensial bank sentral. Menurut Halim, salah tujuan dari kebijakan makroprudensial yang menjadi kewenangan BI adalah untuk menjaga kestabilan industri perbankan, kestabilan sektor keuangan, dan perekonomian secara keseluruhan dengan menerapkan prinsip countercyclical.
“Sementara enforcement penerapan kebijakan makroprudensial berada di otoritas mikroprudential, yakni OJK,” ujar Halim. Untuk itu, dia mengigatkan pentingnya koordinasi dan sinergi antara BI sebagai otoritas makro dan OJK sebagai otoritas mikroprudensial. Sebab, hanya dengan begitu efektivitas pelaksanaan kebijakan yang ditujukan untuk menjaga kestabilan sektor keuangan dapat optimal.
Sebaliknya, jika koordinasi dan sinergi antara BI dan OJK lemah, maka pemisahan kewenangan itu dapat menimbulkan kerawanan terhadap munculnya bibit-bibit instabilitas yang seharusnya dihindari. Setali tiga uang, Muliaman D. Hadad, Ketua DK OJK terpilih juga mengakui terdapat kemungkinan-kemungkinan persinggungan-persinggungan sangat besar, terutama dengan BI, karena sama- sama berurusan dengan sistem keuangan. “Walaupun UU mengatakan BI urusannya makroprudensial, OJK mikroprudensial, enggak mudah dalam implementasinya kait-mengait,” kata Muliaman.
Sejatinya kekhawatiran BI terkendala masalah koordinasi ini sudah disadari pihak regulator sejak awal. Ini juga yang membuat susunan pimpinan OJK tetap mengikutkan Pemerintah dan BI. Seperti diketahui, dari sembilan pimpinan OJK yang berbentuk Dewan Komisioner (DK), BI dan Pemerintah merupakan anggota DK ex officio, yang kewenangannya setara dengan tujuh anggota DK yang independen.
Dengan demikian, sebenarnya BI bersama Pemerintah secara kelembagaan juga dapat berperan dalam penentuan kebijakan OJK. Artinya, kebijakan OJK, langsung atau tidak langsung, merupakan cerminan kebijakan BI juga, kecuali anggota ex officio BI di OJK tidak setuju dengan suara mayoritas di DK OJK. Memang pengambilan keputusan dalam DK OJK dilakukan secara musyawarah atau suara terbanyak. Tak hanya itu, bila kehadiran BI di DK OJK merupakan keterlibatan internal, sesungguhnya bank sentral juga dilibatkan dalam koordinasi antar lembaga, seperti diatur dalam UU OJK terlihat di Pasal 44, 45 dan 46 yang disebut Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK).
Forum ini terdiri dari Menteri Keuangan selaku koordinator dan anggota dan Gubernur BI, Ketua DK OJK dan Ketua DK LPS sebagai anggota. Dalam kondisi normal, forum ini saling memberikan rekomendasi untuk memelihara stabilitas sistem keuangan, saling bertukar informasi, dan melakukan pertemuan paling sedikit tiga bulan sekali. Sementara dalam kondisi krisis, tiap anggota forum dapat mengambil inisiatif untuk pertemuan. “Pertemuan dimaksud untuk mengambil keputusan dalam rangka mengantisipasi dan mencegah kemungkinan terjadinya krisis serta menangani dampak krisis,” ungkap Anggota Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz.
Dia menambahkan, bila forum memutuskan telah terjadi krisis dan diperlukan penanganan melalui fasilitas pendanaan yang ada di BI atau di LPS, maka keputusan forum bersifat final. Bila penanganannya melalui APBN, DPR mulai terlibat dan diberikan waktu 1×24 jam agar DPR memutuskan apakah setuju atau menolak keputusan forum. Dengan demikian, Harry menilai formalitas keterlibatan BI dijamin UU OJK bahkan semakin meluas sampai ikut menangani situasi krisis. Dalam kondisi normal, semua lembaga bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing dalam memelihara stabilitas sistem keuangan. Muliaman D. Hadad, Ketua DK OJK terpilih juga menyepakati jika koordinasi melalui FKSSK adalah solusi di masa transisi jika terjadi krisis, sembari menunggu lahirnya UU JPSK.
Artinya, disadari bahwa koordinasi itu baik, dalam keadaan normal maupun distress. “Yang penting mekanisme itu ada dan menjadi business process, bukan formal. Bentuknya bisa meeting, pendalaman materi, bisa apa saja. Tapi, yang jelas harus ada mekanisme yang mengatur,“ jelas Muliaman.
Butuh UU JPSK
Sementara itu, Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto menilai, persoalan mekanisme informal menjadi sangat krusial di masa transisi OJK hingga operasional penuh di 2014. Karena jika tanpa landasan hukum yang kuat maka koordinasi yang dibangun antara instansi Pemerintah, BI, OJK, dan DPR tidak akan berjalan baik. Hal ini belajar dari penangganan kejatuhan Bank Century yang kini malah kebijakannya digugat sebagian kalangan DPR.
Artinya, lanjut dia, regulasi pendukung seperti UU JPSK (Jaring Pengaman Sistem Keuangan) sangat kritikal untuk segera dihadirkan, sembari menunggu proses amandemen sejumlah UU terkait BI dan lembaga keuangan lainnya. “Loopholes dalam UU OJK yang tidak mengatur penanganan lembaga keuangan di saat krisis harus segara ditutup dengan kehadiran UU atau setidaknya Perpu yang tentu jelas mengatur mekanisme penangana krisis di lembaga keuangan,” saran Ryan.
Sehingga jika, jika di masa transisi ini ada lembaga keuangan yang kolaps, OJK punya pegangan untuk melakukan bailout. “Karena jika BI mengatakan bahwa kami tidak ada urusan dengan bank, karena sudah diambil OJK. Ini celaka,” tukas Ryan. Terkait hal itu, sejatinya pemerintah telah bergerak cepat dengan mengirimkan draft rancangan UU JPSK ke DPR. Sebagaimana diakui Anggota Komisi XI, Harry Azhar Aziz, bahwa DPR telah menerima draft RUU JPSK dari Kementrian Keuangan.
Hanya saja, pemerintah harus terlebih dahulu mencabut Perpu JPSK yang digunakan saat menangani kasus Bank Century. “Kita kemungkinan akan kembalikan draf RUU JPSK ke pemerintah. Jadi pasti akan memakan waktu lama untuk lahirkan UU JPSK. Pertimbangannya bahwa pemerintah harus mencabut terlebih dahulu Perpu JPSK tahun 2008,” kata Harry.