HINGGA semester pertama tahun ini, belum tampak tanda-tanda perbaikan ekonomi, baik nasional maupun global, meskipun pertumbuhan ekonomi kuartal kedua lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Alasannya adalah mesin pertumbuhan untuk kuartal ketiga dan keempat sudah terkuras di dua kuartal sebelumnya. Mesin pertumbuhan tersebut adalah pengeluran pemerintah dan konsumsi rumah tangga.
Kemudian, setelah mengetahui hal tersebut, salah satu jalan yang ditempuh oleh pemerintah adalah berkoordinasi dengan otoritas moneter untuk relaksasi, seperti pada sektor konsumsi seperti yang dilakukan akhir Agustus lalu. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah relaksasi tersebut masih memiliki taji?
Sumber Pertumbuhan
Kuartal pertama 2016, perekonomian kita tumbuh 4,91 persen dan pada kuartal berikutnya tumbuh sebesar 5,18 persen. Ada yang berbeda dengan pola pertumbuhan di dua kuartal tersebut. Pada kuartal pertama dan kedua, tingkat pertumbuhan pengeluaran pemerintah lebih besar dibandingkan kuartal yang sama di 2015, terlebih kuartal kedua. Kuartal kedua tahun lalu, pengeluaran pemerintah hanya tumbuh 2,61 persen (yoy). Sedangkan pada kuartal kedua tahun ini, angka pertumbuhannya mencapai 6,28 persen (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan kuartal kedua tahun 2015 sebesar 2,61 persen.
Apa pasal? Pengeluaran pemerintah yang digenjot di awal tahun. Hal ini sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo untuk menggenjot pengeluaran pemerintah di awal tahun. Caranya dengan mempermudah proses lelang anggaran pemerintah, namun tetap dengan memperhatikan standar persaingan dan akuntabilitas lelang.
Namun, hasil yang diharapkan pemerintah tidak sepenuhnya sesuai ekspektasi. Pada APBN-P 2016, pemerintah melakukan pemangkasan anggaran belanja pemerintah sebesar Rp237 triliun rupiah. Besaran pemotongan tersebut masih mempertimbangkan dana yang diperkirakan didapat pemerintah dari tebusan tax amnesty sebesar Rp165 triliun. Target yang dipasang pemerintah tersebut berada pada fondasi yang rapuh, baik anggaran dan harapan pertumbuhan 5,2 persen di akhir tahun.
BERITA TERKAIT
Terkait dengan anggaran, tax amnesty, hingga pertengahan September baru menghasilkan dana Rp12 triliun, masih jauh dari target Rp 165 triliun. Jika target tidak terpenuhi, ancamannya adalah defsit anggaran melebar dan ekspansi pada RAPBN 2017 terhambat.
Meskipun target pertumbuhan direvisi dari 5-5,4 persen menjadi 4,6 – 5,3 persen (Bank Indonesia), tetap saja target tersebut akan sulit tercapai. Hal ini dikarenakan mesin pertumbuhan dalam negeri sudah terkuras. Pada kuartal ketiga dan keempat apabila mengandalkan pengeluaran pemerintah tidak akan bisa optimal karena adanya pemotongan anggaran besar-besaran pada APBN-P 2016. Mengandalkan ekspor? Tidak bisa. Hal itu dikarenakan tren perlambatan ekonomi dunia masih terjadi.
Lebaran, panen raya, dan masa tahun baru ajaran sekolah sudah lewat. Semuanya menjadi mesin pendorong untuk pertumbuhan kuartal kedua tahun 2016. Mengandalkan konsumsi rumah tangga pada kuartal ketiga dan keempat, oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari penurunan share konsumsi 20 persen penduduk terkaya.
Rilis BPS mengenai ketimpangan tidak menampilkan penjelasan mengenai penurunan kontribusi pengeluaran kelompok penduduk 20 persen atas. Sejak 2013, porsi pengeluaran 20 persen penduduk atas menurun dari 49,04 menjadi 46,89 pada Maret 2016. Penurunan tersebut terjadi dikarenakan adanya perlambatan ekonomi yang sudah melanda Indonesia sejak 2011.
Lebih lanjut, apabila dilihat secara sektoral, terdapat berapa sektor sekunder dan tersier yang mengalami perlambatan melebihi sektor pertanian. Misalnya saja sektor real estate yang mengalami perlambatan ekonomi dari pertumbuhan 7,68 persen di tahun 2011, pada tahun 2015 tumbuh sebesar 4,82 persen.
Perlambatan tersebut berkebalikan dengan pertumbuhan di sektor pertanian yang tumbuh dari 3,95 persen pada 2011 menjadi 4,02 persen pada 2015. Apabila dilihat sejak 2012, maka sektor pertanian melambat dari pertumbuhan 4,59 persen menjadi 4,02 persen pada tahun 2015.
Relaksasi Moneter
Di tengah melemahnya daya ungkit memangkas target pertumbuhan kredit tahun ini dari semula 10-11 persen menjadi hanya 7-9 persen. Dalam upaya mendorong kelancaran likuiditas, beragam kebijakan pelonggaran moneter telah ditempuh BI sepanjang tahun ini. Pertama, suku bunga acuan BI Rate telah diturunkan sebanyak tiga kali, dari 7,5 persen menjadi 6,5 persen atau turun 100 basis poin (1 persen) sepanjang periode Januari-Agustus 2016. Namun sayangnya, penurunan suku bunga acuan tersebut tidak dibarengi dengan penurunan yang signifkan pada suku bunga kredit di industri perbankan.
Dalam kurun enam bulan pertama 2010, suku bunga kredit hanya terpangkas 11-64 basis poin, yakni 11,84 persen (kredit modal kerja); 11,49 persen (kredit investasi); 13,83 persen (kredit konsumsi). Dengan demikian, terdapat spread yang sangat tinggi antara BI rate dengan bunga kredit yang berkisar 5,34- 7,33 persen. Akibat tingginya bunga kredit di tengah keringnya likuiditas di sektor riil, maka tak mengherankan apabila industri perbankan terseok-seok memompa saluran kreditnya.
Di sisi lain, penurunan suku bunga deposito justru lebih tinggi dibanding suku bunga kredit. Dalam periode yang sama, rata-rata suku bunga deposito terpotong 11-85 basis poin, yakni 6,75 persen (1 bulan); 7,20 persen (3 bulan); 7,82 persen (6 bulan); 8,04 persen (12 bulan). Adapun gap antara BI ratedengan bunga deposito berkisar 0,25-1,54 persen. Dengan suku bunga deposito yang relatif lebih rendah dibandingkan yield pada instrumen investasi lain seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan Sukuk turut menyebabkan melemahnya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) Pertumbuhan DPK pun hanya tumbuh 5,9 persen per Juni 2016 (yoy).
Berkaca pada kegagalan transmisi moneter tersebut, BI akhirnya mengubah instrumen moneternya dari BI Rate menjadi BI 7-day (Reverse) Repo Rate (7-Days RRR) per 19 Agustus 2016. BI 7-day RRR sebagai suku bunga acuan jangka pendek (7 hari) dipatok pada 5,25 persen, lebih rendah 125 basis poin dari suku bunga kebijakan moneter sebelumnya (BI Rate) yang bertenor 12 bulan dan telah digunakan sejak Juli 2005. Melalui reformulasi kebijakan moneter ini diharapkan dapat mempercepat transmisi kebijakan moneter berupa penurunan suku bunga deposito dan suku bunga kredit.
Kedua, perubahan sikap (stance) kebijakan moneter yang lebih longgar (easing) juga tercermin dari penurunan kewajiban Giro Wajib Minumum (GWM) primer dari 7,5 persen menjadi 6,5 persen terhadap DPK Rupiah, yang berlaku efektif sejak 16 Maret 2016 lalu. GWM primer merupakan simpanan minimum yang wajib disetorkan oleh bank ke dalam saldo rekening giro di BI.
Secara historis, GWM primer perbankan pernah mencapai 5 persen paska krisis 2008 yang bertujuan untuk menambah pasokan likuiditas. Lalu, pada 2010 GWM kembali dinaikkan menjadi 8 persen dan kemudian perlahan diturunkan hingga 6,5 persen per Maret 2016 ini.
Selain GWM primer, otoritas moneter melalui kebijakan GWM sekunder juga mewajibkan perbankan untuk mencadangkan dananya dalam bentuk Sertifkat Bank Indonesia (SBI), Sertifkat Deposito Bank Indonesia (SBDI), SBN, dan/atau Excess Reserve yang besarnya 4 persen dari DPK rupiah.
Secara ringkas, ketentuan GWM baik primer dan sekunder tersebut akan menentukan tinggi rendahnya dana yang mengendap di BI. Oleh sebab itu, dengan penurunan GWM primer yang telah dilakukan pada awal 2016 ini, otoritas moneter mengharapkan terjadinya peningkatan kapasitas pembiayaan perbankan sehingga efeknya dapat terlihat pada kenaikan loan to deposit ratio (LDR). Sebagai gambaran, posisi LDR per Juli 2016 mencapai 90,18 persen, turun dari bulan sebelumnya 91,19 persen.
Ketiga, sejak 2013 BI masih mempertahankan batas bawah LDR sebesar 78 persen dan batas atas LDR sebesar 92 persen. Maksud dari pengaturan LDR ini ialah agar posisi penyaluran kredit yang diukur dari LDR tetap terkawal di kisaran 78-92 persen.
Lalu, pada Juni 2015, BI melakukan penyesuaian formula LDR dengan memasukkan komponen surat berharga yang diterbitkan bank dalam perhitungan LDR, yang kemudian disebut loan to funding ratio (LFR).
Kemudian, BI kembali melakukan relaksasi kebijakan makroprudensial dengan menaikkan batas bawah LFR dari 78 persen menjadi 80 persen, yang berlaku efektif per 24 Agustus 2016. Melalui pelonggaran ini, BI nampak ‘memaksa’ perbankan agar lebih agresif menyalurkan dananya. Sebab, apabila ada bank yang kedapatan memiliki LFR kurang dari batas bawah tersebut akan dikenakan ‘sanksi’ berupa disinsentif yang diwujudkan pada GWM LFR.
Selain itu, BI juga melakukan pelonggaran batas atas LFR dari 92 persen menjadi 94 persen. Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bank yang ingin menyalurkan kredit hingga 94 persen antara lain bank harus mampu mengalokasikan 10 persen dari total kredit bagi UMKM; rasio NPL total kredit bruto dan rasio NPL kredit UMKM bruto kurang dari 5 persen. Maka dengan adanya relaksasi LFR tersebut diharapkan perbankan akan semakin leluasa mengucurkan kredit di sektor produktif. Melalui intensifkasi penyaluran kredit ini, perbankan akan mendulang pendapatan dari bunga pinjaman.
Keempat, kebijakan relaksasi moneter yang paling pentin lainnya ialah pelonggaran loan to value (LTV) pada kredit properti, dari 80 persen menjadi 85 persen. Artinya, jika sebelumnya konsumen dikenakan uang muka minimal 20 persen, kini untuk dapat mengakses kredit rumah hanya perlu DP 15 persen. Apalagi dari hasil survei BI (2016) sebagian besar konsumen 75,68 persen memilih kredi kepemilikan rumah (KPR) sebagai sumber pembiayaan utama dalam membeli rumah. Maka dengan penurunan uang muka kredit rumah ini diharapkan dapat menstimulasi permintaan dalam negeri dan bahkan dipastikan akan berdampak ganda (multiplier effects) pada berbagai sektor lain yang mencakup industri real estate.
Selain itu, pelonggaran LTV ini juga diharapkan dapat menahan pelambatan pertumbuhan KPR. Sebab merujuk pada survei BI (2016) terlihat tren penurunan laju pertumbuhan KPR terutama sejak September 2013 dan puncaknya pada Juni 2016 hanya mencapai 7,62 persen, di bawah pertumbuhan kredit 8,88 persen. Pelonggaran LTV yang dilakukan pada Juni 2015 lalu terbukti cukup ampuh menahan pertumbuhan KPR di level 7,62 persen (yoy). Oleh karena itu, momentum relaksasi LTV kali ini sangat tepat dilakukan apalagi saat ini masih terjadi krisis kepemilikan rumah (backlog home ownership) yang mencapai 11,8 juta unit.
Bisa jadi relaksasi moneter, terutama LTV bisa menjadi salah satu pengungkit pertumbuhan ekonomi di tengah perlambatan fskal dan menurunnnya daya beli masyarakat, terutama masyarakat 20 persen dengan pengeluaran tertinggi. Relaksasi LTV bisa jadi alternatif pengungkit pertumbuhan ekonomi melalui pertumbuhan sektor properti (konstruksi) dan peningkatan pengeluaran rumah tangga atau minimal menjaga agar tidak turun.
Terlebih ketika pemerintah mengeluarkan program 1 juta rumah yang dibarengi dengan keringanan izinizin terkait dengan pembangunan rumah di seluruh Indonesia, terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun demikian, semoga relaksasi LTV ini tidak menjadi awal gelembung ekonomi. Terlebih ketika ada program tax amnesty dan program reklamasi di utara Jakarta. ***