Gong dimulainya era perdagangan bebas ASEAN pada awal tahun ini sebetulnya bukan merupakan kejutan, sehingga akan mengherankan jika ada yang masih terkejut ketika mengetahui fakta bahwa ‘pintu rumah’ Indonesia sudahterbuka untuk negara-negara di kawasan ASEAN.
Proses liberalisasi kawasan ASEAN sejatinya sudah digagas sejak dua dasawarsa silam dengan ditandatanganinya kesepakatan ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992. Kemudian pada 1996 muncul kesepakatan lain yang disebut General Agreement on Trade in Services (GATS) yang memasukkan jasa.
Yang paling mutakhir adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang resmi dijalankan pada Januari lalu. Sejatinya kesepakatan membentuk MEA baru disepakati pada pertemuan ASEAN di Bali tahun 2003. Para pemimpin ASEAN setuju untuk meningkatkan liberalisasi ekonomi melalui sebuah perjanjian yang lebih komprehensif mengintegrasikan perdagangan barang dan jasa. Awalnya ditargetkan pada 2020, namun pada pertemuan tahun 2007, target itu dimajukan ke tahun 2015.
BERITA TERKAIT
Meski isu MEA sudah berlangsung lebih dari 10 tahun, namun masih banyak anggota masyarakat bahkan orang-orang yang berkecimpung dalam bidang ekonomi masih gagap dalam berbicara masalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Nah, sebuah lembaga riset menghadirkan sebuah buku yang bisa menjadi referensi tepat untuk memahami mengenai apa itu Masyarakat Ekonomi ASEAN, apa yang sudah dilakukan negara tetangga, dan strategi apa yang harus disiapkan untuk menjadi pemenang dalam era integrasi ekonomi ASEAN ini.
Buku “Membidik Peluang Masyarakat Ekonomi ASEAN” adalah hasil kajian CORE Indonesia yang menyoroti mengenai perdagangan bebas regional yang baru saja diresmikan Januari lalu. CORE Indonesia menganggap isu tentang MEA harus terus disuarakan agar Indonesia lebih siap menghadapi dan mendapatkan manfaat yang maksimal dari MEA.
Buku ini disusun menjadi enam bab. Dua bab pertama berisi tentang gambaran latar belakang dan perkembanga MEA, juga posisi Indonesia saat ini. Bab tiga menjelaskan mengenai kondisi dan perkembangan dua negara ASEAN menjelang MEA, yakni Thailand dan Malaysia. Sedangkan tiga bab terakhir akan memaparkan tentang berbagai aspek ekonomi yang dimiliki Indonesia terkait dengan ASEAN. Buku ini juga membahas secara khusus bagaimana persiapan dan kondisi dari pesaing utama Indonesia dalam mendapatkan manfaat besar dari MEA yaitu Thailand dan Malaysia.
Kedua negara jiran itu disebut sebagai negara yang sudah melakukan persiapan serius menghadapi era perdagangan bebas regional. Di hampir semua sektor yang berada dalam kesepakatan MEA, kedua negara itu disebut-sebut yang paling siap untuk memenangkan persaingan regional. Sementara Indonesia, berdasarkan data, masih berada di bawah potensi yang ada, terutama dalam hal ekspor. Indonesia dinilai masih menghadapi banyak kendala bahkan ketika kesepakatan MEA itu sudah berjalan.
Lalu apakah buku ini menjawab bahwa Indonesia sudah siap menghadapi persaingan bebas dalam konteks MEA. Menurut buku ini, perdebatan mengenai kesiapan atau ketidaksiapan Indonesia dalam menghadap pasar bebas seperti MEA, sama panjangnya dengan pembahasan manfaat serta mudharat dari perdagangan bebas bagi Indonesia. Namun alih-alih meratapi dampak negatif dari kesepakatan tersebut, buku ini mendorong agar kita semua, khususnya pemerintah untuk memanfaatkan peluang yang ada dengan menggalang kekuatan (Bab 6, hal 197).
Buku ini tipikal dari penulis-penulis yang berada pada lembaga riset, didominasi dengan data-data aktual dan relevan dari setiap subyek yang dibahasnya. Bahkan Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian Kabinet Kerja dalam komentarnya ini mengatakan bahwa buku ini layak menjadi bacaan yang mencerahkan saat kita tengah menghadapi berbagai tantangan ekonomi, khususnya di era integrasi pasar ASEAN. “Didukung dengan banyaknya grafik di dalamnya, data yang ditampilkan bisa menjadi sumber informasi dan referensi,” kata mantan Gubernur BI.
Bagi peneliti dan pemerhati MEA mungkin buku ini tidak memberi nilai tambah cukup signifikan karena datadata yang ditampilkan sudah bisa dinikmati oleh mereka sehari-hari, bahkan sebelum ini. Akan tetapi, bagi masyarakat, maupun dan pemerintah buku ini bisa menjadi gambaran betapa masih lemahnya Indonesia ketika harus berhadapan dengan negara-negara tetangga. Dan sebagai pengambil kebijakan, pemerintah bisa mengambil manfaat banyak dari buku ini.