BERITA TERKAIT
Mata uang virtual bitcoin tengah jadi fenomena. Meski diliputi pro kontra, sejumlah merchant terkenal secara terang-terangan telah menyatakan siap menerima pembayaran dengan bitcoin, seperti produsen mobil listrik super mewah Telsa, maskapai penerbangan luar angkasa Virgin Galactic, sampai produsen pakaian dalam wanita papan atas Victoria Secret.
Bagaimana otoritas moneter Indonesia sebaiknya menyikapi bitcoin? Jawaban inilah yang ingin diketahui Bank Indonesia (BI) yang terangkum dalam riset ternyarnya bertajuk “Perspektif Virtual Currency Sebagai Mata Uang Alternatif”. Metodologi yang digunakan dalam riset ini dilakukan dengan cara pengumpulan informasi dari media internet, diskusi dengan pakar terkait serta korespondensi dengan bank sentral lain.
Tidak ada definisi yang baku terkait uang alternatif ini. Definisi yang paling mendekati mungkin yang dikeluarkan oleh Bank Sentral Eropa atau European Central Bank (ECB). Menurut ECB (2012), mendefiniskan uang virtual sebagai jenis uang digital yang penerbitan dan kontrolnya dilakukan oleh pengembangnya, tidak diatur oleh otoritas tertentu, dan biasanya hanya diterima dan digunakan oleh komunitas tertentu.
Lebih lanjut, ECB mengidentifikasi bahwa terdapat dua cara untuk memperoleh uang virtual. Pertama, membeli atau menukarkan dengan uang riil dengan nilai konversi tertentu yang disepakati. Kedua, meningkatkan kepemilikan uang virtual currency melalui kegiatan yang disyaratkan oleh penerbit uang virtual, seperti pemecahan algoritma tertentu atau perolehan bonus.
Ada tiga tipe yang telah diklasifikasikan oleh ECB. Pertama, skema uang virtual tertutup (closed virtual currency scheme). Skema ini merupakan model tertutup dan tidak ada keterkaitan langsung dengan uang riil. Pengguna biasanya membayarkan uang pendaftaran untuk menjadi anggota komunitas kemudian untuk memperoleh uang virtual untuk membeli barang virtual yang diperdagangan dalam komunitas virtual tersebut.
Kedua, skema uang virtual tidak langsung (virtual currency schemes with unidirectional inflow). Skema ini uang riil dapat dikonversikan ke uang virtual tapi tidak ada mekanisme pertukaran dari uang virtual ke uang riil karena fungsinya hanya untuk digunakan dalam jual beli di komunitas virtual.
Ketiga, skema uang virtual langsung (virtual currency schemes with bidirectional flow). Skema ini memungkinkan adanya mekanisme pertukaran antara uang riil dan uang virtual sehingga pada umumnya nilai uang tersebut dapat diperjual belikan selayaknya kurs mata uang.
Sementara itu berdasarkan karakteristiknya, Mc Kee (2013), membagi uang virtual dalam tiga kategori. Pertama, koin online. Koin online terutama berkembang di media jejaring sosial dan aplikasi mobile. Uang virtual jenis ini umumnya digunakan untuk membayar permainan online. Keberhasilan untuk memperoleh koin bergantung pada kemampuan mendapatkan koin virtual dengan cara menyelesaikan permainan atau dibeli dengan menggunakan uang riil. Dengan model ini, koin dapat digunakan untuk membeli atau meng-upgrade permainan. Namun, model ini tidak hanya terbatas pada permainan. Tercatat, beberapa perusahaan seperti HitBliss, Tapjoy, SessionM, dan TrialPay telah memfasilitasi penggunaan koin virtual untuk keperluan membayar iklan hingga men-download film atau acara TV.
Kedua, peer-to-peer (P-to-P) currency. Uang virtual jenis ini memiliki karakteristik dapat ditransaksikan tanpa memerlukan bank sentral. Ketiga, mobile payments. Uang virtual jenis ini muncul seiring pesatnya perkembangan teknologi smartphone. Karakteristik utamanya adalah digunakannya token jika konsumen dan pedagang melakukan transaksi.
Konsep E-currency
Konsep uang virtual currency khususnya untuk skema bidirectional flow sering diistilahkan pula sebagai uang elektronik atau electronic currency (e-currency). PT Xirca dan Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) ITB telah menjelaskan konsep mengenai e-currency, dimana merupakan konsep baru pembayaran elektronik sebagai pengganti uang yang terdapat pada uang elektronik yang ada saat ini.
E-currency tersebut memiliki nilai tukar mata uang (kurs) yang berbeda dengan uang kartal. Uang elektronik tersebut dikelola oleh sebuah institusi yang bertindak sebagai penerbit (issuer) sekaligus penerima (acquirer) dari uang elektronik. Misalnya, implementasi dengan menggunakan uang elektronik yang memiliki serangkaian karakter, yang dapat disebut sebagai nomor seri, yang tersimpan dalam sebuah basis data. Sebuah data akan dihapus bila uang elektronik tersebut telah digunakan dalam transaksi.
Dalam gambar di atas, sebuah institusi e-currency menerbitkan uang elektronik yang dipasarkan melalui agen penerbit (issuing agent). Konsumen A melakukan top up melalui issuing agent dan mendapatkan uang elektronik yang tersimpan dalam sebuah basis data. Dengan menggunakan perangkat, misalnya perangkat telepon selular, konsumen A melakukan transfer uang elektronik tersebut kepada Konsumen B. Setelah mendapatkan nomor seri uang elektronik, Konsumen B dapat melakukan penukaran uang elektronik tersebut dengan uang tunai melalui redeeming agent yang ditunjuk oleh institusi e-currency tersebut.
Pengiriman atau transfer uang elektronik dapat terjadi dari konsumen A ke konsumen B dengan menggunakan berbagai macam perangkat, misalnya perangkat ponsel. Transfer dilakukan dengan mengirimkan kode nomor seri uang elektronik tersebut melalui berbagai aplikasi dan teknologi yang terdapat pada perangkat ponsel, misalnya melalui teknologi Near Field Communication (NFC). Nomor seri tersebut diperoleh melalui issuing agent melalui aplikasi yang sama, sehingga proses transfer uang elektronik antara Konsumen A dan B dapat dilakukan dengan perangkat mobile.
Studi Kasus Bitcoin
Mengacu pada tipe dan karakteristik yang dilansir ECB dan Mc Kee di atas, maka bitcoin dapat digolongkan sebagai virtual currency schemes with bidirectional flow atau (P-to-P). Dengan kata lain, bitcoin dapat diperjualbelikan dan tidak membutuhkan bank sentral sebagai pendukungnya.
Bitcoin diterbitkan pertamakali oleh seorang atau sekelompok orang yang menggunakan nama samaran Satoshi Nakamoto pada tahun 2009. Satoshi mengembangkan bitcoin sebagai mata uang virtual yang dapat ditransfer antar individu (P-to-P) secara real-time dengan menggunakan internet tanpa biaya atau melibatkan pihak ketiga dengan menggunakan sistem kriptografi (crypto currency) sebagai pengaman. Selain bitcoin, sejumlah uang virtual lain yang menggunakan sistem kripto adalah litecoin, peercoin, dan namecoin.
Bitcoin diciptakan melalui proses “penambangan”. Yang dimaksudkan dengan penambangan adalah pemecahan persamaan matematika yang rumit dengan menggunakan sofwarte komputer yang kompleks. Penambang akan memperoleh bitcoin jika berhasil memecahkan persoalan matematika tersebut.
Namun proses penambangan sangat sulit. Sebagai gambaran, persamaan matematika yang digunakan dalam proses penambangan membutuhkan waktu sekitar 3 tahun untuk memecahkannya apabila hanya menggunakan 1 unit komputer yang memiliki prosesor tercepat saat ini (AMD Phenom II X4810). Hal ini yang membuat banyak orang memilih membeli bitcoin dari pihak lain, seperti Coinbase.com dan Mt.Gox.com.
Sementara itu, untuk menjaga kestabilan nilainya, jumlah bitcoin yang diterbitkan dibatasi hingga 21 juta, yang akan tercapai pada tahun 2030-an. Pasokan yang terbatas inilah yang kemudian mengundang minat investor tertarik mengoleksi bitcoin karena beranggapan bahwa nilai bitcoin akan meningkat dengan berjalannya waktu. Sebagai informasi saja, hingga tahun lalu, ini jumlah bitcoin yang beredar adalah 11.945.100 unit bitcoin.
Adapun cara pembatasan bitcoin dilakukan dengan skema setiap 4 tahun jumlah bitcoin yang diterbitkan akan berkurang 50 persen. Misalnya, pada 2009-2012 ditetapkan bahwa setiap 10 menit akan tercipta 50 bitcoin, sehingga setiap tahun akan tercipta 2.628.000 bitcoin (50 Bitcoin per blok x 6 blok per jam x 24 jam x 365 hari). Selanjutnya pada 2013-2016 ditetapkan bahwa setiap 10 menit akan tercipta 25 bitcoin (berkurang 50 persen). Demikian seterusnya.
Satoshi mengkalim transaksi menggunakan bitcoin aman, sepanjang kekuatan komputer kelompok pemakai yang jujur melebihi kekuatan komputer kelompok penyerang, paling tidak karena dua alasan. Pertama, bitcoin menggunakan teknik enkripsi (public key cryptography) untuk pengiriman informasi. Kedua, bitcoin memiliki protokol untuk mencegah penggunaan. bitcoin yang sama untuk bertransaksi lebih dari sekali (double spending). Protokol bitcoin memanfaatkan jaringan P2P bitcoin yang luas untuk memverifikasi keunikan transaksi melalui public ledger yang memuat semua transaksi yang pernah terjadi secara detil untuk mencegah double spending.
Magnagn et dandan Ri siko iko
Terdapat beberapa faktor yang membuat bitcoin memiliki daya tarik yang cukup tinggi bagi para investor. Pertama, mata uang ini bersifat independen karena tidak ada otoritas yang mengatur dan mengawasinya.
Kedua, transaksi sangat fleksibel karena dapat dilakukan setiap saat oleh siapa saja secara langsung ke tujuan dalam waktu yang sangat cepat dengan biaya yang sangat murah. Beban biaya hanya berasal dari biaya koneksi internet dan tanpa nilai minimum transfer.
Ketiga, transaksi sangat aman karena menggunakan sistem enkripsi berlapis hingga sangat sulit untuk diretas dan tidak terlacak. Semakin banyak pemakai yang jujur maka semakin sulit untuk meretas sistem ini.
Keempat, bagi merchant atau pedagang yang menerima mata uang bitcoin, risiko transaksi dengan mata uang ini lebih rendah karena transaksi bersifat final. Hal ini tidak seperti menggunakan kartu kredit dan debit yang dapat saja gagal karena berbagai faktor, seperti melebih limit, dana tidak cukup, atau bahkan dibatalkan oleh bank penerbit.
Kelima, keberadaan pedagang dan bursa mata uang bitcoin membuat mata uang ini relatif mudah untuk dikonversikan ke berbagai mata uang resmi.
Namun sebagian dari daya tarik tersebut juga menyebabkan bitcoin memiliki risiko yang cukup tinggi. Pertama, ketiadaan otoritas moneter yang mengendalikannya membuat nilai bitcoin cenderung berfluktuasi tinggi. Berdasarkan catatan, pernah terjadi dalam tempo 30 menit nilai bitcoin turun Rp500 ribu per unit. Padahal saat nilainya jatuh, tidak ada bank sentral yang akan memberi jaminan untuk menaikkan kembali nilai mata uang ini.
Selain itu, sifat transaksi yang anonymous sehingga sulit dilacak menyebabkan bitcoin berpotensi tinggi untuk digunakan pada transaksi ilegal. Pihak berwajib Amerika Serikat telah menemukan bukti bitcoin digunakan sejumlah kalangan untuk transaksi ilegal, seperti perdagangan senjata, jual beli software peretas website, hingga transaksi narkotika.
Risiko lainnya terkait sifat sistem yang terbuka (open source) dan dalam tahap pengembangan sehingga kerentanan keamanannya masih cukup tinggi. Terutam jika komputer, ponsel, atau tablet yang digunakan untuk menyimpan bitcoin dibobol para perentas data (hacker) melalui malware dan virus.
Selain itu, risiko kehilangan bitcoin bisa terjadi karena kelalaian pemilik yang mengakibatkan hardisk atau server tempat penyimpan bitcoin rusak atau terhapus tanpa sengaja. Kejadian yang dialami James Howelss, seorang pemilik bitcoin dari Wales, bisa dijadikan contoh. Seperti dilansir dari CNN Money, James membuang hardisk yang menyimpan bitcoin miliknya sekitar empat tahun lalu. Kini, saat nilai kurs bitcoin telah melonjak drastis, James baru menyadari telah ‘tidak sengaja’ membuang hartanya yang jika dinilai dengan kurs saat ini setara Rp100 miliar.
Prospek di Indonesia
Bitcoin memiliki karakteristik sebagai mata uang karena bisa diterima sebagai alat pembayaran, paling tidak di antara komunitasnya. Selain itu, nilainya juga dijaga melalui jumlah penerbitan yang terbatas. Namun bitcoin memiliki sejumlah kelemahan terutama karena bukan merupakan mata uang yang sah dan resmi karena tidak diterbitkan otoritas yang berwenang, seperti BI yang bisa menerbitkan dan mengatur, mengelola sirkulasi dan distribusi, menjamin keaslian, dan menjaga nilai tukarnya. Hal ini karena semua fungsi tersebut, dalam skema bitcoin, dilakukan oleh sistem sehingga tidak jelas penanggungjawabnya.
Kelemahan lain adalah terkait aturan hukum. Dalam UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang disebutkan secara tegas bahwa mata uang rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia dalam bentuk uang kertas dan uang logam dengan ciri dan karakteristik tertentu. Sehingga jika bitcoin diposisikan sebagai mata uang untuk bertransaksi legal di Tanah Air akan bertentangan dengan UU dimaksud. Namun demikian UU tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk mengakui dan/atau melarang bitcoin sebagai alat pembayaran.
Oleh karena itu, meskipun produksi bitcoin terbatas karena tingkat kompleksitas cara memperoleh (penambangan) dan menggunakan bitcoin hanya dimengerti oleh orang yang paham IT, namun kegiatan dan penggunaan bitcoin tetap perlu dipantau, agar tidak timbul ekses negatif di kemudian hari.
Di samping itu, hal lain yang juga menjadi pertimbangan adalah tanggapan dari beberapa negara terhadap perkembangan bitcoin, sebelum BI menentukan kebijakan terkait pengaturan bitcoin, karena sejauh ini belum ada negara yang melarang penggunaannya, kecuali China yang melarang lembaga keuangan untuk menggunakan bitcoin sebagai mata uang
Singkatnya, terdapat kecenderungan regulator untuk membiarkan penggunaan bitcoin oleh individu, walaupun dengan peringatan bahwa risiko ditanggung sendiri oleh pengguna. Oleh karena itu sebaiknya BI memperhatikan dan memantau perkembangan bitcoin saat ini di Indonesia dan potensi penggunaannya ke depan untuk mempertimbangkan pelarangan penggunaan bitcoin di Indonesia.
Namun demikian, mengacu pada UU No. 23 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa BI berhak menetapkan mata uang rupiah sebagai legal tender, maka dimungkinkan bagi BI untuk menerbitkan uang virtual. Apalagi konsep uang virtual dapat menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat untuk mendukung kegiatan transaksi ekonominya.
Dengan perkembangan teknologi informasi dan tren penggunaan uang virtual yang semakin tinggi, wacana tersebut perlu mendapat perhatian khusus. Alasannya adalah bahwa penggunaan uang virtual yang diterbitkan oleh otoritas legal, seperti BI, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat tertentu yang lebih nyaman untuk menggunakan uang virtual. Selain itu, langkah ini juga diharapkan dapat menggurangi penggunaan uang virtual yang tidak memiliki izin legal.
Aspek pendistribusian uang virtual yang diterbitkan oleh otoritas resmi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan uang tradisional saat ini. Perbankan dapat menjadi distributor penyaluran uang ke masyarakat. Setiap jalur distribusi memiliki kode unik sehingga jumlah uang yang disalurkan terpantau. Selain perbankan, penerbit uang elektronik saat ini, bank maupun non bank, dapat menjadi penyedia infrastruktur sehingga penerbitan uang virtual ini tidak perlu mengganti ekosistem sistem pembayaran non tunai yang sudah ada selama ini.
Penggunaan uang virtual yang diterbitkan oleh otoritas resmi uang memiliki keunggulan dibanding uang traditional. Pertama, kontrol terhadap jumlah uang beredar. Pencetakan uang bisa dikontrol sesuai kebutuhan, dan karena masing-masing nilai uang memiliki nilai unik, jumlahnya tidak mungkin lebih besar dari jumlah yang dicetak. Selain itu karena memiliki algoritma khusus yang diciptakan oleh mesin pencetak uang tertentu, upaya penggandaan uang menjadi sulit dilakukan.
Kedua, kemudahan penghitungan uang beredar. Dengan jumlah tercatat dan masing-masing unit memiliki nilai unik, setiap perputaran uang berikut multiplier effect (proses penciptaan uang oleh bank) dapat dihitung dengan mudah dan cepat. Bagi otoritas moneter hal ini akan mendukung dalam perhitungan besaran moneter termasuk jumlah uang beredar yang optimal untuk mendukung kegiatan perekonomian.
Ketiga, kemudahan untuk melakukan kegiatan operasi moneter. Hal ini terkait erat dengan alasan sebelumnya, khususnya untuk kegiatan operasi moneter misalnya dalam rangka intervensi dan ekspansi moneter. Dengan uang virtual maka secara tepat otoritas dapat menarik dan menggelontorkan jumlah uang beredar yang sesuai.
Keempat, efisiensi biaya. Efisiensi biaya dapat dipandang dari sisi, yaitu dari aspek efisiensi pencetakan dan pendistribusian uang oleh bank sentral dan kedua dari aspek perekonomian masyarakat, yaitu minimalisasi cash handling dan risiko memegang uang.
Kelima, mendukung inklusi keuangan (financial inclusion). Karena sifatnya yang mudah didistribusikan, penggunaan uang virtual dapat disalurkan dengan mudah (tanpa upaya distribusi secara fisik) sampai ke seluruh pelosok. Hal ini diharapkan berdampak pada semakin tingginya inklusi keuangan bagi masyarakat khususnya unbanked.
Namun di samping memiliki sejumlah keunggulan, penggunaan uang virtual yang yang diterbitkan oleh otoritas tetap memiliki sejumlah kekurangan. Pertama, risiko penolakan masyarakat. Pasalnya uang virtual belum memiliki best practice dalam implementasinya. Sehingga risiko kegagalan implementasi e-currency sangatlah tinggi. Hal ini karena adanya potensi penolakan dari masyarakat untuk menggunakan alat pembayaran baru berupa uang virtual. Namun risiko ini dapat dimitigasi dengan melakukan pengembangan dan implementasi secara bertahap, serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai penggunaan alat pembayaran baru uang virtual.
Kedua, potensi kejahatan (fraud). Adanya potensi fraud dengan menggunakan alat pembayaran uang virtual. Risiko ini dapat dimitigasi dengan menerapkan standar pengamanan yang tinggi pada institusi yang menyelenggarakan pembayaran elektronik menggunakan uang virtual.
Ketiga, Adanya potensi kesulitan untuk diadopsi mengingat saat ini uang virtual belum bisa diimplementasikan dengan baik dan lancar di belahan negara manapun. Risiko ini sangat sulit dimitigasi, mengingat uang virtual belum pernah diimplementasikan sama sekali, sehingga risiko kegagalan dalam implementasi uang virtual sangat tinggi.