Seiring pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, revolusi industri adalah sebuah keniscayaan. Revolusi industri pertama yang dimulai dengan penggunaan mesin ketel uap di periode 1700-an, kini sudah mulai terwujud dalam revolusi penggunaan aplikasi teknologi informasi yang tidak pernah dibayangkan manusia sebelumnya, revolusi industri ke 4.
Dunia industri perbankan pada revolusi industri pertama, kedua dan ketiga tidak banyak tersentuh perkembangan revolusi secara langsung. Hanya pada masa akhir revolusi industri ketiga perbankan tersentuh melalui serangkaian penggunaan IT dalam operasional perbankan. Baru pada masa revolusi industri keempat, industri perbankan benar-benar mulai terseret ke dalam pusarannya.
Sentuhan revolusi industri pada dunia perbankan dimulai dari penggunaan mesin ATM, anjungan tunai mandiri, hingga pada mobile banking dan internet banking yang sudah bisa diakses masyarakat secara luas. Kondisi ini menjadi benefit perbankan dalam menjangkau konsumen lebih luas.
BERITA TERKAIT
Namun, di sisi lain, perkembangan teknologi informasi yang bagai air bah, menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensi dunai perbankan. Hari-hari ini, ancaman tersebut datang dari munculnya crowdfunding dan beragam turunan financial technology (fintech).
Inefisiensi
Dari aspek mikro perbankan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi akan memberi dampak positif terhadap efisiensi dan peningkatan daya saing. Salah satu indikator yang bisa digunakan adalah rasio BOPO (Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional).
Berkaitan dengan biaya operasional, beban non bunga (operating expenses) mengambil porsi hingga 53,30 persen terhadap total biaya operasional (per Triwulan IV 2015), sedangkan sisanya 46,70 persen merupakan beban bunga (cost of fund). Adapun beberapa komponen yang mempengaruhi besarnya beban operasional non bunga yakni biaya gaji pegawai dan biaya operasional kantor. Dengan demikian, perbaikan teknologi dapat menjadi strategi untuk meningkatkan efisiensi sembari misalnya melakukan pengurangan kantor cabang dan pegawai (branchless banking).
Melalui indikator Rasio BOPO ini pula terkonfirmasi bahwa perbankan di Indonesia masih kalah efisien dibanding dengan negara sekawasan. Rasio BOPO perbankan Indonesia masih di atas 80 persen, sedangkan Malaysia 40 persen Singapura 42 persen dan Thailand 54 persen. Seperti telah disebutkan sebelumnya, tingginya rasio BOPO di Indonesia menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya suku bunga kredit sehingga pada akhirnya menghambat penyaluran kredit bagi masyarakat. Maka tidak mengherankan jika kinerja penyaluran kredit perbankan Indonesia hanya tumbuh 8,52 persen per Maret 2016 (yoy), lebih rendah dari target OJK (12-14 persen) dan BI (11-14 persen).
Rasio BOPO terkecil berada pada kelompok Bank besar dengan modal inti lebih dari Rp50 triliun (BUKU IV) yakni 75,94 persen. Sementara kelompok bank BUKU 1 (modal inti di bawah Rp 1 triliun), BUKU 2 (modal inti Rp 1 triliun – Rp 10 triliun) dan BUKU 3 (modal inti Rp10 triliun – Rp50 triliun) memiliki Rasio BOPO di atas 80 persen. Hal ini membuktikan bahwa bank dengan modal besar memiliki tingkat efisiensi yang lebih baik didukung oleh pemanfaatan teknologi yang modern. Apalagi merujuk pada peraturan BI, bank pada kelompok BUKU 1 dilarang memanfaatkan internet banking.
Dengan demikian, seiring tuntutan perkembangan teknologi informasi, bank-bank dengan modal kecil akan dituntut untuk meningkatkan modal usahanya. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan restrukturisasi baik merger maupun akuisisi. Restrukturisasi alamiah ini juga turut mendorong program penguatan struktur perbankan nasional sebagaimana yang telah ditargetkan Bank Indonesia melalui roadmap Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Jika target API tersebut tercapai, struktur perbankan Indonesia akan lebih ramping dan optimal. Kemudian, dengan kapasitas modal yang kuat, perbankan akan lebih leluasa dalam menginvestasikan dananya untuk pengembangan teknologi informasi yang berujung pada efisiensi usaha.
Rasio BOPO Perbankan Indonesia Berdasarkan Kelompok Usaha ( persen)
Dengan fakta bahwa masih terjadi inefisiensi perbankan di Indonesia, akhirnya menyuburkan terjadinya ekspansi teknologi informasi di bidang keuangan, atau yang kerap disebut financial technology (fintech). Oleh karena sifatnya yang dinamis, aplikasi fintech dalam bidang keuangan pada akhirnya menjadi ancaman tersendiri (disruptive innovation) bagi industri perbankan. Berbagai produk fintech bahkan kini merambah pada bisnis yang dijalankan oleh perbankan seperti pengumpulan dan penyaluran dana masyarakat (crowdfunding), layanan pembayaran, transfer dana, sampai pengelolaan aset. Keberadaan fintech ini seakan menjadi jawaban atas ketidakefisienan industri perbankan dalam mengelola dana masyarakat.
Berbeda dengan mekanisme pemberian kredit oleh industri perbankan yang terkesan berbelit dan persyaratan yang rumit. Crowdfunding memungkinkan peminjam memperoleh dana dengan cepat dan bunga yang lebih kompetitif, sementara pemilik dana mendapat keuntungan (return) yang lebih baik dan terukur sesuai profil risiko. Hal ini dapat dilakukan melalui sistem peer to peer lending (P2PL) di mana individu peminjam dan pemberi pinjaman (investor) dipertemukan dengan platform yang disediakan oleh perusahaan P2PL. Berdasarkan riset Accenture di wilayah Asia Pasifik, nilai investasi di bidang fintech sepanjang Triwulan I-III 2015 mencapai 3,5 miliar dollar AS atau tumbuh 4 kali lipat dari pencapaian tahun 2014 yakni 880 juta dollar AS. Investasi tersebut berbentuk dalam sistem pembayaran (payment) sebesar 40 persen dan pembiayaan (lending) sebesar 25 persen.
Berkaca dengan realitas tersebut, industri perbankan tidak bisa menghindar dan menafikan begitu saja ekspansi besar-besaran yang dilakukan oleh pelaku bisnis fintech. Dengan potensi besar di balik pemanfaatan teknologi informasi, industri perbankan tentunya harus segera menyesuaikan diri dengan turut memodernisasi sistem informasi dan teknologi sehingga dapat memperluas jangkauan pelayanan bagi masyarakat (financial inclusion). Melalui pemanfaatan fintech, operasional perbankan akan lebih unggul dalam hal kecepatan dan efisiensi.
Peluang Besar
Ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan oleh perbankan di tengah ancaman perkembangan teknologi yang massif ini. Pertama, kebutuhan konsumen; kedua adanya dukungan dari pemerintah atau otoritas berupa program financial inclusion; ketiga efisiensi perbankan; dan keempat mendukung financial deepening di Indonesia.
Kebutuhan konsumen sekarang akan kemudahan dalam bertransaksi dan menikmati layanan yang lebih adalah tuntutan yang tak bisa ditawar. Faktor penyebabnya adalah mereka adalah mayoritas dan kelas menengah Indonesia yang kebetulan terlahir dan tumbuh dalam dunia milenia, dunia yang sudah diisi dengan berbagai perkembangan teknologi yang luar biasa.
Saat ini, pertumbuhan kelas menengah di Indonesia besar dibandingkan dengan pertumbuhan kelas menengah di negara lain. Pada tahun 2015, pertumbuhan kelas menengah di Indonesia mencapai 174 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Negara Filipina (72 persen), Thailand (39 persen), Malaysia (18 persen) dan Singapura (10 persen).
Pertumbuhan Kelas Menengah di Beberapa Negara ASEAN Tahun 2015
Kedua, dukungan pemerintah. Saat ini pemerintah tengah gencar-gencarnya mewujudkan keuangan inklusif di Indonesia. Beberapa keuntungan dari keuangan inklusif adalah meningkatkan efisiensi ekonomi, mendukung stabilitas sistem keuangan, mengurangi shadow banking atau irresponsible finance, memberikan potensi pasar baru bagi perbankan, serta berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional yang berkelanjutan.
Hingga saat ini kondisi keuangan infklusif di Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara kawasan ASEAN, semisal Thailand, Vietnam, Singapura, Malaysia dan Filipina. Salah satu indikator yang bisa digunakan untuk menilai level perkembangan keuangan inklusif adalah persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang memiliki rekening di lembaga keuangan.
Pada 2014, persentase penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan sebesar 35,95 persen. Angka tersebut masih jauh jika dibandingkan dengan Malaysia (80,67 persen), Filipina (78,14 persen) dan Singapura (96,35 persen).
Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Yang Memiliki No Rekening Di Lembaga Keuangan (persen)
Salah satu hal yang bisa mendorong perkembangan keuangan infklusif adalah ketersediaan infrastuktur teknologi informasi dalam wujud digital banking atau semisalnya. Keberadaan teknologi informasi memungkinkan bank memiliki agen di pelosok perdesaan dengan biaya lebih murah dibandingkan jika mereka harus membuka kantor cabang atau kantor kas. Saat ini program tersebut sedang digalakkan juga oleh otoritas yang biasa disebut branchless banking. Semakin banyak agen yang dimiliki oleh bank, maka semakin besar pasar yang akan dimiliki oleh bank. Impact-nya, semakin banyak penduduk di Indonesia yang akan tersentuh dengan produk dan layanan perbankan.
Ketiga, efisiensi struktur biaya. Digital banking bisa menjadi salah satu terobosan untuk mengurangi struktur biaya, terutama overhead cost yang menjadi salah satu penyumbang pengeluaran operasional perbankan, di luar biaya bunga. Namun di sisi lain, terobosan tersebut menjadi ancaman bagi pengurangan pekerja di dunia perbankan.
Dukungan Regulasi
Sejalan dengan ledakan inovasi teknologi informasi di bidang keuangan (fintech), berbagai otoritas terkait (OJK, BI, Kementerian Kominfo, dan regulator lainnya) dituntut agar dapat menyempurnakan payung hukum ataupun peraturan yang lebih komprehensif terkait bisnis fintech di Indonesia. Penyempurnaan instrumen regulasi ini menjadi penting mengingat aktivitas fintech yang berkembang begitu pesat melampaui peraturan yang telah ada. Beberapa hal yang perlu dicakup dalam regulasi itu antara lain mengenai aspek keamanaan operasional dan transaksi, sumber daya manusia, dan pengelolaan dan manajemen risiko. Selain itu, regulasi juga harus memuat prosedur perizinan bagi perusahaan yang menjalankan usaha di bidang fintech. Seluruh regulasi ini bertujuan untuk menjamin terlindunginya konsumen atau masyarakat dari praktik-praktik yang mengarah pada penipuan (fraud).
Lebih jauh lagi, regulator juga perlu memperhatikan aspek persaingan yang sehat dalam bisnis fintech. Oleh karena itu, akan lebih baik jika otoritas dapat mengarahkan terjalinnya kolaborasi antara lembaga keuangan formal dengan entitas bisnis fintech yang relatif baru terbentuk. Apalagi bermodalkan jaringan antara lembaga keuangan formal dengan sektor UMKM, pemanfaatan fintech akan sangat membantu memperluas penyaluran kredit. Akhirnya, keberadaan fintech tidak lagi menjadi momok yang ditakuti oleh lembaga keuangan formal (destruction) namun justru dapat menjadi mitra bisnis yang konstruktif.