SALAH satu tantangan perekonomian 2017 adalah likuiditas perekonomian. Hingga September 2016, angka loan to deposit (LDR) perbankan Indonesia mencapai 90,4, bahkan ada perbankan yang sudah menyentuh angka 100 persen. Angka LDR perbankan Indonesia tersebut jauh meningkat dibandingkan sejak tahun 2010 sebesar 75,21 persen. Peningkatan drastis ini menandakan bahwa likuiditas perbankan di Indonesia sedang menuju arah kekeringan.
LDR semakin tertekan ketika pertumbuhan kredit lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan dana pihak ketiga. Pada 2010, pertumbuhan kredit perbankan umum sebesar 23,37 persen, sedangkan pertumbuhan DPK hanya 19 persen. Kondisi tersebut berlanjut hingga Agustus 2016 di mana pertumbuhan kredit sebesar 6,4 persen sedangkan pertumbuhan DPK sebesar 4 persen.
Selain indikator loan to deposit ratio, indikasi ketatnya likuiditas bisa dilihat dari kesenjangan antara tabungan dan investasi (saving investment gap). Jika kesenjangan tabungan-investasinya negatif, maka terdapat keterbatasan modal di dalam perekonomian. Jika kesenjangan tabungan-investasinya positif, maka terdapat surplus tabungan yang menunjukkan ketersediaan modal yang melimpah.
BERITA TERKAIT
Indikator untuk mengetahui ada tidaknya kesenjangan tabungan-investasi adalah dengan melihat current account yang ada. Dalam kerangka Saving-Investment Approach, apabila nilai transaksi berjalannya negatif, maka bisa dikatakan terdapat kesenjangan negatif antara tabungan-investasi. Artinya, nilai tabungan lebih kecil dibandingkan dengan investasi. Sebaliknya, apabila nilai transaksi berjalannya positif, maka bisa dikatakan terdapat kesenjangan yang nilainya positif antara tabungan dan investasi. Artinya, nilai tabungan lebih besar dibandingkan dengan investasi.
Data menunjukkan, saat ini Indonesia mengalami kesenjangan tabungan-investasi yang bernilai negatif. Sejak 2012 hingga sekarang nilai current account Indonesia selalu mengalami defisit. Kondisi ini sejalan dengan LDR di dalam negeri yang semakin memperlihatkan peningkatan sejak 2012. Artinya benar, ada pengetatan likuiditas yang dimulai sejak 2012.
Pada 2012, nilai defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar 24,418 miliar dollar AS atau 2,65 persen dari nilai produk domestik brutonya. Angkanya terus meningkat di 2014 menjadi 27,48 miliar dollar AS atau sekitar 3,09 persen dari produk domestik bruto. Hingga 2016 kuartal, defisit masih terus terjadi, besarannya 14,25 miliar dollar AS.
Kesenjangan tabungan-investasi yang bernilai negatif mengancam keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Pasalnya defisit transaksi berjalan yang ada akan mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dollar AS. Semakin defisit, maka tekanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar AS semakin kuat. Imbasnya adalah ancaman inflasi impor serta cadangan devisa yang tergerus.
Tekanan Likuiditas Fiskal
Dalam menghadapi tekanan global dan memperkuat fundamental domestik, pemerintah terus berupaya melaksanakan kebijakan stimulus ekonomi melalui serangkaian belanja produktif khususnya pembangunan infrastruktur. Untuk melaksanakan berbagai program dan proyek pembangunan tersebut tentunya memerlukan sumber pembiayaan yang sangat besar. Sayangnya untuk memenuhi ambisi pembangunan tersebut pemerintah dihadapkan pada keterbatasan likuiditas fiskal.
Menariknya, di tengah kondisi sektor riil yang masih lesu, pemerintah seakan menafikan realitas tersebut dan memaksakan alokasi anggaran belanja yang tinggi. Konsekuensinya pemerintah harus bekerja keras menggali sumber penerimaan negara terutama dari pajak. Namun, karena pemerintah kesulitan menggenjot penerimaan pajak, akhirnya target penerimaan pajak pada APBN 2017 justru diturunkan dari Rp1.539 triliun (APBNP 2016) menjadi Rp1.498 triliun.
Salah satu ganjalan terbesar ialah rendahnya realisasi penerimaan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Buktinya, terjadi kecenderungan peningkatan selisih antara target dengan realisasi pajak (shortfall). Hal ini turut menyebabkan membengkaknya defisit fiskal dari Rp296,7 triliun pada 2016 menjadi Rp330,2 triliun pada 2017.
Kemudian untuk menambal defisit fiskal ini pemerintah mencari sumber pembiayaan terutama dari penerbitan Surat Berharga Nasional SBN). Celakanya, agresivitas pemerintah menyedot likuiditas via SBN justru semakin menggerus sumber likuiditas yang dibutuhkan oleh sektor riil melalui perbankan. Sebab, perbankan makin sulit bersaing dengan SBN pemerintah dalam memperebutkan dana masyarakat.
Upaya pemerintah dan otoritas moneter dalam mewujudkan suku bunga kredit single digit jugaakan sangat sulit tercapai karena perbankan harus bersaing dengan portofolio SBN dalam memperebutkan likuiditas yang semakin terbatas. Di sisi lain, yield yang ditawarkan SBN juga relatif tinggi (8-9 persen) sehingga perbankan juga harus merogoh biaya yang tinggi dalam menyerap sumber dana.
Bahkan, melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.1/POJK.05/2016, setiap lembaga jasa keuangan non-bank diwajibkan untuk menempatkan investasi pada instrumen SBN, mulai 20 sampai 30 persen dari total investasi perusahaan. Implikasinya tentu makin memperkering likuiditas perbankan, sebab profiling investasi perusahaan asuransi akan bergeser secara langsung.
Penggerusan likuiditas juga dipengaruhi oleh pemberlakuan program tax amnesty, khususnya pada periode pertama di bulan Juli-September 2016. Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan banyak ditarik untuk pembayaran uang tebusan tax amnesty. Masalahnya kemudian, uang tebusan yang mencapai Rp93,6 triliun per 30 September 2016 tersebut ternyata tidak langsung kembali ke sistem perbankan tapi justru mengendap di rekening kas pemerintah. Tersedotnya likuiditas perbankan juga akan berlanjut hingga periode tax amnesty berakhir yaitu Maret 2017. Sementara itu dana repatriasi sebesar Rp143 triliun terlambat masuk ke ndonesia.
Tekanan likuiditas semakin berat manakala pemerintah berencana melakukan kebijakan prefunding dalam rangka menutup kebutuhan belanja fiskal pada Januari 2017 sebesar Rp116 triliun. Belanja tersebut melingkupi pembayaran gaji pegawai, transfer dana alokasi umum (DAU), dan beberapa belanja yang sudah dijadwalkan untuk bulan pertama. Dalam merealisasikan strategi prefunding tersebut, pemerintah berencana menerbitkan SBN sekitar Rp63,5 triliun. Di saat yang sama, surutnya likuiditas di akhir tahun ini juga akan dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran uang tebusan tax amnesty tahap II serta kebutuhan refinancing dan pembayaran pajak oleh swasta.
Dari faktor global, ancaman kenaikan The Fed Rate semakin nyata setelah kemenangan Presiden Donald J Trump pada pemilihan Presiden AS November 2016 lalu. Selain sinyal perbaikan ekonomi AS, kebijakan-kebijakan ekonomi Trump yang mengarahkan pendulum proteksionisme menjadi salah satu indikasi penguatan The Fed Rate.
Bahkan per 14 Desember 2016, Janet Yellen, Gubernur Bank Sentral AS telah mengumumkan adanya kenaikan The Fed Rate. The Fed Rate naik sebesar 25 basis poin dari 0,50 menjadi 0,75. Kenaikan ini merupakan untuk kedua kalinya sejak Desember 2015. Alasan penaikan The Fed Rate ini didasari pada proyeksi mengenai kenaikan inflasi sebagai akibat perbaikan ekonomi Amerika Serikat serta ketatnya pasar tenaga kerja di Negeri Paman Sam tersebut. Kenaikan pada Desember ini semakin menguatkan bahwa The Fed Rate akan kembali naik pada 2017. (The Washington Post, 15/12/16).
Implikasi dari kenaikan the Fed rate tersebut tidak akan jauh dari capital outflow, depresiasi nilai tukar rupiah, neraca transaksi berjalan yang semakin tertekan dan berkurangnya cadangan devisa nasional. Kondisi tersebut akan menjadikan likuiditas perbankan di dalam negeri akan semakin terkuras yang terlebih dikarenakan persaingan antara Pemerintah dan perbankan dalam memperebutkan dana di masyarakat.
Pemerintah jelas membutuhkan dana segar untuk menutup defisit anggaran negara. Muncul implikasi kenaikan The Fed Rate seperti yang disebutkan sebelumnya,akan menjadikan pilihan Pemerintah dalam mencari dana segar melalui obligasi negara terbatas. Persaingan dengan perbankan pun tidak terhindarkan.
Tantangan Perbankan
Seperti diurai sebelumnya bahwa pelambatan pertumbuhan ekonomi domestik dan global menyebabkan penurunan kinerja perbankan, terutama dalam hal penyaluran kredit dan penghimpunan DPK. Penurunan daya beli masyarakat yang disertai pelemahan permintaan agregat akhirnya memaksa produsen untuk menahan atau bahkan mengurangi volume produksinya. Imbasnya, pelaku usaha melakukan pengurangan permintaan kredit dari perbankan. Di saat yang sama, perbankan juga menghadapi kekhawatiran dalam menyalurkan kredit baru karena meningkatnya risiko bisnis.
Berkaca pada situasi ini, otoritas moneter dan otoritas jasa keuangan kemudian melakukan pemangkasan proyeksi kredit untuk tahun 2016. Pada Proyeksi awal OJK terhadap pertumbuhan kredit sebesar 12-13 persen, kini direvisi hanya akan mencapai 6-8 persen. Sedangkan BI masih lebih optimis dengan revisi pertumbuhan kredit menjadi 7-9 persen dari proyeksi sebelumnya sebesar 10-12 persen.
Kinerja intermediasi perbankan saat ini sangat erat kaitannya dengan faktor commodity boom yang telah melandai. Daerah-daerah yang sebelumnya sangat mengandalkan sektor komoditas seperti perkebunan dan pertambangan, kini justru menunjukkan pertumbuhan regional yang negatif. Imbasnya adalah pertumbuhan kredit di daerah mengalami pelambatan yang cukup dalam seperti di Kalimantan Timur (1,9 persen) dan Sumatera Utara (2,4 persen). Hal ini lebih disebabkan ketergantungan pada sektor komoditas seperti batu-bara dan perkebunan kelapa sawit. Disaat harga komoditas turun maka risiko kredit macet meningkat dan menyebabkan permintaan kredit menurun.
Seiring dengan pelambatan laju kredit, pertumbuhan DPK di provinsi Kalimantan Timur mengalami kontraksi hingga -12,4 persen (yoy). Penurunan DPK didorong oleh turunnya pendapatan masyarakat secara umum. Kondisi ini juga menyebabkan perpindahan nasabah ke wilayah lainnya yang memiliki sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Sementara itu tingkat kredit macet di daerah juga cukup mengkhawatirkan. Daerah Kalimantan Timur mencatatkan NPL tertinggi yaitu 7,75 persen dua kali lipat dibandingkan rata-rata NPL nasional yakni 3,1 persen per September 2016. Posisi NPL tertinggi kedua dan ketiga ditempati Irian Jaya Barat dan Papua. Sedangkan daerah dengan NPL terendah ialah Sulawesi Barat dan Kalimantan Tengah masing-masing mencatatkan NPL 1,22 persen dan 1,46 persen.
Kondisi kinerja perbankan di daerah tersebut pada akhirnya membuktikan tekanan yang memang sedang dihadapi perbankan secara nasional. Dengan pertumbuhan kredit dan DPK yang cenderung menurun serta tingkat NPL yang tinggi menjadikan perbankan semakin terengah-engah menambah pasokan likuiditas di tahun-tahun mendatang.
Belum lagi dengan berkembangnya fintecth dari sektor telekomunikasi yang sangat potensial merebut pangsa likuiditas perbankan. Sebagai contoh dengan keluarnya produk t-cash oleh Telkomsel, masyarakat terdorong lagi untuk memanfaatkan layanan non cash. Jika industri telekomunikasi ini semakin gencar melakukan ekspansi dalam hal layanan keuangan digital maka bukan tidak mungkin perang likuiditas antar industri semakin memanas.
Likuiditas Alternatif
Diperlukan sumber likuiditas alternatif bagi perekonomian, terutama bagi perbankan. Inklusi keuangan adalah salah satu kuncinya. Namun, hingga saat ini Indonesia masih terganjal masalah literasi keuangan yang masih rendah, baik dari sisi supply dan demand. Dari sisi suplai, industri keuangan kita masih belum bisa memberikan layanan keuangan yang murah dan menjangkau pelosok. Ketatnya likuiditas dan infrastruktur yang belum settle menjadi kunci suplai yang masih terhambat.
Di sisi permintaan, tingkat pengetahuan masyarakat tentang perbankan di Indonesia masih minim. Selain Karena keterjangkauan akses lembaga keuangan yang belum menyentuh sebagian masyarakat kita, keengganan masyarakat untuk menggunakan layanan jasa keuangan juga disebabakan proses yang rumit jika dibandingkan dengan skema bank thithil.
Literasi keuangan di Indonesia masih rendah. Global Finanacial Inclusion Index 2015 menunjukkan pada 2011 jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan hanya berjumlah 19,58 persen. Angkanya hanya meningkat sekitar 14 persen menjadi 35,95 persen di tahun 2014.
Upaya meningkatkan literasi keuangan dengan Fintech dan Lakupandai otoritas BI dan OJk sudah tepat. Namun demikian, dampak yang akan dirasa dari kedua kebijakan tersebut tidaklah instan seperti ketika pemerintah menjual surat utang negara yang bisa langsung menggunakan dana tersebut di tahun berjalan. Mungkin 3 hingga 5 tahun lagi, kebijakan peningkatan literasi keuangan di masyarakat akan lebih terasa.***