JAKARTA, Stabilitas.id – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memberikan perhatian pada transaksi keuangan yang menggunakan underline aset kripto, dimana kini menjadi magnet bagi banyak orang untuk terlibat dalam transaksi keuangan jenis ini. Meski demikian, OJK mendorong pertumbuhan yang positif ini harus diikuti dengan assesmen mengenai manfaat, biaya dan risiko yang memadai. Karena data OJK menunjukan bahwa literasi keuangan di Indonesia masih rendah, yakni 38 persen.
Demikian paparan Agus Edy Siregar, Deputi Komisioner Stablitas Sistem Keuangan dalam Keynote Speech yang dibacakan Enrico Hariantoro, Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK dalam Virtual Seminar LPPI ke #68 bertajuk “NFT: Antara Blockchain dan Cryptocurrency : Risk & Opportunity” pada Kamis, 24 Februari 2022.
Agus mengungkapkan bahwa Financial Stability Board belum lama ini menerbitkan assessment mengenai potensi aset kripto yang berkembang sangat pesat dan mempunyai potensi mempengaruhi stabilitas sistem keuangan secara global. “Hal tersebut terkait dengan makin tinginya keterkaitan antara aset kripto dengan sektor jasa keuangan. Di sisi lain, pasar yang tumbuh sangat pesat belum terbukti dapat diikuti dengan pemahaman masyarakat yang utuh atas bisnis tersebut. Baik di sisi produsen maupun konsumen,” paparnya.
Untuk itu, dalam hal ini OJK telah melarang lembaga jasa keuangan untuk menggunakan, memasasarkan atau memfasilitasi perdaganagn aset kripto, termasuk penempatan dana dengan unsur spekulasi yang tinggi atau volatilitas lainnya. Hal ini disebabkab karena aset kripto merupakan komoditi yang diatur oleh Bapebti dan bukan merupakan produk jasa keuangan.
“Bank tentunya boleh memfasilitasi transaksi pembayaran untuk perdaganan aset kripto, namun tidak boleh memfasilitasi perdagangannya. Ini selaras dengan BI yang melarang penyelenggara system pembayaran dan penyelenggaran teknologi finansial di Indonesia untuk memproses transaksi pembayaran dengan menggunakan virtual curancy. Jadi saya garisbwahi bahwa kripto dinilai sebagai aset, bukan curancy. Jadi sampai saat ini dilarang sebagai alat pembayaran, tetapi sebagai komoditas yang diperdagangkan,” tegas Agus.
Tentunya dari sisi investor, lanjut Agus, risiko yang timbul dari perdagangan aset kripto adalah kerugian yang ditimbulkan dari berinvestasi di aset illegal seperti money game, entitas robot trading tanpa ijin, dan perdagangan aset kripto tanpa ijin. Umumnya hal ini karena iming-iming imbal hasil yang sangat tinggi, tidka wajar, dan investor diminta untuk melakukan penyetoran dana terlebih dahulu. “Dengan demikian OJK meminta calon investor untuk lebih berhati-hari menyikapi tawaran investasi model ini.”
Kebijakan OJK ke depan, salah satunya adalah penguatan transformasi sektor keuangan. Hal ini agar sejalan dengan pengembangan ekosistem ekonomi digital dalam meningkatkan akses masyarakat ke produk dan jasa keuangan dengan harga yang lebih murah dan kualitas produk yang lebih baik dan akses yang cepat. Selain itu penguatan manajemen risiko atas penggunaan teknologi informasi di sektor jasa keuangan menjadi aspek yang vital dalam menyokong keuangan digital yang sehat dan dapat berkolaborasi dengan lembaga jasa keuangan atau pihak-pihak lainnya.
Perlu Diatur
Direktur Ekonomi Digital Ditjen Aptika Kominfo, I Nyoman Adhiarna pada kesempatan virsem LPPI itu mengatakan bahwa salah satu isu kripto yang tengah hangat saat ini adalah Non Fungible Token (NFT), sebuah aset digital yang telah menarik minat investasi masyarakat Indonesia hingga global.
“NFT ini adalah token digital, unik, langka tetapi memilki nilai. Jika dibeli seseorang, maka tidak bisa lagi dibeli yang lain. Tidak bisa dipecah-pecah dan transparan. Karena kelangkaan ini, maka berharga di komunitas aset ini dan mahal. Kenapa mahal? Di banyak kasus, ditetukan oleh siapa penjual dan pembeli,” kata Nyoman.
Menurut Nyoman, saat ini Kementrian Kominfo sedang melakukan telaan terkait dampak-dampk dari perkembangan investasi kripto jenis NFT ini. “Kami masih dalam tahap awal. Tidak banyak yang menguasai maka kita butuh sering dengan para pakar. Sebab, Kominfo lebih banyak bertanggung jawab dari sisi penyelenggaran sistem elektronk, itu yang kami atur. Lebih kepada tata kelola, kewajiban registasi, hingga pengamanan data,” jelas Nyoman.
NFT, lanjutnya, tidak lebih dari fase berikut dari teknologi blockchain. Adapun potensi aplikasi NFT ada di berbagai bidang antara lain digital identity, intelectual property, academi credential, gaming industry, ticketing, art galleries, votting, mucis, dan social media. “Awalnya kita pesimis dengan kripto, lama-lama kita antusias. Tetapi kita sadar bahwa ini masih harus diatur. Karena tidak lama akan masuk fase normal, mulai diterapkan.”
Sejauh ini, menurut Nyoman isu yang berkembang di Indonesia antara lain terkait sejauh mana teknologi kripto atau blockchain ini diatur. Memang teknologi blockchain sudah memilik nomor KBLI, namun BI secara jelas menagatakan bahwa kripto bukan mata uang, tetapi investasi kripto diatur dalam Kepmendag dan diawasi Bapebpti. “Kita juga masih ada isu copyright digital hardware di kalangan pelaku inovasi ini. Tetapi menurut UU kita tidak mengatakan hal itu, sebelum NFT itu diatur sebagai aset yang dilindungi.”
Maka, menurut Nyoman, penyedia platrom NFT harus teregistrasi sebagai penyelanggara sistem elektronik, dan kontenny harus memenuhi unsur budaya bangsa. Ini perijinannya harus lintas lembaga dan kementrian. “Banyak negara juga mengatur isu yang sama. Beluma ada kejelasan soal hak cipta. Bahkan hanya diperbolehkan untuk game ekosistem. Sebab ada risiko money loudering yang menjadi isu di berbagai negara.”
Dia juga mengingatkan soal data peribadi, bawah jangan sampai data-data pribadi di metaverse dipakai sebagai bigdata dalam metaverse tanpa ada persetujuan data dari pemilik. “Maka harus ada data kontrol, sehingga harus ada persetujuan. Maka ada kontrak dan kewajiban umum, data kontrol. Lalu ada level perlindungan data yang sama di semua negara,” pungkas Nyoman. ***