Oleh: DR. Adler H Manurung* & David Raymond P
Sejarah kebangkitan kaum perempuan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari perjuangan Raden Ajeng Kartini. Berkat usaha tak kenal lelah dari RA Kartini yang berkeinginan memajukan wanita yang pada waktu itu berada pada status sosial yang rendah, kini perempuan Tanah Air bisa memiliki peran setara dengan kaum pria. Bahkan, tidak sedikit wanita yang memiliki peran jauh lebih penting dari pada pria.
BERITA TERKAIT
Menurut penelitian Ernst & Young dan Femina Group, 30 persen usaha swasta yang ada di Jakarta dipegang oleh pengusaha wanita, jadi bukan tidak mungkin juga seorang wanita menjadi seorang bankir top. Kondisi ini makin dipersempit dengan tidak ada aturan khusus yang menegaskan bahwa seorang bankir harus berjenis kelamin laki-laki, sehingga tidak ada halangan bagi setiap wanita untuk menggeluti profesi bankir ini.
Secara umum, bankir dapat didefinisikan sebagai orang yang berkecimpung di dalam bidang usaha perbankan, baik berkecimpung dalam bidang teknis operasional, maupun non operasional perbankan.
Bankir yang profesional harus memiliki integritas tinggi, kemampuan teknis perbankan dengan standar kualitas tertentu dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Kemahiran profesional seorang bankir dapat diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Sikap moral dan etika serta tanggung jawab profesional yang tinggi menjadi sesuatu yang diharuskan terutama untuk bankir-bankir profesional pada saat ini.
Risiko menjadi salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari profesi bankir. Profesi ini merupakan profesi yang paling rentan terhadap risiko karena seorang bankir diharuskan mengambil keputusan-keputusan bisnis yang mungkin belum pernah diambil sebelumnya. Di samping itu risiko pun selalu melekat pada setiap produk perbankan maupun transaksi-transaksi perbankan yang terjadi.
Seorang bankir dituntut untuk mampu berpikir, bertindak dan mengembangkan setiap dana yang mengalir ke bank dimana ia berada termasuk memberikan pelayanan yang memuaskan bagi para nasabah agar nasabah tidak berpaling ke bank yang menjadi kompetitor.
Hal lain yang menjadi tantangan seorang bankir adalah yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berasal dari luar perusahaan maupun peraturan internal perusahaan. Ketidakpahaman seorang bankir akan adanya pelaksanaan peraturan ini pun akan dapat membuat seorang bankir terkena sanksi terhadap pelanggaran ketentuan perundangan yang berlaku. Atau bahkan seperti kasus yang banyak terjadi akhir-akhir ini di mana penyalahgunaan wewenang dan pemahaman yang berlebih akan aturan-aturan yang berlaku membuat seorang bankir dengan pemahaman yang dimilikinya menciptakan kecurangan (fraud) yang bertujuan meraup keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi dari penyelenggaraan kegiatan usaha bank.
Seorang bankir harus memiliki pengalaman mengenai manajemen risiko yang baik karena hal ini menjadi hal yang mutlak harus dikuasai. Dengan pemahaman manajemen risiko, seorang bankir diharapkan minimal mampu mengidentifikasi risiko-risiko yang sedang dihadapi perusahaan dan mampu mengukur dampak dari risiko tersebut. Lalu apakah bankir perempuan sanggup menangani tantangan dalam industri perbankan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tak jarang muncul yang didorong oleh keraguan sebagian masyarakat akan integritas dan kompetensi seorang “Lady Bankir.”
Secara psikologis, hormonal, kimiawi maupun anatomi otak pria dan wanita sangat berbeda. Perbedan-perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan cara berpikir, perbedaan perasaan dan perbedaan perilaku secara fundamental.
Otak pria memiliki struktur yang sistematis di mana mereka memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengelompokkan segala sesuatu, mengontrol emosi, memiliki respons yang agresif terhadap risiko, orientasi kerja yang tinggi. Selain itu juga mereka memiliki kemampuan yang rendah untuk memecah pikiran, orientasi hubungan yang rendah, kecenderungan untuk melakukan tindakan terlebih dahulu baru berpikir setelah mengalami masalah di depan dan kecenderungan untuk berkompetisi.
Sedangkan untuk otak wanita sendiri memiliki kemampuan yang rendah untuk mengolong-golongkan, namun memiliki kemampuan yang tinggi untuk memecahkan pikiran, kemampuan yang sangat rendah dalam mengontrol emosi, orientasi kerja yang rendah, dan memiliki orientasi hubungan. Selain itu kaum perempuan memiliki kecenderungan untuk berpikir dan merasakan terlebih dahulu sebelum bertindak, sangat berhati-hati terhadap risiko dan memiliki kecenderungan untuk bekerja sama bukan berkompetisi.
Pria dan wanita memiliki kekurangan dan kelebihan dalam proses pengambilan keputusan dalam profesi yang digeluti. Kemudian yang mana yang lebih baik untuk berprofesi sebagai bankir? Pria atau wanita? Apakah bankir pria tidak memiliki kemungkinan kecurangan seperti kasus bankir wanita yang beritanya sempat mencuat beberapa waktu yang lalu di negeri kita ini?
Tidak ada jawaban yang mutlak menjawab beberapa pertanyaan diatas. Semua peraturan perundangan pasti memiliki celah untuk melakukan kecurangan (fraud) tidak peduli pelakunya pria atau wanita. Setiap pengalaman dan pengetahuan pun belum tentu mampu menyelesaikan setiap masalah baru dalam setiap profesi tidak hanya bankir karena dari semua masalah itulah kita mampu belajar. Bekerjalah dengan hati, karena semua yang dikerjakan dari hati akan menciptakan “masterpiece” tidak peduli apakah Anda pria atau wanita.SP
*) Penulis adalah Presiden Direktur Finansial Bisnis Informasi