Ada beragam wajah kecerdasan, meski pada awalnya kita hanya mengenal satu jenis kecerdasan yang disebut intelligence quotient (IQ). Para ahli menyakini kecerdasan IQ telah tertanam di dalam DNA setiap manusia sejak ia dilahirkan. Oleh karena itu, kecerdasan IQ bersifat tetap. Tidak akan berubah sepanjang hayat manusia.
Namun, dalam perkembangannya, ‘lahir’ bentuk-bentuk kecerdasan baru. Salah satu yang paling populer adalah berbagai tipologi kecerdasan yang dikenalkan oleh Howard Gardner pada tahun 1983. Psikolog terkemuka dari Universitas Harvard ini membagi kecerdasan dalam delapan jenis, yaitu: kecerdasan linguistik, kecerdasan matematik atau logika, kecerdasan spasial, kecerdasan kinetik dan jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Berbeda dengan pendahulunya, Gardner meyakini, kecerdasan ada yang bersifat tetap, namun ada pula yang bisa berubah. Dalam delapan jenis kecerdasan yang ia kemukakan, nampaknya hanya kecerdasan matematik saja yang bersifat tetap, sementara tujuh lainnya dapat berkembang, tergantung dari proses yang dialami dan stimulasi yang diterima seseorang.
BERITA TERKAIT
Pendapat Gardner ini menjadi titik tolak Psikolog Universitas Harvard yang lain, Peter Salovey, yang kemudian mengenalkan kecerdasan sosial atau emotional quotient (EQ) pada tahun 1990. Salovey mendefinisikan EQ sebagai: “kemampuan untuk memahami perasaan diri sendiri, untuk berempati terhadap perasaan orang lain dan untuk mengatur emosi, yang secara bersama berperan dalam peningkatan taraf hidup seseorang”. Salovey juga meyakini, alih-alih IQ, justru EQ-lah yang paling bertanggung jawab terhadap sukses atau tidaknya seseorang.
Popularitas EQ ini kemudian melahirkan cabang-cabang kecerdasan turunan yang bersifat variabel, seperti kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ), kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), dan kecerdasan finansial (financial quotient/FQ). Sejumlah karya tulis, artikel hingga buku, lantas banyak bermunculan mengupas berbagai sudut pandang tentang bagaimana jenis kecerdasan variabel ini dapat meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Buku ini pun demikian. Meski judulnya sedikit provokatif, ‘Ladies, Belanjakan Saja Semua Uangmu!’ yang mengesankan himbauan agar para perempuan menghambur-hamburkan uangnya untuk konsumsi, tetapi isinya lebih pada tips membangun kecerdasan finansial para kaum hawa. Judul buku ini sendiri tampaknya terinspirasi dari stigma yang sudah melekat pada kaum perempuan, sebagai kelompok yang suka belanja. Bertolak dari cap negatif ini, penulis berusaha mengubah paradigma belanja konsumtif menjadi belanja produktif.
Bagaimana belanja secara produktif, inilah tampaknya yang menjadi benang merah dari seluruh isi buku perdana Ai Nur Bayinah yang terdiri dari lima bab tersebut. Perencanaan belanja produktif ini sudah dimulai sejak kita berencana untuk membentuk rumah tangga, temasuk memikirkan untuk memilih karier sebagai ibu rumah tangga atau wanita karier (bab 1, hal 9 – 21), masa awal-awal berumah tangga (bab 2, hal 31 – 67), saat memiliki anak dan kebutuhan mulai membengkak (bab 4, hal 116 – 169), hingga ketika mempersiapkan masa tua (bab 5, 181 – 209).
Namun, yang tak kalah pentingnya adalah mengubah cara berpikir (midset) kita dalam membelanjakan uang. Dalam bahasa penulis, belanja yang produktif seyogyanya berdasarkan pada kebutuhan dan bukan karena keinginan (bab 3, hal 77 – 100).
Sebagai buku yang bertujuan men-cerdas-finansial-kan masyarakat, khususnya para perempuan, kehadiran karya dosen STEI SEBI ini patut diapresiasi. Terlebih mengingat perempuan adalah tulang punggung yang mengatur lalu lintas keuangan rumah tangga. Sebab, kegagalan seorang istri mengelola keuangan rumah tangga, tidak perduli berapa besar penghasilan pasangannya, bukan hanya berpotensi merubuhkan bahtera perkawinan, tetapi juga menjadi bahaya laten bagi suburnya korupsi yang adalah sumber utama penyebab kemiskinan bangsa ini.
Pada akhirnya, dengan membaca buku ini, memahami, dan terpenting mengamalkannya, niscaya akan membantu mengerek kecerdasan keuangan kita, tidak peduli berapa kecil penghasilan kita, dan sekaligus menjadi jembatan membangun kehidupan rumah tangga yang sakinah (menentramkan), mawadah (saling mencintai), dan warohmah (memberi kebaikan).