Kehadiran pemimpin dalam setiap perubahan dalam perusahaan sangatlah diperlukan. Demikian juga ketika dunia berubah dari tradisional ke digital.
Oleh Syarif Fadilah
Setiap keberhasilan sebuah institusi atau lembaga bisnis di mana pun di dunia ini selalu ada sosok yang menggerakkan. Para pelaku bisnis lain, dengan itu, berupaya untuk meniru apa yang sudah dilakukan pemimpin tersebut untuk diterapkan di perusahaannya, dengan harapan menyamai keberhasilannya.
Di era digital ini, perusahaan, akan tetapi, dihadapkan oleh kondisi yang kompleks dan belum pernah terjadi sebelumnya. Selain maraknya penggunaan teknologi dalam keseharian, interaksi antar generasi yang seringkali menciptakan gesekan dan kutub-kutub membuat pengelolaan perusahaan menjadi semakin rumit. Belum lagi dengan kondisi persaingan bisnis yang makin liar, regulasi yang makin longgar dan tentunya keinginan konsumen yang makin beragam.
Oleh karena itu, diperlukan pemimpin atau kepemimpinan model baru yang lincah yang bisa cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Ali Damanik, Direktur Kinerja-BlessingWhite, Konsultan Pengembangan SDM, menjelaskan, kepemimpinan era digital (digital leadership) mengacu pada dua hal, pada teknologinya dan pada pemimpinnya.
Pengertian pertama berarti bagaimana teknologi dan invasi-inovasi digtal menjadi pusat penentu berjalannya perusahaan. Yang kedua, merujuk kepada bagaimana pemimpin membangun gaya kepemimpinannya untuk mencapai tujuan organisasi dengan menggunakan teknologi digital sebagai enabler. Atau bagaimana pemimpin mencapai tujuan dengan menggerakan semua resource yang ada termasuk resource teknologi digital yang sekarang menjadi sebuah tren dan keharusan.
Jika mengacu kepada pemimpinya, menurut Ali, ada dua faktor yang mempengaruhi. Pertama faktor non teknis, yaitu leadership capability dan kedua faktor teknis technology (digital) capability. “Dua-duanya harus mumpuni. Leadership capability dan technology capability harus sama-sama tinggi, baru seorang leader dapat beradaptasi dengan dunia digital ini dengan efektif. Kalau hanya salah satu, mereka tidak akan bisa efektif dan agile di tengah perubahan,”jelas Ali.
Menurut praktisi dan pengamat pengembangan SDM yang berpengalaman lebih dari 15 tahun ini, jika seseorang itu leadership capability-nya tinggi tetapi digital leadership rendah, maka dia menjadi pemimpin konservatif. Sebaliknya jika leadership capability rendah tapi digital leadership tinggi, maka dia cuma jadi terjebak fashion digital saja. Banyak pakai teknologi digital tapi hanya sekadar nice to have saja, tidak memberi pengaruh kepada bottom line business.
“Yang ideal adalah dua-duanya tinggi. Baru itu disebut digital master. Dan untuk bisa dua-duanya tinggi, ya tentu harus punya visi yg kuat, mindset perubahan yang terus menerus diasah, budaya inovasi yang berkelanjutan serta sistem penilaian kinerja yang mengakomodasi itu semua,” terang Ali.
Sementara itu Randy Jusuf, Managing Director Google Indonesia, mengatakan bahwa seorang pemimpin dalam bisnis, secara tradisional memang diekspektasikan memiliki pengetahuan dan pemahaman atas segala bidang yang ada di perusahaannya. “Mungkin background-nya marketing, tetapi begitu dia berada di atas, dia harus paham minimal intisari dari misalnya bidang R&D (riset and development), HRD (human resorce development), manufacturing, finance dan lainnya. Mungkin tidak detail namun setidaknya mengerti secara high level dan strategis,” jelas dia.
Nah pemimpin digital juga harus dilihat dari kaca mata yang sama, dia harus belajar meski tidak harus secara mendalam mengenai apa dan bagaimana teknologi digital. Dia juga bisa minta bantuan dari pihak lain yang punya pengalaman di bidang tersebut atau menggandengnya.
Jadi pemimpin jangan mudah menyerah melihat kondisi perkembangan digital yang sangat agresif. “Kalau terlalu dipikirin kalau dia gaptek dan lain sebagainya nantinya malah mampet. Jadi lebih baik coba dulu untuk memahami dan belajar. Teknologi digital memang penting saat ini, tapi itu cuma salah satu aspek yang harus dimiliki pemimipin saat ini,” lanjut Randy.
Iringi Transformasi
Teknologi dan pemanfaatan data memang menjadi isu yang paling dominan saat ini. Hampir semua perusahaan dan organisasi melakukan apa yang dinamakan transformasi digital. Mereka ingin memindahkan sebagian besar proses bisnisnya, kalau tidak mau dikatakan semua, ke teknologi digital. Dalam proses itu tentunya dibutuhkan pemimpin yang bisa memandu dan memastikan bahwa proses itu berada di jalur yang benar dan sampai pada tujuan.
Menurut Arief M Utama, Country Partner for Financial Services, Cloud & Digital Transformation IBM Indonesia, dalam masa pandemi, perusahaan-perusahaan yang bertahan dan bisa tumbuh adalah mereka yang sebelumnya berinvestasi luar biasa di bidang teknologi. “Mereka melakukan hal yang kita sebut accelerating digital. Ini bukan lagi bicara transformasi digital bagaimana caranya tapi sudah aggresivelly lets go digital,” kata dia.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hal krusial yang dihadapi pemimpin saat ini adalah teknologi digital dan data. Pengetahuan dan pemahaman seorang pemimpin akan kedua hal itu sangatlah diperlukan. Sebabnya digital leadership dituntut mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan data dalam setiap pengambilan keputusan.
Strategi itu tentu pada ujungnya bertujuan untuk membuat perusahaan bisa berkembang lebih baik, bertahan dalam persaingan, bahkan memenangkannya. Berdasarkan hasil studi Oxford Economics dan SAP, organisasi yang mengadopsi digital leadership cenderung mampu mendapatkan hasil bisnis yang jauh lebih baik. Hal tersebut dapat dilihat dari aspek kinerja finansial, kepuasan karyawan hingga pengambilan keputusan. Berikut beberapa temuan dari studi tersebut.
Pertama, perusahaan dengan digital leadership menunjukkan kinerja finansial yang lebih baik. Dari studi Oxford di di atas dikatakan sebanyak 76 persen dari 4.000 eksekutif yang mengadopsi digital leadership mampu mencetak pertumbuhan profit lebih besar. Mereka juga memiliki penerimaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan eksekutif yang masih menggunakan leadership tradisional.
Kedua, karyawan merasa dilibatkan dan lebih puas dengan pekerjaannya. Salah satu alasan karyawan resign dari perusahaan adalah karena merasa tidak berkembang. Mereka merasa seakan hanya bekerja dan menjalankan rutinitas saja. Hal ini bisa terjadi karena perusahaan tidak cukup melibatkan karyawan.
Perusahaan yang menerapkan digital leadership cenderung lebih disukai karyawan. Sebanyak lebih dari 87 persen karyawan merasa lebih bahagia dengan pekerjaan mereka. Karyawan juga merasa lebih dilibatkan dalam perusahaan.
Ketiga, loyalitas lebih tinggi. Digital leadership mampu meningkatkan loyalitas karyawan. Persentase karyawan untuk bertahan di perusahaan bahkan mencapai 21 persen lebih tinggi. Bahkan meski memiliki kesempatan untuk berhenti, tidak sedikit karyawan yang memilih untuk bertahan.
Keempat, kepemimpinan lebih kuat. Kepemimpinan digital membantu seorang pemimpin untuk mengambil keputusan yang objektif. Keputusan para digital leader cenderung lebih tepat. Inilah yang membuat kepemimpinannya lebih kuat dan lebih disukai karyawan.
Kelima, lebih inklusif dan beragam. Perusahaan yang menerapkan digital leadership cenderung lebih inklusif dan mengakui dampak positifnya terhadap budaya kerja. Di samping itu, proporsi karyawannya juga lebih fleksibel. Jika dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mengadopsi digital leadership, proporsi karyawan perempuannya bahkan lebih banyak.
Keenam, mampu mengambil keputusan dengan lebih baik. Digital leadership banyak memanfaatkan data dalam pengambilan keputusan. Meski masukan dari ahli dan orang-orang terpercaya masih digunakan, basisnya tetap pada data. Itulah yang membuat perusahaan dengan digital leadership mampu mengambil keputusan lebih baik.
Seorang digital leader memiliki visi yang jelas dan paham bagaimana teknologi dan data dapat membantu mencapai visi tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga tahu bagaimana cara menggunakannya untuk meraih tujuan perusahaan.***
——————————–
Faktor Pembentuk Pemimpin
Para pemerhati ilmu pengetahuan berupaya menemukan apa yang mendorong lahirnya seorang pemimpin. Menurut Kartini Kartono dalam bukunya “Pemimpin dan Kepemimpinan” terdapat tiga teori mengenai kemunculan seorang pemimpin. Pertama adalah Teori Genetis menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan alaih-alih dibentuk. Pemimpin lahir disertai dengan bakat-bakat alami yang luar biasa sejak lahirnya. Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga, yang khusus. “Secara filsafat, teori tersebut menganut pandangan deterministis,” kata penulis.
Yang kedua adalah Teori Sosial. Ini adalah kebalikan dari teori sebelumnya. Menurut teori ini pemimpin itu harus disiapkan, dididik, dan dibentuk, alih-alih terlahirkan begitu saja. Setiap orang bisa menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri.
Yang ketiga adalah Teori Ekologis atau Sintetis. Teori yang muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut lebih dahulu menyatakan bahwa seseorang akan sukses menjadi pemimpin bila sejak lahirnya dia telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dan bakat-bakat ini sempat dikembangkan melalui pengalaman dan usaha pendidikan; juga sesuai dengan tuntutan lingkungan/ekologisnya.***