LIKA-liku proses pemilihan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memasuki fase krusial. Panitia seleksi (pansel) Dewan Komisioner (DK) OJK telah menyerahkan 21 nama kandidat kepada Presiden. Kini publik menanti siapakah 14 calon Komisioner OJK yang akan ditawarkan Presiden kepada DPR untuk kemudian dipilih 7 orang untuk mengisi Dewan Komisioner OJK periode 2017-2022.
Keterlibatan DPR dalam mengangkat 7 orang Komisioner OJK tersebut sesuai dengan Pasal 11 UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam struktur DK OJK, selain 7 komisioner yang dipilih DPR, terdapat 2 komisioner tambahan yang sudah menjadi jatah tetap perwakilan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia secara ex-offcio. Kedua posisi ex-offcio tersebut ditetapkan karena fungsi OJK memiliki keterkaitan dengan otoritas moneter (Bank Indonesia) dan otoritas fskal (Kementerian Keuangan).
Sejak pendaftaran DK OJK dibuka kepada publik pada awal Januari lalu, sebanyak 843 orang mengajukan surat lamaran. Kemudian pada seleksi administrasi tahap pertama tersaring menjadi 107 orang dari berbagai latar belakang profesi. Masuknya dua nama politisi dalam bursa pemilihan komisioner OJK membuat publik terperanjat. Sebab OJK sebagai lembaga otonom yang mengurusi sektor keuangan harus bebas dari kepentingan politik.
BERITA TERKAIT
Pada tahap kedua 107 calon tadi diminta membuat makalah untuk dinilai oleh pansel. Selain menilai makalah calon, pansel juga mempertimbangkan masukan dari masyarakat serta rekam jejak dan informasi calon yang diperoleh dari KPK, PPATK, BI, OJK, serta Kementerian dan Lembaga terkait. Pada tahap kedua ini pansel memutuskan 35 nama lolos ke babak berikutnya. Seperti sudah diperkirakan, dua calon politisi pun akhirnya kandas. Namun yang mengejutkan publik adalah kandasnya lima calon petahana komisioner OJK termasuk Muliaman Hadad. Lalu, pada tahap ketiga dilakukan tes kesehatan sehingga tersaring 30 kandidat.
Proyeksi DK OJK
Hingga tulisan ini dibuat, tahapan proses seleksi Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) memasuki tahapan ke 4, yakni wawancara. Tugas pansel pun berakhir pada tahap ini. Pansel telah melakukan wawancara terhadap 30 calon tersisa sepanjang 9-11 Maret 2017, lalu terpilihlah 21 nama yang telah diserahkan kepada Presiden. Adapun komposisi latar belakang 21 calon komisioner OJK terdiri dari 10 regulator, 5 praktisi, 5 PNS, dan 1 akademisi. Lolosnya 5 calon dari praktisi semakin menaikkan suhu kontestasi.
Sebab pada pemilihan DK OJK periode pertama (2012-2017) terjadi persaingan yang sengit antara calon dari regulator dengan praktisi yang pada akhirnya tidak satupun calon dari praktisi yang berhasil mengisi DK OJK. Menariknya dari 3 calon yang akan memperebutkan kursi Ketua DK OJK seluruhnya berasal dari kalangan praktisi antara lain Sigit Pramono (Mantan Dirut Bank BNI dan Mantan Ketua Perbanas), Wimboh Santoso(Komisaris Bank Mandiri), dan Zulkifli Zaini (Komisaris Independen BNI).
Dari 21 nama yang masuk ke tahap wawancara, nantinya akan tersisa 14 orang yang namanya akan diajukan ke presiden. Selanjutnya, Presiden akan mengajukannya ke DPR untuk dilakukan ft and proper test di hadapan Dewan. Tim Riset Stabilitas memprediksi namanama yang diajukan oleh Presiden ke DPR merupakan kompromi dari otoritas Fiskal – Moneter – Industri Perbankan/Keuangan.
Wimboh Santoso diprediksi akan mengisi posisi Ketua DK OJK. Alasannya adalah dia memiliki latar belakang dari Bank Indonesia. Karier Wimboh diawali dari Bank Indonesia sebagai pengawas bank di Bank Indonesia di pertengahan 1980-an. Jabatan yang pernah diembannya di Bank Indonesia adalah Direktur Direktorat Pengaturan Perbankan BI periode 2010 – 2012, kemudian dilanjut sebagai kepala perwakilan Bank Indonesia (BI) di New York pada tahun 2012. Pasca 2012, Wimboh menjabat Executive Director International Monetary Fund (IMF) hingga 2015 yang kemudian dilanjut dengan Komisaris Utama Bank Mandiri.
Hubungan erat dengan Bank Indonesia, dibandingkan dengan nominee calon ketua DK OJK yang lain, Sigit Pramono dan Zulkifli Zaini, menjadi nilai plus Wimboh sebagai calon kuat Ketua DK OJK. Bagaimanapun juga, OJK dan Bank Indonesia merupakan lembaga strategis dalam meregulasi dan mengawasi industri keuangan di Indonesia. Kedua lembaga tersebut membutuhkan komunikasi yang lancar untuk meminimalisasi informasi yang asimetris di antara keduanya. Wimboh memiliki kedekatan lebih ke Bank Indonesia dibandingkan dengan kandidat lainnya.
Heru Kristiyana, dan Nurhaida diprediksikan akan menepati posisi masing-masing sebagai calon kepala eksekutif pengawas perbankan dan calon kepala eksekutif pengawas pasar modal OJK. Pertimbangan yang diajukan dalam proyeksi ini adalah ketiga orang tersebut merupakan orang lama di OJK dan bisa dipastikan memiliki pengalaman lebih jauh dibandingkan dengan kandidat lainnya. Namun untuk calon wakil ketua tampaknya akan muncul calon di luar OJK.
Hoesen diprediksi akan menempati posisi Kepala Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga jasa Keuangan Lainnya di OJK. Hoesen diprediksi akan mengalahkan dua kandidat lainnya yakni Edy Setiadi dan Adi Budiarso. Alasan yang diajukan dalam prediksi ini adalah pengalaman Hoesen sebagai direktur PT Danareksa.
Haryono Umar diprediksi akan menempati Ketua Dewan Audit OJK. Pengalamannya sebagai Irjen di Kemdikbud dan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menjadi nilai tambah baginya untuk menduduki kursi ketua dewan audit. Terakhir, Tirta Segara diprediksi akan menduduki Dewan Komisioner yang membidani Edukasi dan Perlindungan Konsumen. Hal ini sejalan dengan posisi dia saat ini sebagai Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia.
Tantangan DK OJK
OJK sebagai institusi yang menyatukan regulasi dan pengawasan jasa keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Tanggung jawab OJK melingkupi aset perbankan Rp6.607 triliun, Asuransi Rp913 triliun, lembaga pembiayaan Rp499,12 triliun, dan dana pensiun Rp233,68 triliun. Dengan profl industri keuangan tersebut, maka OJK tentunya harus dipimpin oleh Dewan Komisioner yang memiliki kredibilitas, integritas, independensi, dan kepercayaan publik.
Siapa pun yang nanti terpilih menduduki DK OJK, mereka harus menjadi tim yang solid dan responsif terhadap perkembangan industri keuangan yang ada. Terlebih saat ini perkembangan dunia keuangan yang mengalami dinamika yang pesat.
OJK sebagai institusi yang otonom dari berbagai kepentingan di luar tugas dan fungsinya masih menghadapi berbagai tantangan. Beberapa tantangan serius yang masih dihadapi oleh OJK antara lain. Pertama, tantangan membangun koordinasi dan komunikasi dengan institusi lain yang terkait. Apalagi dengan pelajaran dari kegagalan OJK di beberapa negara lain seperti di Inggris, maka sinergitas antar lembaga adalah faktor fundamental dalam menjaga stabilitas sektor keuangan dan ekonomi secara makro. Meskipun dalam UU, OJK hanya berwenang dalam urusan mikroprudensial, tetapi bagaimana OJK juga dapat berperan dalam menjaga aspek makroprudensial yang menjadi tanggung jawab BI.
Selain itu, DK OJK dituntut untuk dapat berkoordinasi secara efektif dengan institusi-institusi yang tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Koordinasi yang intens dan keterbukaan informasi menjadi kata kunci dalam pengambilan kebijakan. Setiap anggota DK OJK harus memahami dan menguasai protokol manajemen krisis sehingga dapat memberi peringatan dini terhadap gejala potensi krisis (crisiscsymptom).
Tantangan ego sektoral masih harus terus diuji dalam setiap pengambilan keputusan. Jangan sampai kebijakan yang sudah diambil bersama pada akhirnya menjadi polemik di luar forum sehingga menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap integritas dan independensi lembaga.
Tantangan kedua berkaitan dengan model pendanaan OJK. Sejak berdirinya OJK, persoalan model pendanaan operasional OJK masih menjadi polemik. Sebagai lembaga pengawasan industri keuangan yang otonom, model pendanaan seperti apakah yang dapat menjaga independensi lembaga tersebut? Dalam praktiknya di berbagi negara, setidaknya terdapat tiga model pendanaan yakni i) pendanaan penuh dari negara (APBN); ii) pendanaan penuh dari sektor swasta yang diawasi; dan iii) pendanaan campuran dari negara dan iuran perusahaan yang berada dalam supervisi lembaga pengawas.
Berkaitan dengan pendanaan OJK, landasan hukum yang digunakan adalah Pasal 34 ayat 2 UU OJK yang menyatakan bahwa anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pada awal masa transisi peralihan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan ke OJK, OJK mendapatkan pendanaan penuh dari pos APBN setidaknya sampai tahun 2015 yang diambil dari pos Program Pengelolaan Belanja Lainnya. Anggaran OJK pada tahun 2014 mencapai 2,4 triliun, lalu pada tahun 2015 anggaran OJK naik 40% menjadi 3,5 triliun.
Kemudian pada tahun 2016 pendanaan OJK berasal dari campuran APBN dan pungutan industri keuangan. Lalu mulai tahun 2017, tanggung jawab negara untuk membiayai OJK digantikan sepenuhnya oleh seluruh pelaku industri keuangan yang diawasi oleh OJK.
Dalam praktiknya, pengenaan pungutan terhadap industri keuangan ternyata mendapat perlawanan yang cukup sengit. Pelaku industri jasa keuangan merasa keberatan dengan berbagai jenis pungutan yang harus dibayar untuk mendanai operasional OJK. Pungutan ini bukan hanya membebani dan mengurangi efsiensi industri yang tercermin dari peningkatan Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), tetapi beban tersebut juga bisa saja dialihkan kepada nasabah sebagai pengguna akhir (end user). Konsekuensi model pendanaan murni dari swasta ini adalah rendahnya tingkat independensi OJK sebagai badan pengawas sektor keuangan.
Model pendanaan campuran bisa menjadi opsi yang ideal dalam menjembatani kepentingan negara dan swasta. Pada model pembiayaan ini akan memberikan konsekuensi tingkat independensi yang moderat (Keliat et. al, 2015). Adapun proporsi pendanaan antara pemerintah dan swasta yang ideal adalah 50:50, artinya tidak ada pihak yang lebih kuat dalam memengaruhi kebijakan OJK. Selain itu, formula dan besaran pungutan terhadap industri juga mestinya dapat disesuaikan berdasarkan profl risiko perusahaan (risk based fee). Artinya, perusahaan yang memiliki risiko lebih besar harus membayar iuran yang lebih tinggi.
Lebih lanjut, lembaga keuangan dengan kriteria tertentu sebetulnya dapat diberi keringanan pungutan, sesuai Pasal 17 PP No.11/2014. Misalnya perusahaan yang mengembangkan produk keuangan mikro di daerah bisa mendapat diskon pungutan. Hal ini justru dapat mendorong industri untuk berperan lebih aktif dalam mengembangkan perekonomian di daerah.***