Apakah normalisasi kebijakan AS memang menjadi ancaman buat ekonomi kita?
Kalau kita lihat perkembanga dunia, yang sangat terlihat adalah perkembangan ekonomi AS yang secara bertahap menunjukan perbaikan. Kemarin Oktober diputuskan berhentinya QE (quantitative easing). Nah, perbaikan unemployment dan indikator ekonomi yang lain di AS, membuat kita perlu mempersiapkan diri untuk mengantisipasi penyesuaian Fed Fund Rate di semester kedua tahun 2015.
Bagi BI, kita menghadapi kondisi yang ada, tetap menjaga inflasi sesuai target. Kita ingin inflasi di batasan yang normal dan kita juga sudah melihat ada gejala ekspektasi inflasi. mungkin terkait kenaikan BBM. Atau juga kenakan tarif listrik dan gas, serta wacana kenaikan harga pengangkutan udara unutk kelas ekonomi. Jadi BI akan sangat terus memperhatikan inflasi, juga ekspektasi inflasi agar tetap terjaga.
BERITA TERKAIT
BI juga ingin meyakini bahwa nilai tukar rupiah secara mencerminakan fundamental ekonomi Indoneisa. Kita berharap rupiah tetap fleksibel. Kita juga ingin meyakini kondisi transaksi berjalan mengarah ke kondisi yang lebih sehat. Untuk transaksi berjalan di kuartal ketiga, itu kondisinya lebih baik dibanding sebelumnya. Secara tahunan current account kita di 2014 diperkirakan sebesar 3 persen, itu membaik dari tahun lalu yang sebesar 3,3 persen dari GDP. Jadi BI akan menjaga kebijakan bunga, nilai tukar, atau juga meyakini inflasi berjalan, dan transaksi berjalan menjadi lebih sehat.
Bagaimana kondisi utang luar negeri kita?
Terakhir, data kita total utang luar negeri sekitar 290 miliar dolar, pemerintahnya sekitar 130-an miliar dollar, dan swasta sekitar 150-an miliar dollar. Memang cukup tinggi, meski pertumbuhan semakin melandai. Maka untuk mengantisipasi itu kita keluarkan PBI soal manajemen risiko utang.
Indikator kerentanan eksternal kita, sejauh ini masih cukup baik. Misalnya cadangan devisa kita 6,5 bulan impor plus pembayaran utang pemerintah. Terkait debt services ratio (DSR) di kuartal ketiga 43,4 persen, itu menurun dari kuartal kedua yang sebesar 45,9 persen. Ke depan, dengan perbaikan ekspor, akan membaik. Indikator kerentanan eksternal kita membaik.
Apa latar belakang diterbitkannya PBIManajemen Risiko Valas itu?
Jumlah utang swasta cenderung terus meningkat, bahkan saat telah melebihi jumlah utang Pemerintah. Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun, jumlah utang luar negeri sektor swasta meningkat tiga kali lipat, yaitu dari 50,6 miliar dollar AS pada akhir 2005 menjadi 156,2 miliar dollar AS pada akhir Agustus 2014 atau mencapai 53,8 persen dari total utang luar negeri Indonesia.
Hasil kajian Bank Indonesia menunjukkan bahwa utang swasta tersebut rentan terhadap sejumlah risiko, terutama risiko nilai tukar (currency risk), risiko likuditas (liquidity risk), dan risiko beban utang yang berlebihan (overleverage risk).
PBI ini bertujuan untuk memitigasi berbagai risiko yang ditimbulkan oleh utang swasta, khususnya korporasi nonbank, yang dalam beberapa tahun terakhir jumlahnya meningkat sangat pesat. Risiko-risiko tersebut seperti yang saya katakan tadi.
Kenapa risiko nilai tukar?
Risiko nilai tukar cukup tinggi karena sebagian besar utang swasta digunakan untuk membiayai kegiatan usaha berorientasi domestik yang menghasilkan pendapatan dalam rupiah sedangkan pembayaran ULN dilakukan dalam valuta asing (valas). Kerentanan terhadap risiko nilai tukar semakin tinggi karena minimnya penggunaan instrumen lindung nilai (hedging) di kalangan korporasi nonbank yang memiliki utang luar negeri.
Bagaimana dengan risiko likuiditas, saat ini juga mulai terjadi keketatan likuiditas?
Risiko likuiditas juga cukup tinggi karena jumlah dan pangsa utang swasta berjangka pendek terus meningkat. Sementara itu, indikasi peningkatan risiko overleverage terlihat dari semakin meningkatnya rasio utang terhadap pendapatan.
Risiko-risiko bertambah besar karena prospek perekonomian masih diliputi oleh berbagai ketidakpastian. Likuiditas global diperkirakan akan mengetat dengan tingkat suku bunga yang meningkat seiring berakhirnya kebijakan moneter akomodatif di negara-negara maju, khususnya di Amerika Serikat. Pada saat yang bersamaan, ekonomi negara-negara emerging market yang menjadi mitra dagang utama Indonesia diperkirakan masih akan mengalami perlambatan disertai dengan harga komoditas ekspor di pasar internasional yang masih rendah. Kondisi ini menyebabkan beban pembayaran utang berpotensi meningkat, sebaliknya kapasitas membayar utang berpotensi menurun.
Bagaimana kondisi LDRsaat ini?
LDR sebagai indikator likuiditas sejak Agustus membaik sejalan denga ekspansi rekening pemerintah. Soal perlambatan kredit, LDR cenderung menjauh dari 92 persen. LDR Agustus 90,63 persen, September menurun 88,93 persen. Akhir tahun diperkirakan di kisaran 89-90 persen. Tahun depan, kalau dilihat gambaran pertumbuhan kredit dan DPK, LDR masih di kisaran itu.
Mengapa BIperlu mengatur prinsip kehati-hatian atas ULNkorporasi non-bank padahal saat ini jumlah korporasi non-bank peminjam utang yang mengalami default sangat sedikit?
Memang saat ini jumlah perusahaan yang default masih sangat sedikit. Namun demikian, shock negative, baik yang bersumber dari internal maupun eksternal, dapat menyebabkan meningkatnya risiko gagal bayar (default risk). Hal ini berpotensi mengganggu kestabilan sistem keuangan dan ekonomi makro seperti yang terjadi pada krisis 1997/1998 mengingat sebagian besar korporasi yang memiliki ULN belum melakukan upaya mitigasi resiko yang baik.
Mengapa BIperlu mengatur kegiatan lindung nilai?
Jumlah korporasi non-bank yang melakukan lindung nilai dan volume transaksi lindung nilai yang dilakukan masih terbatas. Berdasarkan data, sebagian besar korporasi non-bank tidak melakukan lindung nilai meskipun memiliki eksposur risiko nilai tukar. Selain itu, PBI ini juga merupakan upaya standarisasi dari praktik lindung nilai yang harus dilaksanakan oleh seluruh korporasi non-bank yang memiliki ULN.
Apakah aturan ini merupakan pembatasan utang buat swasta?
PBI ini tidak dimaksudkan untuk membatasi utang luar negeri tetapi lebih ke arah memperkuat manajemen risiko korporasi nonbank menghadapi berbagai ketidakpastian dalam perekonomian global dan domestik ke depan. Prinsip kehati-hatian dalam peraturan ini mencakup pemenuhan Rasio Lindung Nilai minimum, Rasio Likuiditas Minimum, dan Peringkat Utang (Credit Rating) minimum.
Apakah kebijakan pengurangan subsidi menekan pertumbuhan?
Kita baru bicara pertumbuhan eknonomi dari daya dukung fiskal. Sering ada anggapan bahwa kalau ada kenaikan BBM, pertumbuhan rendah. Belum tentu. Tahun ini pertumbuhan ekonomi rendah karena pemerintah ingin mengamankan defisit fiskal di level 2,4 persen. Dengan pengalihan subsidi, ada penghematan uang pemerintah untuk stimulus fiskal, atau investasi pemerintah. Nah, kalau itu ditujukan untuk meningkatkan investasi pemerintah maka pertumbuhan ekonomi yang 5,4-5,5 persen itu bisa tercapai, belum lagi ada perbaikan investasi swasta. Dari sisi eksternal, ekspor meningkat dengan investasi swasta meningkat maka pertumbuhan 5,4-5,5 persen bisa tercapai.
Apakah pertumbuhan ekonomi 2015 bisa lebih tinggi?
Ada beberapa faktor yang akan saya sebutkan untuk menjawab itu. Pertama pertumbuhan global lebih baik. Tahun ini 3,5 persen, tahun depan 3,6 persen. Jadi permintaan dunia naik, akan mendorong ekspor manufaktur. Tahun ini ekspor masih negatif, tahun depan bisa positif sektiar 4 persen.
Kedua, kenaikan investasi. Tahun ini investasi non banguna melambat, karena ekspor negatif sehingga permintaan investasi melambat. Ke depan, dengan ekspor yang naik maka permintaan investasi juga akan naik.
Ketiga, ekspansi fiskal. Tahun ini ada kendala karena defisit diketak ke 2,4 persen, sehingga dari sisi konsumsi pemerintah cukup rendah. Ke depan, ekspansi keuangan akan lebih positif. Jadi prediksi kita pertumbuhan ekonomi tahun depan lebih tinggi yakni 5,4-5,8 persen.