Kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang menyatukan negara-negara di kawasan Asia tenggara sebagai sebuah pasar bersama yang terbuka sudah mulai bergulir pada tahun ini. Meski pembukaan sektor jasa keuangan baru akan diterapkan empat tahun lagi yaitu pada 2020, namun industri perbankan di Indonesia sudah meningkatkan persiapannya menghadapi era itu.
Beberapa isu diakui masih menjadi pekerjaan rumah bagi industri seperti kompetensi bankir, permodalan dan yang paling penting adalah regulasi. Untuk kompetensi, pelaku industri sudah mulai menerapkan kewajiban sertifikasi bagi bankir-bankir di hampir semua bidang. Sebut saja manajemen risiko, wealth management, analis kredit, kepatuhan dan lain sebagainya.
Selain itu, masalah yang menjadi perhatian pelaku perbankan adalah soal regulasi dan perizinan. “Sekarang sudah saatnya menyinkronkan tugas dari masing-masing regulator secara jelas. Tugas dari OJK itu apa. Tugas dari BI itu apa. Meskipun ada overlap itu juga harus dijelaskan supaya kami di kalangan industri juga sangat clear,” kata Ahmad Siddik Badrudin, Direktur Manajemen Risiko dan Kepatuhan Bank Mandiri.
BERITA TERKAIT
Kepada wartawan Majalah Stabilitas, Yudi Rachman dan Fotografer Judy Hertanto berbincang dengan pria yang juga menjabat Ketua Bankers Association for Risk Management (BARa) ini juga menjelaskan tantangan industri perbankan di era MEA. Berikut petikannya:
Era MEA di sektor non perbankan sudah dimulai, bagaimana persiapan industri perbankan?
Kalau dari banking industry, memang industri yang saya familiar, 2020 akan terjadi liberalisasi bagi industri perbankan di ASEAN. Di mana mungkin akan terdapat kemudahan-kemudahan dalam melakukan bisnis bank di seluruh negara di ASEAN. Kemudian beragam framework-nya sudah disusun melalui ABIF (ASEAN Banking Integration Framework-red). Pemerintah dan DPR juga baru menyetujui mengenai pelaksanaan protokol No. 6 dari ABIF tersebut. Sooner or later mereka (pelaku perbankan ASEAN) akan masuk. Tapi itu tidak juga menutup kemungkinan bahwa tetap harus ada aturan-aturan lokal mengenai cara bermain bank asing di Indonesia. Misalnya, sekarang di Singapura dan Malaysia masih banyak restriksi mengenai bagaimana bank asing itu beroperasi di sana.
Apakah azas resiprokal tetap harus dipertahankan?
Nah, itu juga masih dalam tahap-tahap perubahan menuju 2020, apakah akan ada perubahan dalam undang-undang mereka atau tidak. Karena kita juga harus menerapkan prinsip resiprokal. Reciprocity itu artinya bagaimana bank-bank kita diperlakukan di negara yang lain. Treatment yang sama juga harus ada di sini.
Misalnya di Malaysia, kalau bank asing maksimum jumlah cabang hanya boleh 8 cabang dan kalau setiap buka cabang di kota besar harus juga buka cabang di kota kecil dan pelosok. Sedangkan di Indonesia kan tidak ada. Bank asing di Indonesia boleh membuka cabang sebanyak-banyaknya.Tidak ada batasan. Sementara di Malaysia dan Singapura, bank asing tidak boleh ikut ke dalam network dari ATM bank lokal. Kalau di Indonesia bisa. Di Malaysia, kalau mau masuk ATM lingkungan network mereka, bank asing di-charge 4 kali lipat dari bank lokal. Banyak diskriminasi-diskriminasi.
Ke depannya, kita harus memikirkan supaya resiprocity itu berjalan. Bagaimana bank-bank kita di-treat di negara lain, mereka harus juga menerima treat yang sama. Menurut hemat kami harus fair. Tapi kan ini juga sekarang DPR sedang melakukan pembahasan mengenai RUU Perbankan yang baru. Ke depannya, MEA dan lainnya harus selaras dengan undang-undang Perbankan di negara kita.
Kalau dilihat secara makro, apakah industri perbankan kita sudah siap dalam menghadapi tantangan juga risiko era MEA?
Itu merupakan PR (pekerjaan rumah) besar juga buat indutri perbankan untuk mempersiapkan bank, terutama sumber daya manusianya agar bisa bersaing dengan bank-bank lain di ASEAN. Dari hal-hal kecil, misalnya kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris.Kemudian juga kompetensi, kualitasnya, dan segala macam. Termasuk juga bagaimana produk-produk bank kita harus kompetitif. Harus se-advance bank-bank di ASEAN, makanya core competence kita pada 2020, Mandiri menjadi bank terbesar dan terbaik di ASEAN. Hal itu supaya memaksa jajaran Bank Mandiri untuk mampu berkompetisi dengan bank-bank regional di ASEAN. Saya kira bank-bank lain juga ada plan-nya bagaimana mempersiapkan diri sampai lima tahun ke depan supaya pada saat itu kita sudah memiliki kemampuan atau kompetensi yang setara dengan bank lain.
Selain azas resiprokal, apakah Anda punya catatan lain, seperti yang terkait dengan regulasi misalnya?
Saya kira regulasi kita sudah bagus. Tapi kita kan regulatornya banyak, ada OJK, BI, LPS dan lain-lain ya. Nah, Undang-Undang Perbankannya disahkan ketika pengawasnya hanya BI. Nah sekarang sudah saatnya menyinkronkan tugas dari masing-masing regulator secara jelas (di UU itu). Tugas dari OJK itu apa. Tugas dari BI itu apa. Meskipun ada overlap itu juga harus dijelaskan supaya kami di kalangan industri juga sangat clear.
Kemudian mungkin yang kami akan usulkan mengenai pelaporan data atau informasi ke berbagai regulator. Mungkin ada baiknya, kalau kita semua melaporkan informasi yang di-require regulator ke dalam satu data base. Kemudian semua regulator tinggal mengakses data base-nya. Kadang kan, BI minta data langsung. OJK minta data langsung. Saya kira akan lebih efisien dan efektif kalau ditaruh dalam satu pusat data base laporan dan banking industry melaporkan semua data di sana. Regulator tinggal mengambil data yang dibutuhkan dari sana. Jadi, kita bisa lebih fokus kepada pengawasan bisnis daripada kepatuhan pelaporan requirement.
Siapa yang akan mengakomodir data tersebut?
Bisa diatur sama-sama antar regulator. Karena mungkin setiap regulator memiliki kebutuhan data yang berbeda-beda. Itu disinkronkan. Kalau bisa setiap bulan kita memasukan data atau laporan ke sentral data base tersebut saja.
Apakah perlu institusi khusus?
Itu juga yang akan kami dorong agar lebih baik yaitu simplifikasi perizinan perbankan yang sekarang harus kami lakukan. Kalau menurut hemat kami, di RBB yang kita submit sudah jelas, mau buka cabang berapa dan di mana saja. Kemudian pada saat realisasi during the year kami buka cabang, kami tidak harus lagi minta izin satu persatu kepada OJK. Selama dalam rencana RBB yang sudah disetujui oleh OJK, mestinya kami bisa langsung jalan. Sekarang perubahan antara kantor cabang, cabang pembantu dan kantor kas harus minta izin satu persatu. Yang seperti itu, kami usulkan agar bisa disederhankan supaya proses yang tidak memberi nilai tambah bisa dieliminir. Supaya nanti kita bisa lebih lincah lagi berkompetisi dengan regional bank pada 2020. Saya kira itu perlu direview.
Bagaimana dengan kompetensi bankir di Indonesia?
Kita dalam proses journey bagaimana untuk meng-upgrade kompetensi para bankir. Contohnya sekarang untuk profesi-profesi tertentu sudah ada requirement untuk sertifikasi. Dari mulai manajemen risiko, wealth management, asuransi, dan lain-lain. Itu merupakan attempt dari regulator, paling tidak ada standar kompetensi untuk pada bankir. Tantangannya adalah kita mesti benchmark mengenai require competence bankir kita dengan profesi yang sama di regional atau global banks. Supaya kita terus bisa memperbaiki caranya. Saya kira sudah cukup baik, tapi masih ada areas improvement juga.
Salah satu tantangan industri perbankan dalam menghadapi MEA adalah permodalan. Menurut Anda?
Saya kira sudah banyak cara atau strategi untuk meningkatkan permodalan. Dari mulai IPO, parent company, return earning, penerbitan obligasi dan lain-lain. Saya kira semua cara itu harus disesuaikan kecocokannya dengan kekuatan dan bisnis strategi dari bank masing-masing. Saya kira yang penting menurut saya harus ada kebutuhan jangka panjang. Berapa besar bank harus tumbuh atau akan tumbuh berdasarkan kekuatan dan strategi bank. Termasuk capital management-nya bagaimana ke depannya supaya bank bisa tumbuh, terutama requirement dari Basel III, dari regulator sendiri sudah menentukan time line-nya masing-masing bank itu harus memenuhinya. Dari situ akan keliatan gap masing-masing bank dari Capital Adequacy Ratio yang diperlukan. Saya kira itu sangat bank specific.
Bagaimana dengan pilihan strategi merger untuk memiliki bank besar?
Mengenai merger, mungkin pemerintah yang bisa influence untuk menyatukan bank-bank milik pemerintah. Kita sebagai tim manjemen dari bank pemerintah, siap melakukan keputusan dari para pemegang saham. Termasuk kalau dipandang perlu untuk melakukan merger. Jadi, menurut saya harus ada kajian yang benar-benar menyeluruh dan mendalam apakah merger atau tidak merger itu nanti menghasilkan hasil yang optimal. Sebagai tim manajemen kami tidak terlibat dalam kajian tersebut. Ke depannya, pemegang saham akan lebih menentukan.
Sementara dari regulator perspektif, sebagaimana kita baca di media, mengenai bank-bank di BUKU I didorong oleh regulator dimerger atau diakuisisi dengan bank yang lebih besar. Karena jumlah bank yang masuk BUKU I masih cukup banyak. Kecukupan modalnya juga sangat rendah. Mungkin pada MEA nanti, bank-bank kecil tersebut akan sulit berkompetisi dengan bank di regional. Jadi sudah disarankan atau diarahkan oleh OJK, Bank BUKU I ada baiknya bergabung dengan bank lebih besar untuk meperkuat struktur permodalan mereka. Beberapa bahkan sudah dibeli oleh bank dari Korea atau bank dari China.
Bagaimana dengan peran organisasi asosiasi seperti BARa dan lainnya terhadap industri perbankan?
Sumbangan kami di Industri lebih banyak pada hal-hal yang berkaitan dengan risk management, baik itu dari pelatihan, sertifikasi, kemudian kita juga mengadakan kegiatan sharing information, sharing knowledge. Mungkin yang sekarang kami sedang bangun adalah bagaimana membangun keanggotaan yang sangat solid. Agar bank-bank di Indonesia merasa menjadi bagian dari BARa dan menapatkan benefit dari BARa. Kalau kita sudah solid, akan mudah bagi kami mengimplementasi berbagai program karena sudah didukung oleh para anggota yang aktif. Kami juga bekerjasama dengan organisasi profesi lain karena kita mempunyai tujuan yang sama.