Oleh : Baiq Shafira Salsabila, Diospyros Pieter Raphael Suitela, Muhammad Faiz Ramadhan *
INDIA adalah salah satu negara berkembang dengan industri farmasi terbesar di dunia. Dalam perjalanannya, perkembangan industri farmasi India sendiri telah melalui sepak terjang yang cukup kompleks dalam konteks perdagangan internasional yang kemudian berkaitan dengan infrastruktur kesehatan global. Khususnya, pada masa pandemi COVID-19, tingginya kebutuhan akan obat-obatan yang tidak diimbangi dengan ketersediaan pasokan yang memadai ini kemudian menjadi sebuah diskursus hangat yang turut menyeret India ke alamnya sebagai salah satu negara dari Selatan yang berperan besar dalam memproduksi obat-obatan jenis generik. Lantas, bagaimana industri farmasi India dapat menembus pasar global dan bagaimana mereka menghadapi persaingan yang cenderung didominasi oleh perusahaan farmasi multinasional dari negara maju? Bagaimana regulasi dari rezim perdagangan internasional World Trade Organization (WTO) memengaruhi persaingan tersebut? Serta, bagaimana signifikansi peran industri farmasi India pada masa pandemi COVID-19? Seluruh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dikupas melalui tulisan ini.
Awal dari Perkembangan Industri Farmasi India
Sebagai negara berkembang, India dapat diklasifikasikan sebagai salah satu negara yang memiliki soft power melalui kemajuan industri farmasinya. Kemajuan ini mulai terlihat pada tahun 1980-an saat India telah mencapai kondisi swasembada dalam produksi obat-obatan yang juga secara perlahan berdampak kepada perluasan pasar obat-obatan India ke pasar dunia. Hal ini dapat dibuktikan melalui banyaknya perusahaan farmasi milik India yang telah mengglobal, seperti Cipla, Ranbaxy Labs, hingga Dr. Reddy Labs yang telah meraih angka penjualan lebih dari 5 juta dollar AS berdasarkan data tahun 2011 (Winanti in Winanti et al., 2012).
Perkembangan industri farmasi India dalam mencapai posisi terkemuka di pasar farmasi dunia dapat ditilik kembali dari lahirnya Patent Act 1970 yang secara hukum tidak mengakui hak paten atas obat-obatan luar negeri yang beredar di India dan memberi kelonggaran hukum kepada perusahaan farmasi India dalam memproduksi obat-obatan tanpa khawatir akan tuntutan hukum dari perusahaan farmasi asing–metode ini sering disebut sebagai metode reverse engineering (Winanti in Winanti et al., 2012). Lebih lagi, Kamiike (2019) menjelaskan bahwa kelonggaran yang diberikan Patent Act 1970 ini dilanjutkan oleh Pemerintah India dengan membiayai research and development (R&D) di bidang yang relevan dengan riset farmasi dan pelayanan kesehatan dengan orientasi kepada pembuatan obat-obat baru–dapat dilihat dari pembentukan Indian Council of Medical Research (ICMR), All India Institute of Medical Sciences (AIIMS), dan beberapa badan riset kesehatan lainnya.
Langkah India dalam Merespon Tantangan TRIPS Agreement
Lini masa perkembangan industri farmasi India terpaksa mengalami sedikit perubahan, khususnya saat India secara resmi menandatangani TRIPS Agreement di tahun 1995. Secara singkat, TRIPS Agreement sendiri merupakan aturan terikat yang berlaku kepada seluruh anggota World Trade Organizations (WTO) yang berisikan pemberian penetapan standar minimum kepada pemerintah nasional terkait regulasi dari berbagai bentuk intellectual property (IP) dan ditujukan kepada warga negara dari anggota WTO. Penandatanganan ini berimplikasi kepada perusahaan farmasi India yang tidak lagi dapat memproduksi obat-obat generik yang memiliki hak paten di negara lain. Namun, muncul Deklarasi Doha di tahun 2001 yang menilai TRIPS Agreement lebih banyak memberikan keuntungan kepada negara-negara maju (Utomo, 2019). Hal ini berkaitan dengan salah satu poinnya yang membahas tentang fleksibilitas kepada negara-negara peratifikasi TRIPS Agreement (khususnya negara berkembang) dalam menentukan dan mengimplementasikan hukum paten sesuai dengan kepentingan kesehatan masyarakat dan kebutuhan mereka.
Sebagai negara berkembang, dinamika antara TRIPS Agreement dan Deklarasi Doha ini segera dimanfaatkan oleh Pemerintah India melalui peluncuran Patent Act 2005 yang berisikan tentang perlindungan hukum kepada industri farmasi India untuk tetap memproduksi obat-obatan berpaten sekaligus memberikan izin ekspor di bawah lisensi wajib (Andrade et al., 2007). Hal ini juga menjadi celah bagi India dalam upayanya untuk mengakses pasar dunia yang lebih luas, terutama dalam memaksimalkan pasar obat generiknya yang memiliki nilai tambah dengan harga yang murah dan akses yang mudah bagi seluruh masyarakat dunia.
Potensi Industri Farmasi India dalam Menanggulangi Kelangkaan Komoditas Farmasi pada Pandemi COVID-19
Dalam dinamika health security, nyatanya akses terhadap obat-obatan mengalami hambatan, bahkan sebelum masa pandemi COVID-19. Selain atas alasan harga yang tidak terjangkau, pasokan obat-obatan juga menghambat akses masyarakat global terhadap obat-obatan (Meliawati & Holik, 2020). Sementara itu, kelangkaan akses terhadap obat juga dipengaruhi oleh perdagangan paralel (De Weerdt et al., 2015). Konsep ini menyorot pada tindakan pedagang paralel untuk menjual kembali obat dengan harga yang jauh lebih mahal. Fenomena ini sangat mempengaruhi rentannya pasokan obat. Di sisi lain, margin harga dalam bisnis farmasi sangat dipertimbangkan untuk meningkatkan pendapatannya. Dinamika ini mengarah pada situasi yang disebut reverse traffic, dimana negara yang tidak memproduksi obat-obatan akan bergantung pada distribusi farmasi apotek (pedagang paralel) dibandingkan dari perusahaan farmasi (Vazquez et al. in Meliawati & Holik, 2020).
Datangnya COVID-19 di 2020 seakan-akan menjadi mimpi buruk bagi industri kesehatan dunia, termasuk industri farmasi India. Pasalnya, pandemi COVID-19 menghambat produksi dan distribusi obat-obatan yang menyebabkan terjadinya distabilitas pasokan obat dunia. Kondisi ini semakin memburuk saat banyaknya pabrik farmasi yang tutup akibat kebijakan karantina, penutupan perbatasan, dan larangan ekspor (Meliawati & Holik, 2020). Di satu sisi, tindakan ini merupakan langkah preventif, tetapi dalam perspektif lain kondisi ini menunjukkan betapa buruknya akses dan pasokan obat di lanskap global dalam menghadapi wabah penyakit.
Kelangkaan obat semakin diperparah, khususnya dalam produksi hidroksiklorokuin yang memiliki efek antiviral yang kuat terhadap virus SARS-CoV dan menghambat replikasi virus sehingga mencegah infeksi maupun penyebaran SARS-CoV (Al Bari in Meliawati & Holik, 2020). Hal ini menyebabkan meningkatnya permintaan hidroksiklorokuin, walaupun pasokannya semakin menipis. Masalah ini seharusnya dapat teratasi melalui kapabilitas India sebagai penyedia bahan baku farmasi global. Lebih lagi, India diperkirakan telah menghasilkan 60 metrik ton hidroksiklorokuin untuk pasar domestik, tetapi kondisi pandemi menghambat distribusi obat India melalui adanya pembatasan mobilitas. Hal ini semakin mendukung potensi India yang akan memiliki peranan penting dalam penanganan pandemi COVID-19 (Meliawati & Holik, 2020).
Terlepas dari pembicaraan kasus COVID-19 yang telah berdampak kepada jatuhnya stabilitas ekonomi India, India merupakan penghasil obat generik yang jauh lebih murah, sehingga farmasi India menjadi kunci dari urgensi pasokan obat dan keterjangkauan harga obat di lanskap global. Merujuk pada ekosistem R&D global yang bergerak pada langkah kolaboratif, India diharapkan untuk menjadi pusat inovasi industri farmasi global yang lebih terjangkau (Malathi et al., 2021). Pernyataan tersebut selaras dengan kontribusi India dalam mengeluarkan varian vaksin Covishield dan Covaxin dengan tingkat efektivitas 81% (BBC News Indonesia, 2021) dan harga yang jauh lebih terjangkau yang sudah digunakan secara luas di seluruh dunia (Muhamin et al., 2021). Kedua vaksin Covishield dan Covaxin menjadi poin penting betapa pentingnya peran industri farmasi India saat pandemi COVID-19.
Ironi Aksesibilitas Obat-Obatan Global dan Signifikansi Obat Generik India pada Masa Pandemi COVID-19
Di sisi lain, Patent Act 2005 memberi kesempatan bagi industri farmasi India untuk dapat memproduksi obat versi generik dari obat-obat yang dipatenkan dan diizinkan untuk mengekspornya di bawah lisensi wajib yang mana obat-obatan tersebut diperbolehkan untuk diekspor ke negara-negara berkembang khususnya bagi mereka yang membutuhkan obat-obatan tersebut secara mendesak (Andrade et al., 2007). Obat generik sendiri mengacu pada obat yang sebenarnya memiliki khasiat yang sama dengan obat-obatan produksi perusahaan farmasi multinasional, akan tetapi obat generik diproduksi tanpa hak paten sehingga harganya yang lebih murah (Anggraeni, 2017).
Tidak dapat dielakkan bahwa pandemi menyerang seluruh dunia tanpa pandang bulu, termasuk perdagangan bahan aktif farmasi (API) yang terhambat saat pandemi datang dengan berbagai kebijakannya, seperti lockdown, penutupan ekspor, hingga karantina. Hal ini menyulitkan peredaran komoditas tersebut dan berdampak kepada India dan Cina sebagai pengekspor terbesar bahan tersebut (Meliawati & Holik, 2020). Hambatan ini tentu menyulitkan berbagai pihak dalam situasi pandemi yang dimana permintaan atas obat-obatan dinilai meningkat di kala krisis kesehatan tersebut.
Pada masa krisis kesehatan, masyarakat dunia membutuhkan obat-obatan dalam jumlah besar dengan harga rendah, setidaknya untuk pertolongan pertama. Namun, hal ini tidak sesuai dengan realita mengingat pada tingginya harga obat-obatan yang dipatok perusahaan farmasi multinasional. Pun, tidak mudah bagi mereka yang tinggal di negara berkembang untuk mendapatkan akses terhadap obat-obatan tersebut, khususnya di masa pandemi yang terjadi peningkatan permintaan obat-obatan dengan stok yang terbatas. Lantas, apa yang terjadi? Nyatanya, di masa-masa krisis tersebut, obat-obatan generik India justru menjadi “pahlawan”.
Dengan tingginya kasus COVID-19 di Cina, permintaan atas obat generik India melonjak drastis sejak obat generik tersebut dinilai efektif membantu masyarakat Cina memerangi virus COVID-19 (Fatunnisa, 2023). Namun, peningkatan permintaan ini tidak sejalan dengan Pemerintah Cina yang melarang peredaran obat-obatan generik dari India, padahal hasil tes menilai obat generik India memiliki manfaat yang sama dengan obat berpaten. Situasi ini yang mendorong masyarakat Cina untuk memperoleh obat-obatan seperti Primovir, Paxista, Molnunat dan Molnatris melalui pasar gelap dan e-commerce (PTI, 2023).
Penjelasan dari berbagai permasalahan di atas menunjukkan bahwa isu kesehatan global semakin kompleks. Sedangkan, infrastruktur kesehatan global belum cukup kuat untuk menghadapi krisis kesehatan yang mungkin saja secara tiba-tiba menggempur seluruh dunia. Hal ini tercermin dari bagaimana sistem distribusi dan aksesibilitas obat-obatan masih belum cukup progresif. Masyarakat negara berkembang masih sulit untuk memperoleh obat-obatan dengan harga terjangkau karena tingginya harga obat yang dipatok industri farmasi multinasional, ditambah lagi dengan munculnya TRIPS Agreement yang semakin memperkuat hak paten dari obat-obatan tersebut. Alhasil, pasar obat-obatan cenderung dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan multinasional dengan kekuatan patennya dan cenderung menguntungkan negara maju. Sekalipun negara seperti India telah tetap mencoba untuk mengedarkan obat generiknya dalam rangka mendorong emansipasi kesehatan di negara-negara berkembang, limitasi tetap saja menghampiri; di beberapa negara, misalnya Cina, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, menganggap obat-obatan generik India sebagai obat-obatan ilegal.
Padahal, obat generik adalah opsi paling realistis yang dapat digunakan oleh masyarakat negara berkembang dikarenakan khasiatnya yang manjur dan harga terjangkau. Problematika sulitnya aksesibilitas obat-obatan tersebut diperparah dengan pandemi, dimana permintaan akan obat-obatan tergolong tinggi sedangkan ketersediaannya terbatas. Kelangkaan dalam kondisi krisis tersebut menyebabkan mereka yang berada di negara berkembang berada di prioritas terbelakang.
Berbagai permasalahan yang mengganggu dinamika peredaran obat-obatan dalam situasi pandemi dapat mengantarkan kita untuk memahami bahwa infrastruktur kesehatan global dan sistem distribusi obat-obatan global masih belum memadai. Padahal, pandemi COVID-19 merupakan teguran bagi negara-negara bahwa hari ini, permasalahan kesehatan menjadi lebih kompleks dan infrastruktur kesehatan global masih harus dibenahi lebih lanjut, terlebih dunia tidak akan pernah tahu kapan dan bagaimana isu-isu kesehatan selanjutnya akan muncul. Untuk mempersiapkan kemungkinan terburuk, negara harus bersiap menghadapi kompleksitas permasalahan kesehatan dengan memperkuat infrastruktur kesehatan global melalui pembenahan sistem distribusi obat-obatan dan sarana prasarana kesehatan yang lebih inklusif, accessible, dan terjangkau. Inklusivitas serta aksesibilitas dalam sistem distribusi obat-obatan global tidak akan tercapai apabila masih terdapat monopoli raksasa-raksasa multinasional dalam pasar obat-obatan global. Persaingan dalam pasar obat-obatan mungkin penting bagi sebagian kalangan karena dirasa mendatangkan profit yang tidak main-main. Akan tetapi, yang tidak kalah penting untuk diperhatikan ialah aspek kemanusiaan–bagaimana setiap orang di dunia seharusnya bersama-sama mendapat hak atas kesehatan melalui akses terhadap sarana dan prasarana kesehatan, salah satunya dalam mendapatkan obat-obatan yang terjangkau. ***
*Baiq Shafira Salsabila (Departemen Ilmu Hubungan Internasional, UGM), Diospyros Pieter Raphael Suitela (Departemen Ilmu Hubungan Internasional, UGM); Muhammad Faiz Ramadhan (Departemen Ilmu Hubungan Internasional, UGM)