ADA masanya ketika pemerintah seperti enggan menggunakan kebijakan fskal untuk merangsang perekonomian, dan saat itu kebijakan moneter mengambil panggungnya sendiri demi pertumbuhan ekonomi. Kondisi itu bahkan sudah menjadi kecenderungan umum di global sejak keterpurukan pasar keuangan dunia terguncang karena krisis sektor perumahan di AS tahun 2008.
Berbagai akrobat kebijakan moneter muncul, ditandai kehadiran istilahistilah seperti quantitative easing di AS dan helicopter money di Jepang. Di Indonesia, meski tidak sedominan di AS dan Jepang, bank sentralnya tidak kalah dominan menjaga ekonomi tumbuh stabil. Setidaknya kestabilan harga (melalui angka inflasi dan nilai tukar) yang menjadi tujuan utama kebijakan lembaga itu hampir selalu mencapai target, setidaknya dalam 2-3 tahun terakhir.
Memang tidak bisa dipungkiri jika Bank Indonesia terbilang gagal dalam mengarahkan suku bunga perbankan dengan suku bunga kebijakannya (BI Rate), yang akhirnya menggantinya dengan BI 7 Day (Reverse) Repo Rate. Akan tetapi kebijakan lainnya, harus diakui mampu menyelamatkan pertumbuhan dari keterpurukan yang lebih dalam.
Sebut saja penurunan setoran wajib bank kepada BI yang menambah likuiditas bagi perbankan. Atau relaksasi kredit konsumtif di sektor perumahan dan juga kendaraan, yang tampaknya menjadi strategi rutin bank sentral untuk mendorong atau mengerem ekonomi.
Belakangan bank sentral memang berupaya mengarahkan suku bunga bank ke level yang lebih rendah. Awal tahun ini, BI sudah memulai penurunan suku bunga acuan yang waktu itu masih bernama BI Rate, setelah hampir 12 bulan lamanya tidak berubah dari level 7,5 persen.
Setelah itu, BI rajin menurunkan suku bunga, termasuk setelah menggantinya dengan term yang lebih singkat yaitu BI 7 Day Repo Rate. Kini bunga acuan berada di level 5 persen, terendah sepanjang sejarah penggunaan bunga acuan.
Kini BI menunggu reaksi perbankan untuk ikut menurunkan bunga kredit secara agresif karena memang sudah begitu seharusnya. Saat ini suku bunga deposito sudah turun lebih dari 90 basis point (bps) pasca-penurunan suku bunga acuan sebanyak 100 bps dari awal tahun lalu. Sedangkan suku bunga kredit untuk modal kerja dan investasi turun 65 bps, dan suku bunga kredit konsumsi baru 9 bps. “Memang menurut saya ruang penurunan suku bunga deposito dan kredit masih ada,” ujar kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara.
Akan tetapi, keinginan itu mulai kandas ketika di pihak lain, otoritas fskal berupaya keras menutup defsit yang sudah saat ini makin mengancam dengan meningkatkan utang ke publik dengan return yang lebih menggiurkan. Tidak mengherankan jika bank masih sulit menurunkan suku bunganya dan parahnya lagi masih enggan menyalurkan kredit karena berisiko tinggi, ketika ada kesempatan menaruh dana di instrumen investasi bebas risiko.
Rajin Terbitkan Obligasi
Terakhir, pemerintah melelang lima seri Surat Utang negara (SUN) ditawarkan dengan nominal per unit sebesar Rp1 juta dan kisaran kupon antara 7 persen hingga 8,75 persen, pada Selasa (11/10). Dari penawaran tersebut, pemerintah mengincar total dana terkumpul sebesar Rp12 triliun.
Jika dijumlahkan dengan utang publik yang ada, maka semuanya akan mencapai menjadi Rp654 triliun. Nilai tersebut memecahkan rekor sebagai angka tertinggi penerbitan SBN dalam setahun yang melebih angka Rp600 triliun. “Ini tercatat sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah,” ujar Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (PPR) Kemenkeu, Loto Srianita Ginting.
Memang ancaman defsit anggaran yang kini melebar menjadi 2,7 persen membuat pemerintah sedikit panik, dan jurus yang paling mudah dikeluarkan adalah penerbitan surat utang. Bahkan jika angka defsit dinilai bisa melewati angka itu dan berisiko menuju ke level 3 persen (batas atas yang digariskan undang-undang) maka pemerintah dipastikan akan lebih rajin menerbitkan obligasi.
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan, selain melalui lelang, pihaknya membuka kemungkinan penjualan instrumen tersebut dengan metode private placement. “Pemanfaatan sumber utang akan mempertimbangkan biaya dan risiko yang ditanggung oleh pemerintah. Apalagi peningkatan utang ini, salah satunya, untuk mencukupi kebutuhan belanja infrastruktur,” kata dia beralasan.
Sementara itu, ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan sebenarnya pelebaran defsit merupakan langkah tepat saat penerimaan minim. Sebab, pengeluaran pemerintah menjadi satu-satunya penggerak ekonomi ketika investasi swasta, konsumsi rumah tangga, dan ekspor masih rendah. Pengeluaran pemerintah bisa mendorong sektor usaha yang kemudian diharapkan bisa memacu sektor riil berinvestasi sehingga mendorong penerimaan pajak tahun depan.
Tahun ini, pemerintah mematok ekonomi tumbuh sebesar 5,2 persen. Salah satu yang diharapkan menjadi penopang yakni Program Pengampunan Pajak yang hingga akhir September, penerimaan uang tebusan tax amnesty sudah melampaui 50 persen dari target Rp 165 triliun.
Defsit anggaran pun diperkirakan makin melebar menjadi 2,7 persen –setara Rp 338,8 triliun. Angka defsit itu merupakan perubahan yang ketiga. Awalnya, pemerintah menetapkan defsit anggaran 2,15 persen lalu diubah menjadi 2,35 persen, kemudian dinaikkan lagi menjadi 2,5 persen, dan terakhir 2,7 persen. Salah satu pertimbangannya, penerimaan pajak diperkirakan minus Rp 219 triliun.
Untuk mengatasinya, David menyarankan pemerintah membuat formula fskal baru agar lebih leluasa mengambil kebijakan saat ekonomi melambat. Kebijakan defsit anggaran di bawah tiga persen dinilai sangat membatasi kewenangan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Vietnam, misalnya, memiliki defsit anggaran mencapai 5,4 persen pada 2015. Bahkan sempat 9,3 persen pada 2009. Begitu pun dengan India yang pada tahun lalu defsit anggarannya 3,9 persen dan pernah 7,8 persen pada 2009.
Namun demikian, sambung David, kebijakan defsit anggaran yang tinggi juga harus dibarengi dengan rasio pajak yang tinggi sehingga bisa meredam risikonya. Dan Indonesia bisa memulainya dengan amnesti pajak saat ini.
Dengan begitu, pemerintah bisa mempertimbangkan formula baru agar fskal lebih fleksibel khususnya saat ekonomi lemah dan membutuhkan dorongan dari pengeluaran pemerintah. “Negara emerging market banyak terapkan counter cyclical (pelebaran defsit), tapi itu karena tax rasio-nya lebih bagus dari Indonesia,” kata David.
Namun, dia sepakat bahwa variabel yang perlu dipertimbangkan adalah defsit primer. Tahun ini, defsit primer diperkirakan mencapai Rp 105,5 triliun.
Artinya, pemerintah membayar utang dengan utang baru senilai itu. Sepanjang pemerintah masih membayar utang dengan utang, menurut dia, defsit anggaran semestinya dijaga di bawah tiga persen.
Pertimbangan lainnya yakni inflasi, harga minyak Indonesia, Indonesia Crude Price (ICP), atau defsit transaksi berjalan (current account defcit/CAD). “Belanja produktif belum maksimal, penerimaan masih mengandalkan komoditas. Kalau dibenahi, jangka menengah mungkin bisa dibuat formula anggaran yang lebih fleksibel. Kalau pertumbuhan ekonomi rendah, pemerintah nggak bisa apaapa karena batasan defsit anggaran tiga persen,” ujar David.
Selain rajin menerbitkan surat utang, pemerintah juga gencar melonggarkan fskal dengan menerbitkan belasan paket deregulasi yang banyak memangkas pajak yang harus dibayarkan pengusaha. BI tampaknya tidak bisa berbuat banyak ketika saat ini kebijakan moneter harus mengalah dengan kebijakan fskal.
Dan kondisi beberapa tahun lalu harus berbalik saat kebijakan fskal sedang jadi idola saat ini.
“Fiskal memang seharusnya dilonggarkan, justru aneh kalau sekarang fskalnya ketat. Ruang untuk menaikkan stimulus fskal masih besar,” kata Yoga Affandi, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter BI.
***